Kamis, 07 Februari 2013

Catatan Lama

INDAHNYA MEMAAFKAN  (27 Januari 2006)
Mendampingi murid-murid berdiskusi tentang pembuatan film untuk tugas pelajaran Bahasa Indonesia, kami memilih tempat di perpustakaan. Sambil mengawasi, saya membaca koran Kompas. Begitu melihat ke arah meja komputer, ada tiga anak kecil murid TK yang sedang mengutak-atik membuka internet. Saya tertarik pada anak laki-laki yang montok, memakai baju dan celana loreng. Saya dekati dan mencubit gemas pipinya.
“Siapa namanya ?”
“Maximus, Bu !” jawabnya.
“Kalau yang ini namanya siapa ?” sambil menunjuk pada anak perempuan berbaju pink yang rambutnya dipintal kecil-kecil.
“Marvelia, Bu !” jawab Maximus sambil terus mengutak-atik komputer.
“Yang satu lagi ini siapa namanya ?”
“Imelda, Bu !”
Wow, keren-keren namanya.

Mereka masih sibuk dengan komputer, ingin membuka internet. Karena saya tahu bahwa internet di perpustakaan sudah diblokir, maka saya menjelaskan pada mereka sambil membelai-belai rambut Imelda.
“Imelda adiknya ya ?” tanya saya pada Maximus.
“Bukan, itu temannya. Aku adiknya Maximus. Kami kembaran,” jelas Marvelia.
“Ouw, mana wajahnya coba Ibu lihat,” sambil memandang wajah Maximus dan Marvelia. Memang sangat mirip, dan sama montoknya pula.

Mereka masih terus berebutan komputer, saya kembali duduk. Lima menit kemudian saya melihat Marvelia mencubit pipi Imelda. Imelda membalas mencubit pipi Marvelia. Makin lama gerakan mereka makin cepat, lalu Marvelia menarik kuping Imelda. Maximus hanya melihat saja. Saya lalu mendekati mereka bertiga.
“Kenapa dedenya dicubit ?”
“Dedenya nakal, Bu. Pipi aku dicubit ampe merah,” jelas Marvelia.
Sambil mengelus pipi Marvelia saya melerai, lalu mengajak mereka membaca buku saja. Bertiga pun pindah ke meja khusus TK, duduk manis sambil membuka-buka buku.
“Jangan berantem lagi ya, Sayang,“ pesan saya, lalu kembali membaca sambil terus mengawasi mereka, khawatir berantem lagi.
“Cici harus minta maaf sama dede”, kata Imelda.
Marvelia masih terus membuka-buka buku, sedangkan Maximus setia duduk di samping Imelda, menatap Marvelia.
“Cici harus minta maaf sama dede dulu,” ulang Imelda.

Saya tertarik dan memperhatikan mereka lagi. Marvelia lalu berdiri dan menyalami Imelda sambil memeluknya. Adegan yang membuat saya terharu. Saya melihat mereka seperti menjadi GURU bagi saya dan orang dewasa lainnya.
Indahnya saling memaafkan. Rasa itu harus ditanamkan sejak anak kita masih kecil. Berbahagia sekali Imelda yang mempunyai hati untuk memaafkan, dan Marvelia yang mempunyai jiwa besar untuk meminta maaf.

27 Januari 2006
Semua orang pasti rindu akan rumah, karena di sanalah tempat keluarga berkumpul. Seperti lagu “Rumah Kita”, walau beralaskan tanah, beratap jerami, namun selalu membuat orang merasa berat untuk berpisah dengan rumahnya, istananya.
Setiap hari saya selalu merindukan segera pulang ke rumah. Ada putri mungil kami yang sudah menanti kepulangan papa dan mamanya. Bertemu dengan suami di terminal Bekasi, lalu bersama pulang. Hari-hari penuh cinta dan kerinduan.
“Tahu gak Ma, waktu baca tulisan Mama di kertas kotak makanan tadi Papa langsung kenyang,” cerita suamiku sambil memelukku.
“Haah, berarti Papa jadi gak ada napsu makan dong. Jadi eneg, gitu ya ?”
“Nggak. Papa senang dan bahagia. Ide dari mana kok Mama pake nulis pesan begitu ?”
“Iseng aja, biar surprise.”
Suamiku semakin erat memeluk. Apa tulisanku di kotak makanannya ?
“MAKANAN PENUH CINTA”

Tidak ada komentar: