Kamis, 07 Februari 2013

Kesan Terakhir dengan BATAVIA

Catatan Mendebarkan di Akhir Tahun (22 Desember 2012)

“Tuhan, kalau Kau bisa menggerakkan hati Bento Tonda untuk bertemu dengan kami di bandara, Engkau pasti bisa menggerakkan hati pegawai Batavia untuk menunggu kami juga.”
Itu kalimat doa yang saya daraskan sepanjang perjalanan dari Bekasi menuju bandara Soeta pada hari  Sabtu,22 Desember 2012, hari yang sesuai jadwal tiket keberangkatan kami sekeluarga berlibur ke Flores melalui Kupang. Kakak Ars Paso yang akan mengantar kami datang dari Cijantung pukul 09.00, dan terjebak macet di jalan tol ke arah Cikampek, begitu keluar dari tol Cikunir menuju Bekasi Barat. Khawatir semakin parah, Kk Ars berbelok masuk tol Cakung agar masuk via Aqua Harapan Indah. Ternyata, macet parah juga sebelum ke Babelan sampai arah Perumahan Taman Kebalen Indah, rumah kami. Tiba di rumah pukul 12.00, padahal rencananya kami akan berangkat dari rumah pukul 11.00. Setelah mengatur semuanya, kami keluar dari rumah pukul 12.30. Puji Tuhan, depan gerbang dan seterusnya sudah lancar. Untuk menghindari kemacetan parah yang sering terjadi pada setiap hari Sabtu di sekitar stasiun Bekasi, kami memutuskan untuk jalan lewat arah Bulak Kapal. Lumayan lancar…tapi begitu masuk RS Bella, alamak….antrian mobil panjang….namun masih merayap. Kami ambil lurus terus…oh mya God, ini lebih parah lagi, sempat berhenti total sekitar 15 menit. Waktu terus berjalan dengan cepat. Oma tiba-tiba mual dan muntah-muntah. Saya mulai cemas…lalu membaca lagi sms dari Bento Tonda.
Poa Mama Almira. Ai berangkat dari terminal brapa ne wai so’o Tanta ? Bento Tonda
Batavia terminal berapa e ?
1 C brarti
Kenapa, ada titipan ko ?
Ok Tanta, napa ketemu di bandara. Mo titip HP tii odo ka’e dan juga titipan untuk Oma dari Kae Valens.
Molo
Tanta e, katanya Batavia di terminal keberangkatan 1 C
Mungkin ema, kami baru mau jalan nih
Ok molo, sampe ketemu

Tiba-tiba sms masuk lagi dari Bento.
Benar di terminal 1 C tanta. Jao sudah di sini (13.38)

Hah ? Bento sudah sampai bandara ? Dia yang nitip sesuatu aja sudah sampai bandara. Posisi kami masih sekitar Bekasi. Saya lalu meminta tolong Bento untuk menanyakan batas waktu check in pada pegawai Batavia melalui telpon.
Chek in sampai jam 2.30

Karena kami sudah masuk tol barat, saya membalas sms, sepertinya bisa dikejar. Tiba-tiba hujan lebat disertai angin. Tapi Kk Ars memang jago. Lancar…sampai pintu tol Halim, sedikit macet… lalu Ars tembak lagi…
Kalo ada no K Robert Epe coba Tanya sekarang harga tiket (14.21)

Sms itu masuk karena waktu sudah mepet, dan pegawai Batavia menanyakan keputusan pada Bento, mau batal atau bagaimana ? Komunikasi terus berjalan antara saya dan Bento tentang pilihan lain, jika dialihkan ke orang lain, uang akan dikembalikan utuh, tetapi kami boleh memilih terbang dengan Batavia pukul 06.00 pada hari Minggu dengan penambahan biaya 5 juta 200 ribu untuk berempat. Ampun DJ…. Saya tetap belum memberi keputusan. Mobil terus melaju dengan cepat…dan sudah masuk tol bandara. Bento terus kontak…
Waktu mepet…saya minta suami bicara dengan salah seorang  pegawai Batavia, karena saya mau “berteriak dalam hati pada Tuhan”.
TUHAN, kalau Kau bisa menggerakkan hati Bento untuk bertemu kami di bandara, Kau pasti bisa menggerakkan hati pegawai Batavia untuk menunggu kami.” Dan…. kami akan ditunggu sampai pukul 15.00, lalu dia membantu check in terlebih dahulu. Puji Tuhan….

Pukul 14.47 masuk gerbang bandara….dan tiba di terminal 1 C pukul 14.50. Bento sudah menanti kami dengan wajah tegang, kami pun demikian. Suami langsung ke kantor Batavia, Ars dan Bento membantu saya mengeluarkan barang dari mobil. Begitu sudah rapi di troly, mereka berdua segera pamit pulang karena mobil tak boleh parkir lama.
Pukul 15.00 kami berempat masuk, mengurus bagasi, boarding pass dan pukul 15.15 menuju pintu 7C tujuan Surabaya – Kupang.   Di ruang tunggu sudah sepi. Kami langsung ke pintu menuju pesawat. Di luar hujan lebat sekali. Kami sempat salah masuk pintu untuk masuk pesawat Batavia sebelumnya yang sudah ditarik tangganya oleh petugas. Tanpa pikir panjang karena panik, saya langsung teriak dari atas….”Mas….Batavia !” sambil tunjuk kearah pesawat Batavia. Mas-nya balik tunjuk ke arah tempat sebelahnya.  Begitu kami keluar, ampun….semua penumpang masih berbaris antri menunggu bis menuju pesawat. Saya jadi malu ingat gaya saya teriak macam di Kopaja 16, suruh kenek berhenti. Suami saya akhirnya bisa tertawa lepas mengulang konyolnya saya berteriak minta nyeberang ke pesawat. Hahahaha….”Mama, mama, kayak di Kopaja aja.” Untung hanya kami berempat e….

Karena hujan masih deras, pesawat baru lepas landas pada pukul 16.20. Dan itulah sebetulnya waktu yang menurut tiket awal. Perjalanan lancar, tiba di Surrabaya pukul 17.00, lalu pukul 18.00 menuju Kupang. Kami tiba dengan selamat di Kupang pada pukul 20.00 wib atau pukul 21.00 witeng.

Terima kasih Tuhan, Kau sudah menggerakkan hati Bung Valens Dakiso’o untuk menyuruh adiknya Bento Tonda mengantarkan  titipan untuk Oma.  Kau sudah menggerakkan hati Bento Tonda untuk menuruti  perintah abangnya menunggu kami di bandara. Kau sudah menggerakkan hati pegawai Batavia untuk membantu kami. Kau sudah membimbing Ars mengantar kami ke bandara dengan cara yang sangat memukau. Terima kasih Tuhan…. untuk semuanya. Dan kalimat sakti Oma yang tak akan pernah saya lupa, SEMUA SUDAH DIATUR OLEH TUHAN

Catatan Lama

INDAHNYA MEMAAFKAN  (27 Januari 2006)
Mendampingi murid-murid berdiskusi tentang pembuatan film untuk tugas pelajaran Bahasa Indonesia, kami memilih tempat di perpustakaan. Sambil mengawasi, saya membaca koran Kompas. Begitu melihat ke arah meja komputer, ada tiga anak kecil murid TK yang sedang mengutak-atik membuka internet. Saya tertarik pada anak laki-laki yang montok, memakai baju dan celana loreng. Saya dekati dan mencubit gemas pipinya.
“Siapa namanya ?”
“Maximus, Bu !” jawabnya.
“Kalau yang ini namanya siapa ?” sambil menunjuk pada anak perempuan berbaju pink yang rambutnya dipintal kecil-kecil.
“Marvelia, Bu !” jawab Maximus sambil terus mengutak-atik komputer.
“Yang satu lagi ini siapa namanya ?”
“Imelda, Bu !”
Wow, keren-keren namanya.

Mereka masih sibuk dengan komputer, ingin membuka internet. Karena saya tahu bahwa internet di perpustakaan sudah diblokir, maka saya menjelaskan pada mereka sambil membelai-belai rambut Imelda.
“Imelda adiknya ya ?” tanya saya pada Maximus.
“Bukan, itu temannya. Aku adiknya Maximus. Kami kembaran,” jelas Marvelia.
“Ouw, mana wajahnya coba Ibu lihat,” sambil memandang wajah Maximus dan Marvelia. Memang sangat mirip, dan sama montoknya pula.

Mereka masih terus berebutan komputer, saya kembali duduk. Lima menit kemudian saya melihat Marvelia mencubit pipi Imelda. Imelda membalas mencubit pipi Marvelia. Makin lama gerakan mereka makin cepat, lalu Marvelia menarik kuping Imelda. Maximus hanya melihat saja. Saya lalu mendekati mereka bertiga.
“Kenapa dedenya dicubit ?”
“Dedenya nakal, Bu. Pipi aku dicubit ampe merah,” jelas Marvelia.
Sambil mengelus pipi Marvelia saya melerai, lalu mengajak mereka membaca buku saja. Bertiga pun pindah ke meja khusus TK, duduk manis sambil membuka-buka buku.
“Jangan berantem lagi ya, Sayang,“ pesan saya, lalu kembali membaca sambil terus mengawasi mereka, khawatir berantem lagi.
“Cici harus minta maaf sama dede”, kata Imelda.
Marvelia masih terus membuka-buka buku, sedangkan Maximus setia duduk di samping Imelda, menatap Marvelia.
“Cici harus minta maaf sama dede dulu,” ulang Imelda.

Saya tertarik dan memperhatikan mereka lagi. Marvelia lalu berdiri dan menyalami Imelda sambil memeluknya. Adegan yang membuat saya terharu. Saya melihat mereka seperti menjadi GURU bagi saya dan orang dewasa lainnya.
Indahnya saling memaafkan. Rasa itu harus ditanamkan sejak anak kita masih kecil. Berbahagia sekali Imelda yang mempunyai hati untuk memaafkan, dan Marvelia yang mempunyai jiwa besar untuk meminta maaf.

27 Januari 2006
Semua orang pasti rindu akan rumah, karena di sanalah tempat keluarga berkumpul. Seperti lagu “Rumah Kita”, walau beralaskan tanah, beratap jerami, namun selalu membuat orang merasa berat untuk berpisah dengan rumahnya, istananya.
Setiap hari saya selalu merindukan segera pulang ke rumah. Ada putri mungil kami yang sudah menanti kepulangan papa dan mamanya. Bertemu dengan suami di terminal Bekasi, lalu bersama pulang. Hari-hari penuh cinta dan kerinduan.
“Tahu gak Ma, waktu baca tulisan Mama di kertas kotak makanan tadi Papa langsung kenyang,” cerita suamiku sambil memelukku.
“Haah, berarti Papa jadi gak ada napsu makan dong. Jadi eneg, gitu ya ?”
“Nggak. Papa senang dan bahagia. Ide dari mana kok Mama pake nulis pesan begitu ?”
“Iseng aja, biar surprise.”
Suamiku semakin erat memeluk. Apa tulisanku di kotak makanannya ?
“MAKANAN PENUH CINTA”

Kamis, 08 November 2012

Ziarek ke Lampung Bersama Mama

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Santika Tour yang menyelenggarakan program ZIAREK (Ziarah & Rekreasi) untuk umat paroki Santa Klara Bekasi. Saya mengenal nama Santika Tour dari brosur yang dibawa oleh Mama saya dari Kapel Asri pada tahun 2011. Saat itu orang tua saya sedang berlibur di Bekasi dengan saya. Saya sedang bingung, mau mengajak beliau berdua ke mana lagi setelah beberapa kali ke Jakarta. Rasanya semua tempat bersejarah di Jakarta sudah dikunjungi. Tiba-tiba ada brosur dari Santika Tour yang menawarkan perjalanan rohani ke Jawa selama 4 hari dengan biaya yang sangat murah, saya langsung mendaftarkan kedua orang tua saya untuk mengikutinya. Dengan biaya Rp 650.000 bisa berkeliling Jawa, membuat saya agak kurang percaya. Saya lalu menghubungi Pak Toni (salah satu panitia ziarek) menanyakan kepastian harga tersebut, ternyata benar. Saya berpikir, inilah tempat yang cocok untuk kedua orang tua saya kunjungi di masa tuanya. Jika ke Lourdes, dll di luar negeri saya belum sanggup membiayai mereka, di Indonesia saja dululah.
         Sebulan mempersiapkan diri, terutama stamina, akhirnya pada tanggal 27 Mei 2011 berangkatlah mereka dengan rombongan menuju Jawa. Saya dan suami mengantar sampai di tempat berkumpulnya peserta tour. Saya melepas keberangkatan kedua orang tua dengan bahagia karena perjalanan rohani mereka kali itu adalah yang pertama kali dalam hidup mereka. Saya tidak khawatir karena saya percaya panitia sangat siap untuk mendampingi para lansia itu. Saat itu ayah saya berusia 74 tahun dan mama usia 70 tahun. Perjalanan selama lima hari pasti melelahkan bagi orang lansia, namun kedua orang tua saya menikmatinya dengan penuh sukacita, terutama mama. Ayah saya, walaupun dengan keadaannya yang mabuk dan muntah sepanjang perjalanan namun tetap semangat hingga kembali ke Bekasi. Dari foto-foto yang diambil oleh Pak Toni (saya menitip kamera), saya melihat wajah kedua orang tua saya sangat bahagia mengikuti acara ziarek. Mereka tak putus-putus bersyukur, ada Santika Tour yang mengantar mereka berkeliling ke tempat ziarah Katolik di Jawa. “Mama, walaupun saya punya uang tetapi kalau tidak ada Santika Tour yang punya program seperti ini juga tidak mungkin berdua bisa jalan-jalan to ?” kata saya. Artinya, Santika Tour punya ‘nilai dan kenangan ‘ tersendiri dalam lembar kehidupan rohani keluarga saya, terutama orang tua saya yang jauh-jauh dari Flores dan mendapat berkat dari Santika Tour.
          April 2012 saya dan suami sempat berencana akan mengajak orang tua untuk ziarah ke Gua Maria Padang Bulan di Lampung jika liburan sekolah nanti. Tapi entah liburan tahun berapa belum pasti karena belum tentu orang tua mau ke Jakarta lagi (di sana sibuk dengan cucu). Bulan Juni Mama ke Jakarta untuk beristirahat karena gangguan sulit tidur. Mungkin sudah berjodoh dengan Santika Tour, mama dapat lagi brosur di kapel Asri untuk ziarek ke Lampung dengan biaya yang sama, yaitu Rp 650.000,00. Dengan ‘amat sangat’ bahagia saya mengajak ayah saya untuk ikut, tetapi rupanya ayah saya ‘kapok’ dengan mabuk perjalanan yang menurut beliau hanya merepotkan orang lain saja. Akhirnya saya mendaftarkan satu kursi untuk mama karena tanggal keberangkatan 25 Oktober itu belum libur. Awalnya saya agak khawatir karena melepaskan mama berangkat sendiri. Saya lalu meminta mama berdoa, mohon supaya waktu bisa diundurkan agar saya dapat menemani mama ke Lampung. Doa orang benar, besar kuasanya. Tiba-tiba saya mendapat sms dari panitia ziarek mengabari bahwa ziarek diundur ke tanggal 26 Oktober, pukul 04.00. Dengan sukacita mama memeluk saya dan mengatakan, semua sudah diatur oleh Tuhan. Bukannya saya tidak percaya dengan panitia atau teman seperjalanan, tetapi alangkah tenang dan nyaman jika saya sendiri yang mendampingi mama, dan Tuhan mengabulkan itu.
         Tanggal 26 Oktober 2012, pukul 03.30 kami berkumpul di tempat yang sudah ditentukan panitia, lalu pukul 04.30 rombongan kami berangkat dari Bekasi menuju Merak. Setelah doa, semuanya melanjutkan tidur yang sempat terpotong karena harus bangun  subuh. Pukul 06.00 kami tiba di Pelabuhan Merak. Karena jalanan sepi, perjalanan kami sangat lancar. Di pelabuhan pun tidak banyak kendaraan yang antri sehingga kami tidak terlalu lama menunggu. Dua jam perjalanan di atas kapal ferry, saya dan mama memilih tempat di ruang VIP agar mama dapat tidur dengan nyaman. Pukul 08.30 kami tiba di Pelabuhan Bakauheni, dan langsung melanjutkan perjalanan menuju Way Kambas. Di Way Kambas, walaupun udaranya sangat panas, mama menikmatinya dengan senang. Kami tidak menyaksikan atraksi gajah tetapi sempat foto bersama gajah. Maklumlah, di Flores tak ada gajah. Kalau gading memang ada dalam urusan adat di Flores, tetapi rupa gajahnya ya…ada dalam foto. Dari Way Kambas kami menuju Gua Maria Pajar Mataram. Kesan terindah yang membekas di lidah saya adalah enaknya ayam goreng Way Kambas. Saya menghabiskan 2 potong ayam goreng yang menurut saya, itulah ayam goreng terenak di dunia. Hahahaha….ayam kampung Way Kambas memang seng ada lawan. Perjalanan ke dan dari Way Kambas menuju Pajar Mataram memang membuat kita sport jantung. Bersyukur, sopir bus kami itu benar-benar lincah dan hebat. Jalan yang kurang mulus itu membuat kami serasa dininabobokan sehingga lebih banyak tidur…. Bus yang nyaman, lengkap dengan kursi pijat, seperti tidak merasa sedang dalam perjalanan jauh yang melelahkan. Musik jadul dengan lagu-lagu mendayu, mengantar mimpi semua penumpang bus. Kami hanya terjaga di saat jam doa dan makan. Pukul 06.00 dan pukul 12.00 doa Angelus, pukul 15.00 doa Koronka. Pukul 16.00 kami tiba di Susteran Pajar Mataram, lalu menuju Gua Maria Pajar Mataram. Gua ini berada di ujung kampung. Saya kagum dengan toleransi antar warga di kampung ini. Bagaimana tidak, ada sebuah tugu perhentian jalan salib (perhentian ke-3) itu tepat di sudut rumah seorang haji di kampung itu. Indah dan damainya. Kami berdoa bersama di gua, lalu pukul 18.00 melanjutkan perjalanan menuju penginapan di Wisma Albertus Tanjung Karang. Suster Alfonsa dan Ibu Mamiek sudah menunggu kedatangan kami dengan suguhan makan malam dan minuman jahe hangat. Malam pertama dilalui dengan indah dan bahagia.
          Tanggal 27 Oktober 2012, pukul 08.00 rombongan kami menuju Pringsewu. Hari ini kami akan berziarah ke Gua Maria Padang Bulan dan makam para pastor dan biarawan-biarawati di Pringsewu. Perjalanan dua setengah jam tidak terasa karena kami terlelap dalam tidur. Tiba di rumah ret-ret Laverna Pringsewu, kami sempat berbelanja benda-benda rohani sebelum menuju gua Maria. Dari rumah ret-ret Laverna menuju gua Maria kami berarak dalam ‘Jalan Salib’ dengan khusuk dan hikmat. Teriknya matahari justru menambah kekhusukan kami berdoa. Inilah jalan salib kehidupan. Gua Maria Padang Bulan memang bagus…. Dari Laverna, kami menuju makam para pastor dan biarawan/wati. Di sana ada makam uskup Pringsewu pertama yang konon walaupun sudah berapa puluh tahun meninggal, ketika dipindahkan ke pemakaman baru itu, tubuhnya masih utuh. Wow…. Pukul 13.00 kami makan siang di susteran Fransiskan dengan menu ala Jawa yang menggoyang lidah. Kemudia perjalanan dilanjutkan ke tempat belanja oleh-oleh di Tanjung Karang. Toko Yen-yen pun diserbu, ternyata isinya ya tak jauh-jauh dari krupuk dan kripik. Puas berbelanja, rombongan kembali ke penginapan. Malam ini kami habiskan waktu dengan ‘sharing pengalaman iman’.
          Tanggal 28 Oktober 2012, pukul 06.30 kami mengikuti misa di Gereja Katedral Kristus Raja Tanjung Karang. Rasanya agung dan hikmat berada di dalam gereja tersebut, membayangkan….kapan kita punya gedung gereja seperti itu. Salah satu ujud doa rombongan kami dalam ziarek ini mohon dilancarkan permohonan izin pembangunan gereja Santa Klara. Pukul 09.00, setelah sarapan, kami meninggalkan Wisma Albertus menuju pantai Pasir Putih. Setelah menikmati sejuknya angin laut, pukul 11.00 kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Bakauhaeni. Pukul 15.00 bus kami masuk ke kapal ferry. Padatnya penumpang dan panasnya udara tidak membuat kami letih. Mama tetap semangat menikmati perjalanan. Pukul 17.30 kami tiba di pelabuhan Merak. Rombogan kembali ke bus dan melaju menuju Bekasi. Pukul 20.00 kami tiba di Bekasi. Terima kasih Tuhan, untuk semuanya….
           Ada satu kejadian lucu, kopor saya dan mama ‘terbawa’ salah seorang dari rombongan kami. Cek ke sana ke mari, belum juga ketemu. Lalu saya punya ide untuk membuka tas yang tertinggal itu untuk melihat isi tas, mencocokkan baju yang pernah dipakai dengan foto-foto yang ada dalam kamera saya. Dan….berhasil ! Ternyata kopor kami dibawa oleh Ibu Esti yang warna tasnya mirip dengan warna kopor kami. Dengan sigap, panitia langsung mengambil kopor kami di rumah Ibu Esti yang ternyata belum sadar bahwa  tasnya tertukar. Terima kasih kepada panitia ziarek ; Bapak Sahid, Bapak Paulus, Bapak Wiyono, Ibu Fransiska Sutini, Bapak Robert. Tuhan memberkati kita semua !

Minggu, 14 Desember 2008

My Uncle : In Memoriam









Dilahirkan pada tanggal 3 April 1956 dari pasangan Kakek Nenekku Almarhum Petrus Sina dan Almarhumah Maria Dhuge Sina sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Sejak berusia tiga tahun ‘diambil ’ oleh Mamaku (Rossa da Lima Sina) - kakaknya nomor 2 -yang saat itu sudah menjadi guru di SDK Wudu. Dengan demikian SD-nya diawali di Wudu. Setelah Mamaku menikah lalu pindah ke SDK Lape di Malagase mengikuti Bapakku (Theodorus Samu), Vincent kecil pun ikut pindah hingga menamatkan SD-nya di Malagase. Begitu aku lahir, Paman Vincentlah yang menjadi “kakak pengasuhku ”.
        Setamat dari SDK Lape, Pamanku mencoba mengikuti tes masuk di SMP Seminari Mataloko dan lulus, tetapi hanya bertahan satu tahun. Kemudian pindah ke SMP Boru Flores Timur, mengikuti kakak sulungnya (Paman Anton Rossina) yang saat itu bertugas sebagai polisi di Boru. Tidak banyak cerita yang kutahu semasa SMPnya karena jauh dan jarang pulang. Saat aku sedang merevisi paragraf ini, bunyi telpon mengagetkanku. Ternyata dari adik iparnya Paman Anton di Boru yang menanyakan apa betul Paman Vincent meninggal. Tanta Nell baru tahu dari Flores Pos tadi pagi (4 Oktober). Kasihan benar, sama-sama di Flores tapi baru tahu seminggu kemudian. Wajar, betapa kagetnya Tanta Nell yang sama-sama dengan Paman Vincent dulu sekolah di Boru.
        Dari SMP Boru, Paman Vincent melanjutkan ke SMAK Syuradikara. Waktu itu aku sudah mulai sekolah sehingga sudah cukup mengerti dan ingat tentang masa-masa remajanya Pamanku. Setiap pulang libur kami menyambutnya seperti orang baru pulang dari Jawa. Pamanku dengan gaya anak muda dari kota Ende kelihatan ganteng sekali. Ya, memang dasarnya Pamanku ganteng. Celana cutbray, kacamata ryben lebar, topi kayak penyanyi Arie Wibowo, pokoknya kelihatan kerennn sekali. Aku masih ingat satu baju kebanggaan Pamanku yang berwarna merah, ada bordiran nama di belakang. Aku yakin teman-temannya seperti Om Blasius, Om Balthasar, dan Tanta Dorce (mantan pacarnya) tahu dan masih ingat dengan baju merah itu.
        Pamanku memang sangat bersahabat. Setiap kali pulang libur, pasti dengan teman-temannya satu truk selalu mampir di rumahku di Roe. Kami akan bahagia sekali karena pasti Bapak dan Mamaku memotong babi, dan kami pun bisa ikut berpesta pora. Dengan bangganya Paman memperkenalkan teman-temannya satu persatu kepada aku dan Tilla serta saudara-saudara lainnya di rumah. Yang masih tersimpan dengan sangat rapi di dalam ingatanku itu bayangan Paman Vincent bersama Om Blasius Gani dan Om Bal libur di Roe dan mereka berfoto-foto di atas batu besar di kebun kami di bukit Ngowu, yang sekarang menjadi villanya Pater Tadeus Gruca. Aku ingat, mereka seperti artis-artis saja saat itu. Kami berebutan untuk berfoto dengan mereka.
       Pamanku itu juga punya ketrampilan di bidang fotografi. Dengan bermodalkan kamera hadiah dari Pater Hanz Runkel, setamat SMA beliau melanglang buana ke mana-mana sambil menenteng kamera. Orang sekampung di Roe pasti akan menanti-nanti kedatangannya untuk bisa memesan foto keluarga. Memang objek foto Pamanku lebih banyak bertema keluarga. Orang memanggilnya “Pak Wartawan”. Dulu beliau bercita-cita menjadi wartawan. Aku melihat Pamanku hebat sekali. Beliau mengajarkan kami bahasa Inggris. Setiap malam, dengan lampu pelita kami wajib membaca buku bahasa Inggris yang beliau bawa dari Ende. Entah benar atau salah ucapannya, yang penting aku bangga bisa belajar bahasa Inggris dari Pamanku yang lulusan SMAK Syuradikara.
        Sejak tamat SMA penampilan Pamanku memang sudah ‘metal’. Rambut gondrong, celana cutbray, jaket jeans, kacamata ryben. Kalau Paman datang kami rebutan memakai kacamatanya, lalu ramai-ramai minta difoto. Pokoknya menyenangkan sekali. Tiada hari tanpa makan daging ayam karena orang-orang yang datang mengambil foto hasil jepretan Paman Vincent pasti bayarnya berupa ayam. Asyik kan !
       Pamanku terkenal kuat jalan kaki. Mungkin karena terlahir dari kampung yang jauh dari jalan oto sehingga ke mana-mana ya harus lako wai. Dan pengikutnya adalah adikku Tilla. Apalagi penampilan Tilla kecil seperti anak laki-laki, ke mana Paman pergi pasti selalu bersama Tilla. Pernah mereka ke Boanio bertemu Pater Hanz. Dengan bangganya Paman bercerita pada Pater bahwa Tilla sudah bisa membaca. Lalu Pater memberi majalah Kunang-Kunang untuk Tilla baca. Tilla pun bergaya seperti bos-bos sedang baca koran. Ternyata bacanya terbalik. Untung Pater tidak melihatnya. Itulah Pamanku, beliau selalu membuat kami senang dan bangga dengan kemampuan kami. Setidaknya saat itu Tilla mampu berakting di depan Pater Hanz seolah-olah sudah bisa membaca. (saat mengetik cerita ini aku sempat tertawa sendiri membayangkan kekonyolan Pamanku bersama Tilla) .
         Cerita lain tentang kekonyolan beliau, saat kami ke Ende menghadiri pernikahan Paman Frans (kakaknya nomor 5). Dari Danga kami numpang oto paroki bersama Pak Camat Paulus Lewa. Sampai di Boamaso kami melihat kebakaran di padang Boamaso. Pak Camat marah besar tapi bingung, bagaimana caranya memanggil orang yang membakar padang itu. Pamanku punya akal. Diteriakinya, “kogha eee, kogha eee...” Berlarianlah orang-orang ke arah kami. Betapa kagetnya mereka melihat ada Pak Camat. Dasar orang kita saat itu jujur, lugu, dan takut tipis bedanya, mengakulah mereka kalau sengaja membakar hutan untuk memburu rusa. Tak ada ampun, Pak Camat menghadiahkan mereka bogem mentah di pipi beberapa kali. Perkara selesai, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ende. Kasihan juga sih orang-orang itu. Paman Vincent menyesal karena tak menyangka bahwa mereka akan ditampar oleh Pak Camat. Maklum, belum heboh soal tindak kekerasan.
        Aku ingat Pamanku dulu sangat mencintai seorang gadis dari Wekaseko, namanya Tanta Dorce Gani. Setamat SMA, saat masih menganggur di Roe, nama Tanta Dorce selalu diceritakan pada kami. Rupanya Tante Dorce waktu itu lebih memilih untuk menjadi Suster yang dikenal dengan nama Suster Antonia daripada membalas cinta Pamanku. Saat Paman operasi usus buntu di RS Lela, yang terdengar dalam rekaman suara saat dibius hanya nama, “Dorce, Dorceee..” Aku sangat penasaran dengan yang namanya Tanta Dorce itu. Suatu hari ada seorang Suster mampir dan menginap di rumah kami di Roe. Ternyata itulah Tanta Dorce, pujaan hati Pamanku. Mungkin cinta pertama yang tak kesampaian. Kasihan. . . deh Pamanku.
        Patah tumbuh hilang berganti, Paman berkenalan dan menjalin kasih dengan Tanta Sofia Wada dari Boru yang kebetulan masih keluarga dengan Tanta Tien, istrinya Paman Anton. Aku sempat melihat foto-foto mesra mereka. Menebar pesona sampai tanah Nagi. Hanya wajah dua gadis itu (Tanta Dorce dan Tanta Ofi) yang menghias album foto Paman Vincent saat itu. Cintanya pada Tanta Ofi masih tersimpan hingga di Jakarta, walau jarak memisahkan.
        Tahun 1979 Paman Vincent ke Jakarta dengan satu tujuan, sekolah wartawan. Daftarlah di Sekolah Tinggi Publisistik, yang sekarang lebih dikenal dengan Kampus Tercinta IISIP. Karena keuangan tidak memungkinkan, gagallah rencananya. Masuklah di Jurusan Akuntansi Universitas Borobudur. Dengan bermodalkan ketekadan yang luar biasa, akhirnya bisa menyelesaikan program D3. Aku yakin semua teman beliau di Jakarta ini lebih mengenal sepak terjangnya selama 13 tahun di Jakarta. Aktif di organisasi PMKRI, Legio Maria, dan mungkin yang lainnya lagi. Berteman dengan semua orang, ringan tangan membantu orang meskipun sebetulnya beliau tidak punya apa-apa, hanya membantu memberi jalan dalam menyelesaikan masalah. Hampir semua orang Flores yang di Jakarta zaman tahun 80-an mengenal yang namanya VINCENT SINA. Beliau sangat menghormati orang lain dan terutama dikenal karena humoris dan solider.
        Tahun 1989 aku ke Malang. Begitu tahu aku di Malang, beliau langsung ke sana. Aku bahagia sekali bertemu dengan Pamanku setelah sekian tahun berpisah. Paman Vincent berusaha mneyenangkan hatiku dengan mengajak belanja kebutuhanku, hingga membayar uang kosku. Padahal waktu itu sebetulnya beliau belum punya pekerjaan tetap tapi beliau berusaha agar aku bahagia saat bertemu beliau. Kebetulan di Malang ada Paman Ambros (kakaknya nomor 6), maka reunilah kami bertiga. Paman Ambros sempat mengira aku pacarnya Paman Vincent karena Pamanku yang satu itu merantau ke Jawa sejak tamat SMP di Larantuka. Atas usulan beliau akhirnya aku pindah ke Yogya, dan menurut beliau aku harus kuliah di IKIP Sanata Dharma atau Universitas Atma Jaya, Fakultas Hukum. Rupanya aku lebih berjodoh dengan panggilan untuk menjadi GURU seperti kedua orang tuaku. Masuklah aku di IKIP Sanata Dharma.
         Akhir tahun 1989, pertama kali aku ke Jakarta. Paman Vincent saat itu tinggal bersama teman-temannya di Paseban. Sebuah rumah tua yang kelihatannya agak angker, terdiri dari beberapa kamar, dan dihuni oleh semua orang Flores. Ada yang dari Ende, Larantuka, Maumere, Manggarai. Aku pertama kali dikenalkan dengan seorang bapak dari Manggarai bernama Om Lorenz, karena menurut Paman Vincent ulang tahun aku dan Om Lorenz itu sama. Pamanku ini seperti Mamaku, selalu mengingat semua ulang tahun orang yang dikenalnya. Ada juga beberapa saudara dari Manggarai yang saat itu suka bernyanyi di pub. Aku lupa nama mereka. Ada Kak Nober Nai yang waktu itu ikut dengan Pamanku karena tak punya keluarga di Jakarta (mungkin sekarang sudah jadi orang penting di PDIP). Paman selalu berusaha menyenangkan aku selama berlibur di Jakarta, padahal beliau tidak bekerja saat itu. Aku diantar untuk mengenal saudara-saudara dari Flores, seperti ke rumah Om Theus Dhaederu di Kalibata, di sana ada Om Stanis Passo dan Kak Firmus Madhudhengi, ke rumah Kak Ambros Gani yang waktu itu belum menikah dengan Kak Ima, di sana ada Kak Lowis dan Kona temanku. Aku benar-benar menikmati liburan di Jakarta dengan bahagia meskipun setiap jam 18.00 harus ke gereja Katedral. Itu wajib hukumnya.
          Cerita tentang ke gereja dan berdoa, Pamanku ini sangat tekun dengan doa. Hal itu sudah mendarah daging karena berasal dari keluarga pendoa. Dari Kakek dan Nenekku, turun ke anak-anaknya. Seorang temannya asal Manggarai bernama Om Kons pernah bercerita padaku dalam perjalanan dari Matraman menuju bandara Soekarno Hatta saat menjemput Paman Vincent pulang dari Swiss bahwa mereka pernah mengantar mayat seorang ibu tua (mungkin gelandangan) yang meninggal di jalan, untuk dikuburkan di pemakaman dekat gereja Salvator pada hari Jumat Agung. Itu kenangan Om Kons yang paling menakjubkan bersama Paman Vincent. Aku yakin, dengan teman lainnya yang bersama beliau semasa di Jakarta tentu banyak kenangan tersendiri yang masih terbayang hingga sekarang. Dengan Kak Ida Djawa, Kak Bertho Botha, Kak Ima Nuwa, Kak Etha Wea, Kak Etha Demon, Kak John Billy, dan semua yang mengenal beliau. Kebersamaan kalian membuatku bangga dengan Pamanku Vincent. Begitu juga dengan yang lebih tua dari beliau seperti Om dr. Lucas Tonga, Kak Dominggus, Kak Laurens Tato, Om Michael Kuwado, Om Alex Dungkal, Kak Otje Puling, Om Primus Dorimulu, dan masih banyak lagi dari Ende, Maumere, Larantuka , semuanya bersahabat dengan beliau.
          Tahun 1992, tiba-tiba aku mendapat telegram bahwa beliau sudah di Mataram dan dalam perjalanan menuju Flores. Ternyata itu tahun awal memulai kehidupan baru di Flores. Aku sempat mendengar cerita tentang masalah di daerah Paseban yang membuat semua orang Flores yang tinggal di daerah Paseban angkat kaki dari situ. Pamanku pulang kampung. Sempat melanglang ke daratan Timor dengan kakaknya di sana beberapa tahun, bertemulah jodohnya di sana dengan seorang gadis Belu (ayah Wudu ibu Belu) bernama Martha Filomena Weke yang baru tamat SMEA. Perbedaan usia yang sangat jauh itu tidak melunturkan ikatan cinta mereka. Lahirlah putra sulungnya yang diberi nama Chritho Maria Pangeran Mosafoa. Setelah itu diboyongnya Tanta Martha dan Pangeran ke Mbay.
         Mulailah Pamanku aktif memperjuangkan tanah masyarakat adat Rendu yang berbatasan dengan Raja di Natabhada. Kasus tanah ini merupakan kasus terheboh di Ngada. Paman Vincent tampil sebagai seorang pejuang bersama masyarakat adat Rendu ‘memperebutkan’ kembali tanah Rendu yang digarap orang Raja sebagai sawah milik mereka. Sejak itu namanya ditambah dengan nama seorang pejuang dari suku Rendu bernama “Mosafoa”. Terjadilah ‘perang saudara’ yang berakibat sangat fatal. Paman Vincent menderita luka yang sangat parah hingga dilarikan ke Ruteng. Meskipun luka parah, dicaci maki,,diseret, beliau tetap berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak masyarakat adat Rendu. Berbagai upaya dilakukan namun belum terselesaikan. Meskipun demikian nama Yayasan Pengembangan Masyarakat Adat Rendu (YAPMAR) mulai dikenal. Terbukti dengan undangan pertemuan di Jakarta yang diselenggarakan oleh WALHI pada tahun 1999. Lebih gaung lagi ketika Paman Vincent bersama teman dari provinsi lain mewakili Indonesia ikut pertemuan di Swiss pada tahun 2001. Dengan bangga memakai pakaian adat Mbay ke mana saja beliau pergi, tanpa memakai alas kaki. Aku juga bangga berjalan dengan beliau meskipun sepanjang perjalanan melihat tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Pernah kami naik mikrolet ke Tanah Abang, lalu sepanjang jalan kami ngobrol soal harga kacamata di Optik Melawai. Seorang ibu di samping kami menatap dengan heran. Mungkin dia berpikir, tidak pakai sendal kok mau beli kacamata di Optik Melawai.
        Pada Pemilu 1999, Paman Vincent mulai aktif di partai politik, dengan PAN sebagai pilihannya. 99 % Masyarakat Adat Rendu memilih PAN. Namun mereka harus kecewa karena orang pilihan mereka tidak bisa duduk di DPRD. Paman Vincent tidak berkecil hati dan putus asa, tetap berjuang, dan aktif. Niatnya satu, membangun SDM Rendu untuk lebih maju sepuluh langkah lagi.
        Pemilu 2004 beliau merubah strategi dengan memilih partai politik lain yaitu partai kaum buruh. Pilihan ini didukung dengan kepulangan adikku Tilla sebagai salah satu caleg perempuan dari Partai Buruh sesuai dengan syarat nasional. Berjuanglah paman dan keponakan ini dalam berkampanye di Aesesa. Orang menyebut mereka Partai Paman Keponakan Bersatu (PPKB). Mereka tetap maju pantang mundur meskipun ada juga sebagian orang Rendu yang mulai berpindah ke partai lain dengan caleg berasal dari Rendu juga. Hasilnya, Paman Vincent menjadi anggota DPRD dari Partai Buruh dengan suara terbanyak, dan Tilla pada urutan yang kedua. Putra Rendu pertama yang duduk di DPRD.
         Cobaan belum selesai. Tibalah saat pelantikan anggota DPRD. Penampilan beliau dipermasalahkan, tetapi Paman tetap maju sebagai wakil dari Masyarakat Adat Rendu dengan motto “Rendu Wawo Latu”. Melalui perdebatan yang alot, akhirnya dilantik juga. Penampilan Paman masih seperti yang dulu. Belum lagi keadaan rumahnya yang sudah sangat reyot, rumah peninggalan orang tuanya. Namun beliau tetap menerima siapa saja yang datang dengan kesederhanaan itu. Semasa di Jakarta saja beliau tidur di kursi bambu yang hanya pas badan. Beliau kurang peduli dengan hal seperti itu. Mungkin itulah yang kemudian membuat daya tahan tubuhnya makin lama makin berkurang.
         31 Desember 2004 Paman melepaskan tahun 2004 di rumahku. Setelah mengikuti pertemuan di Yogyakarta, berdua Elson (adikku yang kuliah di Atma Jaya Yogya) ke Jakarta. Kami menyambut tahun 2005 dengan doa dan renungan bersama. Kebetulan semua adik yang baru datang dari Rendu untuk masuk Sasana Tinju berkumpul di rumahku. Paman berpesan, “Onna dan Nus, kamu jangan hanya mendidik mereka untuk sapu, ngepel, makan, tetapi didik juga mereka untuk tekun berdoa. Usahakan agar selalu doa malam bersama, seperti yang kamu lihat dari bapak mama di kampung. Doa bersama setiap malam itu anugerah Allah yang terbesar dalam sebuah keluarga. Doa bersama juga menjaga keutuhan keluarga, Berdoalah bersama mereka. Melalui doa kalian akan mngetahui apa yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan.”
          Januari 2005 Paman menelponku dari Balikpapan ketika mengikuti pertemuan di sana. Di mana saja beliau berada, pasti selalu berusaha untuk menelpon kami keponakan-keponakannya. Saat itu aku sempat meminta salah satu anaknya untuk kuambil sebagai anak angkat. Aku memilih yang paling kecil karena menurutku belum begitu mengenal orang tuanya, Tetapi ketika Paman menanyakan pada Tanta Martha, rupanya Tanta tidak setuju kalau Anna yang diambil, lebih baik ambil si Mosalaki. Oya, nama anak-anaknya Paman Vincent memang luar biasa hebat, Pangeran, Sultan Inne, Mosalaki, dan Anna.
         Terakhir Paman menelponku tanggal 15 Agustus 2005, lima hari setelah ulang tahunku karena pas hari ulang tahunku beliau sedang berada di daerah yang tidak ada sinyal. Kami bercerita cukup banyak, dan menyinggung soal Mosalaki atau Anna yang rencananya akan saya ambil. Kata Paman, sepertinya lebih baik kami mengambil si Mosalaki saja. Rencananya kalau liburan nanti kami akan pulang mengambil Mosalaki.
Senin, 18 September 2005 SMS dari Tilla bahwa Paman Vincent dirawat di RS Ende. Aku pikir sakit biasa tapi tetap kami doakan kesembuhan beliau. Rabu, 20 September SMS dari Riswan bahwa Paman Vincent dalam perjalanan ke RS Maumere karena sudah ditolak dari RS Ende. Wah, berarti sakitnya sangat serius. Aku lalu SMS menanyakan Tanta Martha tentang keadaan Paman. Tanta hanya membalas, “Pamanmu sangat membutuhkan dukungan doa dari kita semua, keluarga besar.” Aku mulai gelisah dan jadi susah tidur.
         Tanggal 23 September pagi aku janjian dengan suamiku agar pulang lebih cepat sehingga bisa ke gereja jam 19.30 persembahkan misa khusus mohon kesembuhan Paman Vincent. Pukul 19.00 dalam perjalanan ke gereja, aku sempat mengirim SMS dukungan untuk Tanta bahwa kami dalam perjalanan ke gereja, sewa misa khusus untuk Paman. Saat Pastor menyebut ujud misa malam itu, hati dan perasaanku rasanya lain alias ate dhera. Mungkin saat itu merupakan masa-masa kritisnya Pamanku. Sepulang gereja aku sempat berpikir, jangan-jangan Tanta sekarang dalam keadaan hamil. Aku ingat Tanta pernah cerita bahwa setiap ada peristiwa atau kejadian yang dialami Paman Vincent pasti Tanta sedang dalam keadaan hamil muda. Lalu kubuang jauh-jauh pikiran itu. Sampai di rumah tidak ada berita apa-apa. Pukul 21.15 telpon dari Evo Djanga yang langsung menanyakan apa betul Om Vincent sudah meninggal. Aku dengan tegas menjawab tidak karena baru dua jam yang lalu Tanta mengirim SMS. Lima menit kemudian telpon dari Christi Ebo yang memberitahukan bahwa betul Paman Vincent sudah meninggal. Tanganku lemas, langsung aku lari bersandar di tembok dan menangis. Pamanku sudah pergi pukul 22.00 WITA. SMS dari Kak John Billy masuk mengabari kami. Aku juga langsung mengabari saudara-saudara lainnya. Semalaman tak tidur, membayangkan Pamanku. Untung besok Sabtunya aku tidak masuk kerja. Aku merasa sedih sekali membayangkan anak-anaknya yang masih kecil. Tertua Pangeran baru kelas 3 SD. Aduh Pamanku ! Selamat jalan Paman. Aku yakin Paman akan menjadi perantara untuk setiap doa dan permohonan kami yang masih menunggu giliran untuk ‘pulang.’
         Hari Minggu 2 Oktober 2005, ketika membereskan gudang, kutemukan setumpuk surat dari Paman Vincent untukku waktu masih kuliah di Yogya yang memang kusimpan dengan rapi di dalam dos buku. Kubaca lagi, dan tanpa sadar aku menangis. Betapa beliau menyayangiku. Setiap surat diawali, “Nanda terkasih…” dan selalu diakhiri dengan pesan dan nasihat untuk tekun berdoa. Jangan lelah untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Salah satu kutipan surat dari beliau tanggal 14 Desember 1989, “Ingat Onna, Tuhan Yesus dengan hatiNya yang Maha Pengasih serta tak ada duanya, begitu berkuasa atas semua kesulitan-kesulitan kita. SERAHKAN SEMUANYA PADA DIA. Ingat, berdoa dan menangislah pada Yesus. Berdoalah yang rajin dan katakanlah pada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tentang kesulitan Onna dengan berpasrah yang lebih serta beberapa laku tapak dibarengi penyucian diri dalam menyongsong kedatangan Tuhan Yesus. Berbuatlah lebih untuk kemuliaan Tuhan. Apabila semua ini dilakukan maka yakinlah tidak ada yang mustahil bagi Hati Kudus Yesus yang pasti mencintai Onna. Cintailah doa. Rasakanlah selalu kebutuhan akan doa dalam satu hari, dan angkatlah kesulitan-kesulitanmu dalam doa. Selamat merayakan pesta namamu 12 Desember. Songsonglah tahun yang baru nanti dengan tekad juang yang unggul dari mereka yang memiliki banyak fasilitas untuk berprestasi sehingga KEAGUNGAN TUHAN SAJA YANG KITA KAGUMI. Doa saya selalu saya ingat akan kesulitan Nanda Onna.”
          Pelajaran berharga lainnya, mengajariku tanda tangan. Kata Paman, tanda tangan itu tidak boleh putus. Hingga sekarang aku memakai tanda tangan yang diajarkan Paman Vincent. Satu lagi pesan beliau sepulang dari Swiss, jangan pernah merasa malu menunjukkan identitas khas kita, misalnya dengan pakaian daerah. Ditinggalkannya dasi bermotif tenun Mbay untuk suamiku. Sejak itu aku pun berani berpenampilan aneh dengan sarung ke gereja atau ke pesta. Karena suamiku orang Nangaroro jadi aku lebih sering memakai kain lawo. Memang kelihatan nyentrik tapi aku bangga. Paman juga bercerita bagaimana beliau dikira orang termiskin di dunia saat berkunjung ke Lourdes hanya karena memakai sarung dan tanpa alas kaki. Tapi ada untungnya bahwa beliau akhirnya diberi potongan harga khusus untuk fakir miskin dan orang terlantar.
        Pamanku, dengan penuh kesederhanaan menjalani hidup selalu dengan rasa syukur. Mengucapkan terima kasih adalah sikap sopan dan santun, menunjukkan rasa terima kasih adalah sikap lapang hati dan mulia, tetapi menjalani hidup dengan rasa terima kasih . . . itu namanya menyentuh Surga. Mungkin itu termasuk prinsip Pamanku.
          Satu hal yang kadang membuat kami para keponakannya merasa lucu tapi senang juga adalah janjinya. Meskipun lebih banyak tak dipenuhi tetapi kami merasa bahagia, tersanjung, diperhatikan, saat beliau mengatakan itu. Kami bangga karena walau hanya janji, namun setidaknya terlintas dalam pikiran Paman untuk membahagiakan hati kami. Kami seperti teman, saling curhat tentang segala macam hal, termasuk masalah jatuh cinta.
         Kini semua tinggal kenangan. Semua yang pernah mengenal atau pernah dekat dengan beliau tentu merasa kaget dengan kepergian beliau dan pasti merasa kehilangan. Pernah aku menanyakan apa cita-cita beliau (saat kami duduk santai di tangga rumah susun Klender ketika beliau baru pulang dari Swiss), jawabnya “INGIN JADI ORANG SUCI.” Bagaimana menurut pembaca ?

Mari kita mendoakan beliau agar terwujud cita-citanya, menjadi ORANG SUCI. Kita mendoakan juga keluarga yang ditinggalkan beliau ;
Istri tercinta : Martha Filomena Weke Rossina Mosafoa
Anak-anak : - Christo Maria Pangeran Mosafoa
- Christo Maria Sultan Tuzagugu
- Christi Maria Ine Lipadori
- Christo Maria Mosalaki Genewa
- Christi Maria Ana Ebu da Rendu

Aku sudah belajar bahwa prestasi terbesar tidak selalu berupa penghargaan atau hadiah. Prestasi terbesar tidak selalu berupa materi, melainkan pelajaran berharga tentang semangat manusia. Penghargaan bisa memudar, hadiah bisa kehilangan kilaunya, tetapi pelajaran yang kita peroleh akan tinggal untuk selamanya. Terima kasih Pamanku, banyak pelajaran yang kudapat darimu.

“Segala sesuatu dimulai dengan doa. Berusahalah untuk senang berdoa : rasakan kebutuhan untuk sering berdoa sepanjang hari dan rasakan betapa sulitnya. Jika engkau ingin berdoa lebih baik, seringlah berdoa. Semakin banyak engkau berdoa, semakin mudah rasanya. Doa yang sempurna tidak terdiri dari banyaknya kata-kata tetapi dalam semangat untuk mengarahkan hati pada Yesus.”

                                      SAAT ESOK DIMULAI TANPA AKU
Ketika esok dimulai tanpa diriku, aku tidak ada di sana untuk menyaksikannya
Jika matahari terbit dan mendapatkan matamu penuh air mata untukku Aku sangat berharap kau takkan menangis seperti hari ini,
Sambil memikirkan banyak hal yang tidak pernah sempat kita katakana
Dan setiap kali kau berpikir tentang diriku, aku tahu kau akan merindukanku juga
Tapi saat esok hari dimulai tanpa diriku, cobalah untuk mengerti.
Malaikat datang dan memanggil namaku, dan menarik tanganku,
Dan mengatakan tempatku sudah tersedia di atas sana,
Bahwa aku harus meninggalkan semua yang kucintai.
Tapi ketika aku berbalik untuk pergi, sebutir air mata jatuh dari mataku, selama hidupku, aku selalu berpikir aku tidak ingin mati.
Masih banyak yang belum kujalani, dan banyak yang belum kulakukan.
Tampaknya nyaris tak mungkin aku meninggalkanmu, juga anak-anak kita, namun takdir menentukan lain bagi kita.
Aku berpikir tentang semua hari kemarin, hari-hari ynag baik dan buruk
Aku berpikir tentang semua kasih yang kita bagi dan semua kesenangan yang kita alami.
Jika aku bisa menghidupkan hari kemarin, pikirku untuk sebentar saja,
Aku akan mengucapkan selamat tinggal dan menciummu,
Dan mungkin melihat senyummu
Tapi aku sepenuhnya sadar ini tak mungkin terjadi,
Sebab kehampaan dan kenangan akan menggantikanku.
Dan saat aku memikirkan hal-hal duniawi yang kutinggalkan,
Aku memikirkan dirimu, dan saat itu hatiku penuh kesedihan.
Tapi ketika aku melewati pintu Surga, aku merasa begitu kerasan.
Ketika Tuhan memandangku dan tersenyum padaku dari tahta emasNya,
Ia berkata, “Inilah keabadian dan semua yang kujanjikan padamu.”
Hari ini untuk kehidupan di dunia adalah masa lalu,
Dan di sini dimulai hari yang baru.
Aku berjanji tidak ada esok hari, tapi hari ini akan selalu abadi.
Dan karena setiap hari adalah hari yang sama,
Aku tidak lagi merindukan masa lalu.
Kau telah begitu setia, percaya, dan jujur,
Meski kadang-kadang kau melakukan hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kaulakukan
Tapi kau telah dimaafkan, dan sekarang setidaknya kau bebas.
Raih tanganku dan berbagi hidup denganku walau dunia kita berbeda.
Jika esok dimulai tanpa diriku, jangan berpikir kita berjauhan,
Karena setiap kali kau memikirkan diriku, aku berada dalam hatimu.

Chicken Soup for the Teenage Soul

Saat seseorang meninggal, kau tak bisa mengatasi kesedihanmu dengan melupakan; kau mengatasinya dengan mengingat, dan menyadari bahwa tak seorang pun benar-benar lenyap atau hilang kalau mereka sudah pernah hadir dalam hidup kita dan mencintai kita, seperti kita mencintai mereka.
Leslie Marmon Silko

Pamanku di Mata Mereka . . .

“Ketika membaca sms dari nomor yang tidak saya kenal bahwa Vincent Sina meninggal, saya terkejut bukan main. Soalnya kami pernah bertemu belum lama ini di Flores dan saya melihat dia, adik kelas saya di seminari Mataloko, dalam keadaan sehat. Perkenalan saya dengan Vincent bisa dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama adalah sebagai sesama siswa seminari Mataloko di era 70an. Pada masa itu saya mengenal dia sebagai adik kelas yang santun, komunikatif, dan selalu ceria melalui humor-humornya yang khas. Setelah saya ke Jakarta tahun 1974 kontak dengan Vincent terputus cukup lama. Kami menjalin komunikasi lagi pada era 1990-an. Pada masa ini saya sebut sebagai babak kedua, adalah Vincent yang telah menjadi aktivis dan pemimpin yang gigih dengan pikiran dan sikapnya. Keliling dunia dengan memakai sarung tanpa sendal adalah ekspresi keganasan kesederhanaan itu. Dia ternyata memperoleh power sebagai pemimpin.” Kae Laurens Tato Gani - BSD

“Beliau adalah satu-satunya anggota dewan yang sederhana, bahkan sangat sederhana, sesuai dengan kondisi masyarakat kebanyakan yang beliau wakili. Saya sangat kagum pada beliau. ” Kae Jehni Rato - Bajawa
 
“Yang saya ingat, setiap kali gajian Kak Vincent selalu mengajak saya dan Kak Dethe makan. Padahal gajinya tak seberapa saat itu. Betapa perhatiannya pada kami.” Ibu Lien Ebunono Ireeuw - Purwokerto

“Perubahan berawal dari diri sendiri. Hal ini sungguh dihayati oleh Om Vincent semasa hidupnya.” Kak John Billy - Pangkalan Jati
 
“Om Vincent mempunyai jiwa sosial yang tinggi, suka membantu kesulitan orang tanpa pandang bulu, sering ‘mati raga’ untuk memahami kesulitan orang lain. Pergaulan dan wawasan beliau sangat luas.” Kak Marsel Lewa - Serang

“Vincent itu orangnya jujur serta komit dalam memperjuangkan adat budaya, dan memperhatikan nasib orang kecil yang serba kekurangan.” Kak Ambros Busawea - Kupang
 
“Saya berhenti merokok bukan hanya karena rasa cinta kepada istri saya yang adalah keponakan beliau tetapi karena rasa kagum saya pada usaha beliau menjadikan Rendu sebagai kawasan bebas dari asap rokok. Ternyata saya bisa.”Abang Vitalis Da Pessa - Taman Kebalen
 
“Vincent sudah membuktikan diri bagaimana hidup tidak memikirkan diri semata. Ia kembali ke kampung untuk membangun Rendu, Aesesa, dan Ngada. Kita kehilangan tokoh yang begitu kuat komitmennya terhadap daerah dan kaumnya.” Om Primus Dorimulu - Cibubur
 
“Kae Vincent is the VOICE in the VOICELESS. Dia begitu prihatin dengan orang kecil, tetapi lupa akan dirinya. Meskipun telah tiada namun suara dan perjuangannya tetap hidup. Saya punya pengalaman khusus dengan almarhum : kalau bercerita selalu kembali kepada realitas hidup orang kecil (di Rendu dan Boanio). Pemberdayaan masyarakat kecil dan sederhana menjadi misi hidupnya. Kae Vincent figur yang memperjuangkan hak orang-orang kecil. Hidup dan berada di antara kaum marjinal adalah bagian dari dirinya. Gema pewartaannya mengikuti Sang Nabi yang dikumandangkan oleh Yohanes Pembaptis, bahwa hari esok yang baik untuk kita semua yang berjuang.” Pater Kanis Bhila Pea, SVD - Matraman
 
“Almarhum memiliki karakter / kepribadian yang jelas tercermin dalam perjuangan politiknya juga ditunjang dengan spiritualitas yang baik.” Om Michael Kuwado - Pasar Rebo
 
“ Saya sangat terkesan pada pesan beliau waktu kami nginap di hotel Nusantara Ende, ‘Azi, kalau sudah sukses di Jakarta, ajaklah keluarga untuk berdoa dan bakar lilin di kubur orang tua, nenek moyang, para leluhur di kampung supaya mereka juga tetap memberkati kita,’ sambil memeluk saya di depan pintu kamar hotel. Betapa beliau sangat menghormati para leluhurnya, sehingga mengajak saya juga untuk berpikir seperti itu.” Kae Willem Napa - Babelan

“ Ame Vincent adalah pejuang yang berani, jujur, dan murni untuk menegakkan keadilan di negeri ini. Kehidupannya punya prinsip yang jelas. Hidup dan penampilannya sederhana mengikuti visi dan misi Yesus. Membela dan meyelamatkan orang yang tertindas dan miskin. Kehidupan moralnya bagus, dan kehidupan rohaninya sangat baik. Kematiannya adalah sebuah perjuangan. Dampak dari perjuangan yang tanpa pamrih adalah penderitaan, kesakitan, kematian. Buah dari pengorbanan, kesakitan, dan kematian adalah kemenangan, kebangkitan, keberhasilan, kemuliaan, dan kebesaran yang selalu disebut-sebut orang. Ia punya gaya dan prinsip hidup yang khas, yang tidak dimiliki orang lain yang pernah saya kenal. Profisiat Ame Vincent, selamat jalan, semoga tiba di rumah Tuhan dengan selamat. Kami mendoakan. Perjuanganmu menjadi contoh bagi kami semua. Satu orang mati seratus orang akan muncul lagi. Ame Vincent adalah orang yang halus dan pandai, punya wawasan yang luas, kemauan yang keras. Kami orang Rendu merasa sangat kehilangan seorang tokoh pejuang.” Romo Arkadius Dhosa Ndo, Pr - Maumere
“ Penguat hati dan iman saya di saat lelah dan terombang-ambing dalam pencobaan adalah Kak Vincent. Beliau selalu menyadarkan saya akan pentingnya mendekatkan diri pada kuasa dan kehendak Tuhan melalui SMS doa-doa yang begitu menyentuh hati saya setiap pagi. Ne kai ema, kau mata ena Flores, ngao zili Jakarta tu Nona operasi jantung. SMS doa hari-hari terakhir beliau masih tersimpan semua di file saya. Selamat jalan Kae ngao, nara ngao, guru spiritual ngao. Ngaza kau tetap ata mega Ema.” Ibu Siska Mukujawa - Kupang
 
“Om Vincent yang saya kenal adalah pribadi yang sangat baik, yang mau membantu siapa saja yang memerlukan pertolongannya. Penampilan Om Vincent yang terakhir agak membuat saya bertanya-tanya, ada apa ? Tapi saya sangat menghargai pilihan beliau untuk berpenampilan seperti itu, Cuma kelewat sederhana. Yang saya sesalkan, sampai dengan Om Vincent meninggal, asuransi dewan belum terealisasi juga. Kasihan anak istri yang ditinggalkan beliau.” Ibu Hesty Rodja – Bajawa
 
“Om Vincent adalah seorang yang selalu ramah kepada setiap orang. Dalam tutur katanya selalu memberikan dorongan, nasihat, dan masukan-masukan yang sangat berarti. Kerendahan hatinya membuat Om dikenal di antara kerabatnya. Selamat jalan Om, semoga amal ibadah Om diterima Tuhan YME, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan, serta ketegaran.” Nona Anita & Ovan  Laru – Psr Minggu

“ Saya mengenal Om Vincent sejak masa kecil kami di Malagase (meskipun beliau lebih tua dari saya), masuk SD sampai di Syuradikara selalu bersama. Sikap dasar yang tidak berubah, konsisten dari kecil sampai akhir hayat, mempertahankan yang benar walaupun ditentang oleh banyak orang. Om Vincent pasti tetap bertahan dengan argumen yang masuk akal dan dapat diterima pihak lain (tentu yang paham dengan beliau). Masih banyak sekali kenangan bersama beliau yang tidak akan pernah saya lupa. Selamat jalan Om.” Kak Yos Dhimawea - Kupang

Jumat, 05 Desember 2008

Tentang ORANG TUA ...

7 Juni 1968 ayah dan ibuku menikah di Jawakisa. Pengantin baru ini kemudian bersama mengabdi di SDK Lape yang waktu itu masih di kampung Malagase, nama yang mirip dengan ibukota Madagaskar. Kampung ini letaknya di kaki gunung Lape. Setahun kemudian lahirlah aku sebagai anak sulung, putri kebanggaan keluarga. Aku lahir pada hari Minggu, pukul 10.00 WITA, tanggal 10 Agustus 1969 saat orang sekampung baru pulang dari kebaktian di kapel. Kelahiranku dibantu oleh ‘bidan kampung’ keluargaku Nenek Lena dan Nenek Sofia Bhara. Ayahku sedang menjemput Nenek Mama (panggilan untuk ibunya ibuku), ‘bidan kampung’ dari Jawakisa. Berkat tangan kedua ‘bidan kampung’ itu, aku lahir dengan selamat. Aku tumbuh dan besar dengan sarat cinta kasih dan perhatian. Umur setahun aku terserang cacar air. Mungkin salah penanganan (maklum di kampung), masih ada bekas tertinggal di wajahku hingga sekarang. Tapi aku tetap cantik ! Narsis ya ? Penting lagi !
        Dua tahun kemudian, 10 Mei 1971, lahirlah adikku bernama Domitilla Wea Samu / Tilla.  Ini dia nama keramat yang diambil dari nama suster yang sering menghukum ibuku kalau makannya tidak habis. Bertambahlah jumlah anggota keluarga kami ; ayah, ibu, nenek Lena, aku, Tilla, dan Kak Hermen (kakak angkatku yang ikut ayah sejak umur 3 tahun). Tahun 1973 terjadi bencana alam, penduduk kampung Malagase pun pindah ke Roe. Keluarga kami ikut pindah dan untuk sementara tinggal menumpang di rumah keluarga Bapak Moses Meo yang sudah duluan pindah. Selama dua tahun kami tinggal serumah, susah senang bersama. Adikku Resty lahir di rumah itu. Terima kasih Bapak Moses dan Mama Tina ! Bapak Moses ini termasuk mosalaki (orang terpandang) di kampung Roe dan masa itu sebagi ketua POM.
           Tahun 1975 ayahku diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Bapak Guru Alex Nge. Karena rumah jabatan kepala sekolah sudah dibangun masyarakat Roe, kami pun pindah ke rumah baru itu. Meski kondisinya ala kadar alias amat sangat sederhana sekali atau terlalu luar biasa sederhana, tetapi kami bahagia. Lantainya tanah, dindingnya pelepah, atapnya alang-alang, persis syair lagu ‘Rumah Kita’ –nya Ahmad Albar ;
…… hanya dinding bambu, tempat tinggal kita…
…….beralaskan tanah ….

Begitulah keadaan rumah kami, istana kebanggaan kami, tempat berlabuh kami sekeluarga. Keadaan rumah guru lain pun tak beda dengan rumah kami, dan letaknya di atas bukit Ngowu. Kini menjadi villa yang megah dan indah milik Pater Tadeus Gruca. Di rumah bukit itu lahir adikku Elson. Di rumah bukit itu juga tempat kami menghabiskan masa kecil kami dengan penuh sukacita. Gice dan Etty, anak Bapak Guru Alex adalah teman bermain aku dan Tilla. Terlalu banyak kenangan masa kecil yang manis terukir di sana, dan terlalu indah untuk dilupakan. Kami dengan bebas berteriak, naik pohon sambil bernyanyi memamerkan suara merdu kami. Musim jambu kami memetik sendiri, naik ke atas pohon sambil makan dan bernyanyi. Begitu juga musim mangga. Hal yang sangat mengagumkan ! Sekarang aku sering bermimpi, kembali ke rumah masa kecilku itu. Tetapi hanya mimpi, faktanya bahwa tempat itu sudah dibeli Pater Tadeus dan sudah dibangun villa serta tempat retreat yang megah. Tetangga kami saat itu selain Bapak Guru Alex, juga Ibu Maria Salome Sia. Sedangkan Bapak Guru Gaspar Siga tinggal bersama keluarga kami karena masih bujangan. Dasar jodoh, akhirnya menikah dengan Ibu Salome, lalu pindah ke SDK Wolowajo di Wekaseko.
          Tahun 1978 adalah tahun yang sangat berkesan untuk kami sekeluarga. Dua peristiwa terjadi di tahun ini. Tanggal 28 Februari menjadi hari duka keluarga kami karena adikku Kristina Giri Samu /Resty dipanggil Tuhan setelah seminggu sakit campak. Kami sedih dan merasa sangat kehilangan adik yang sedang lucu-lucunya, usia empat tahun. Dia lahir 17 Juli 1974. Masyarakat sekampung berduka karena Resty memang disayang semua orang dan sangat menggemaskan. Pintar bicara, lucu, dan montok. Semua orang yang bertamu ke rumah kami, begitu pamitan, pasti langsung didoakannya supaya tidak kehujanan, dengan bahasa kanak-kanaknya yang sangat polos. Herannya, doanya spontan dan hanya minta supaya orang yang didoakannya itu tidak kehujanan dalam perjalanan. “Tuhan Yesus, jangan hujan dulu sampai bapak/mama/om/tanta/kakak/adik sampai di rumah.” Begitu doanya. Hingga kini kami selalu ingat akan doanya itu, dan bagi kami sekeluarga doa itu terjawab. Aku dan suamiku pun selalu meminta pada Resty jika cuaca mendung dalam perjalanan, “Resty, abang dan kakak nyampe rumah dulu baru hujan.” Percaya gak percaya, Tuhan menjawab doa itu melalui kenangan kita pada seseorang terdekat kita yang sudah meninggal. Kenangan tentang doa Resty semasa hidupnya itu meyakinkan kami sekeluarga bahwa di dunia lainnya di sana pun dia tetap mendoakan kami seperti itu. Dua bulan kemudian, 6 Mei 1978, lahirlah adikku Evodius Rossina Waso / Elson. Puji Tuhan, kami diberi pengganti Resty, seorang adik laki-laki yang sehat, montok. Karena gendut, montok, dan bulat, kami memanggilnya Debo. Kesedihan diganti dengan kebahagiaan. Indah sekali waktunya !
          Dalam mendidik kami, ayahku lebih lembut dan sabar. Jarang beliau marah, apalagi memukul, sekali pun tak pernah. Hanya kalau yang lamban pasti dibilang “domba” tapi dengan nada bercanda. Beda dengan ibuku yang paling sering menjewer lengan kami setelah diomeli. Biasalah…ibu-ibu di dunia ini yang tak pernah luput dari dosa yang satu itu, mengomel. Dari segi psikologi mungkin bisa mengurangi sakit hati karena langsung dilampiaskan, tetapi dari segi kesehatan pasti semakin kelihatan tua. Kalau sudah mengomeli satu orang, siap-siap yang lain akan digilir kena marah. Ibuku biasa memakai istilah, ‘mari kita bongkar’ untuk memulai litania kesalahan kami semua. Satu persatu diabsen sampai capek. Kalau beliau sedang menulis persiapan mengajar atau mengoreksi pekerjaan murid, suasana rumah harus tenang. Ibuku memang keras dalam mendidik kami, tidak mau memanjakan kami. Malahan kami diajar untuk mandiri, kreatif dan inovatif. Kalau salah satu dari kami menangis, jangan pernah berharap dibujuk rayu untuk diam, malah katanya, “Terus… teriak lagi sampai puas, biar dada dan jantung kuat.” Lucu, entah teori dari mana hanya beliau yang tahu. Akhirnya yang menangis itu berhenti sendiri dan tertidur karena capek dan puas.
           Di rumah kami juga tinggal beberapa saudara – keluraga dekat – yang ikut sekolah bersama di Roe. Paling tua adalah Om Vincent yang ikut ibuku sebelum menikah, dan Kak Hermen yang ikut ayahku sebelum menikah. Kak Hermen-lah yang kemudian menjadi kakak angkatku, menemani aku bermain sebelum Tilla lahir. Saudara-saudaraku yang ikut kami ini sebetulnya dititipkan orang tua mereka karena ingin mereka sekolah dan belajar dengan serius. Tinggal bersama orang tuanya, mereka sering bolos berhari-hari, bahkan berminggu-minggu karena jarak sekolah dan rumahnya jauh. Dari rumah mereka mengaku ke sekolah, tetapi setelah agak jauh dari rumah mereka berbelok arah, bolos entah main ke mana, di luar pantauan orang tuanya. Saat itu mungkin mereka merasa bahagia bisa bermain sepuasnya, tak perlu sekolah. Mengingat masa depannya, orang tuanya menitipkan pada orang tuaku untuk ikut mendidik, membimbing, dan membina mereka. Kami pun bersatu di rumah sederhana itu sebagai satu saudara, senasib seperjuangan. Ada Kak Marsi Judha, Kak Amandus Miri, Kak Bibi Menge, Kak Kanis Kewa, Kak Romana Mudja, Kak Victor Rose, Kak Ferry Sadha, Kak Lius Wele, Tina Ebu, Dora Dhi, Bapak Bal Baka, Bapak Sius Mare, Om Horis Wada, Mama Bertha Bidu. Masih ada lagi ‘angkatan’ berikutnya, Markus Nge, Merry Medho, Philo Pano, Bene Ega, Basti Biga, Bella Doy, dan Leo Lata. Yang hanya beberapa bulan saja tinggal di rumah itu, Ande Peri dan Hendi Dhosa dari Aeramo.
           Suasana rumah kami seperti di asrama. Meski begitu banyak, semuanya rukun-rukun dan saling mendukung. Laksanakan tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing. Kak Amandus, Kak Kanis, Kak Victor, Kak Romana, dan Tina itu prestasi akademiknya bagus dan tulisan mereka juga bagus. Kak Bibi dan Tina dengan suara emasnya biasa menjadi solis di paduan suara sekolah atau gereja. Kak Romana dengan kecantikan dan body sexy-nya membuat banyak pemuda kampung mengincarnya. Dora yang juga cantik tapi alim dan pemalu hanya tersenyum dan bersembunyi jika ada yang menggodanya. Bapak Bal punya ‘bakat jenius’ dalam berkelahi dan provokasi. Hampir setiap hari Sabtu dia memalak dan berkelahi dengan anak-anak Ratedao yang pulang dari pasar Danga. Tingkah lakunya ‘diteruskan’ kepada Tilla yang menjadi murid setianya. Mereka berdua paling kompak dalam urusan palak-memalak dan perkelahian. Kak Hermen menjadi anak paling diistimewakan. Punya lemari pakaian sendiri, tempat menyimpan harta kekayaannya yang selalu dikunci, sedangkan anak laki-laki lainnya jadi satu. Buku-bukunya pun beda dari lainnya. Tapi dasar tak berjodoh dengan urusan akademik, hanya sampai kelas II SMP dia mengundurkan diri dari dunia pendidikan dan melanjutkan petualangannya di dunia penggembalaan kerbau milik ayah yang memang lebih jinak dan setia dengan Kak Hermen. Kak Victor, Ferry, dan Lius itu seangkatan. Kak Victor bertahan sampai lulus SMP dan pindah dari rumah karena melanjutkan SMA, Kak Ferry hanya sampai kelas II SMP lalu merantau ke Ende mengadu nasib sebagai penjaga rumah makan, dan terakhir menjadi kondektur, lalu naik pangkat jadi sopir oto Sutra Alam. Kak Lius ini ‘anak mami’ yang aneh. Setiap hari tugasnya adalah urusan merebus air minum. Jam 15.00, setelah air minum beres dimasukkan ke cerek dan termos, mulailah dia konser di belakang rumah alias menangis…sambil memanggil-manggil nama mamanya. “Ine Yuli e…ngao walo wi’e…!” (Mama Yuli, saya pulang saja). Itu berlangsung hingga tiga tahun, pada jam dan tempat yang sama. Akhirnya hanya bertahan sampai kelas III SD, kembalilah dia ke pelukan mamanya di Segho. Semua mereka keluar dari rumah satu-persatu setelah menamatkan SMP karena harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan jauh dari rumah. Semua mereka pun meninggalkan kenangan masing-masing yang unik di mata orang tuaku. Orang tuaku mendidik kami sama, tidak membeda-bedakan.
           Ayah dan ibuku menanamkan kedisiplinan dalam diri kami semua. Sejak bangun jam 05.00, setelah berdoa pagi bersama, tak ada yang bermalas-malasan. Semua ramai-ramai menimba air di kali Okitebo, kemudian sarapan bubur, lalu ke sekolah. Untuk menimba air, kami semua dibagi jerigen yang ukurannya sesuai dengan body kami, dan oleh ibuku ditulis nama kami masing-masing. Dengan demikian ketahuan siapa yang tidak menimba air waktu pagi, sorenya harus menimba dua kali. Itu menjadi peraturan tak tertulis dan dipatuhi oleh semunya dengan penuh tanggung jawab. Pembagian sabun juga dijatah agar semuanya belajar berhemat. Orang sekampung merasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya Pak Dorus dan Ibu Ross memberi makan kepada ‘masyarakat’ sebanyak itu. Semua menikmati makanan apa adanya. Jagung rebus, nasi sayur atau pisang rebus, semuanya dinikmati dengan sukacita. Daun singkong dan daun pepaya adalah sayur favorit keluarga kami. Maka tak heran kalau di sekeliling rumah kami ditanami singkong dan pepaya. Ada juga mangga, pisang, jeruk, alpukat, sirsak, nenas, ya… semuanya ada di kebun kami yang luas. Yang berjasa untuk urusan konsumsi adalah Nenek Lena dan Mama Martha. Tanpa beliau berdua, kami pasti kelaparan sepulang sekolah karena hanya mereka berdua yang hari-hari di rumah. Untuk makan malam secara bergilir yang nona-nona bergantian memasak. Memasak sejak jam 17.00 agar tidak mengganggu waktu belajar. Pukul 18.30, suasana rumah sepi… karena semuanya belajar dengan memilih tempat masing-masing yang menurut sendiri paling nyaman. Rumah kami diterangi dua buah lampu petromax. Prinsip orang tuaku, boros minyak tak apalah, yang penting urusan belajar anak-anak beres dan aman. Suasana agak berisik jika ayahku mulai mengetik. Bunyi mesin ketik tuanya itu ramai karena kurang diminyaki. Tapi itu harta berharga kami yang kadang menjadi rebutan jika ingin belajar mengetik. Aku bangga, setidaknya ayahku memiliki alat tulis agak modern yang tidak satu pun orang di kampung kami memiliki, dan mengajarkan kami untuk mengenal teknologi, walaupun apa adanya. Kami bangga dengan keadaan seperti itu.
           Akhir ujian cawu, rumah kami panen juara kelas. Hampir semuanya mendapat rangking di kelas masing-masing. Ibuku memberi kami hadiah yang bisa dipakai bersama seperti bola voli dan netnya, bola kaki, atau buku bacaan. Di samping rumah kami ada tanah kosong yang luas sekali sehingga dijadikan lapangan sepak bola dan voli. Kami benar-benar menikmati keceriaan setiap hari bersama-sama. Sore hari jam 17.30 semuanya dilarang masuk rumah dulu karena ada ‘pembunuhan massal’ terhadap nyamuk alias disemprot dengan obat nyamuk Mortein. Ayahku yang berperan sebagai penjagalnya, dengan gaya menutup mulut dan hidung pakai sapu tangan. Sejam kemudian baru boleh masuk. Kami tak punya TV atau tape recorder, hanya punya radio 4 band merk Toshiba kesayangan ayahku untuk mendengar berita dari RRI atau radiogram dari RPD Ngada. Kalau sinyalnya tidak bagus, ayahku sampai menempel-nempelkan telinganya dekat radio. Ibuku berlangganan majalah Kartini melalui Ibu Bibi Dongo di Bajawa. Meskipun terlambat, kami selalu setia menanti. Berkat membaca majalah Kartini, ibuku tahu tentang produk obat nyamuk Mortein, sampho Selsun dan sabun Jhonson. Untuk kami semuanya berlangganan Kunang-kunang (majalah bulanan anak-anak terbitan Nusa Indah Ende). Begitu diterima dari Pater Hans, ibu langsung menulis nama kami masing-masing agar tidak berebutan. Kami semua suka membaca.
          Untuk kebutuhan sehari-hari, selain berbelanja di pasar Danga, orang tuaku berlangganan pada Pater Hanz Runkel, pastor paroki kami. Dengan bermodalkan saling percaya, ibuku menuliskan nota kebutuhan, lalu menyuruh salah seorang di antara kami mengantarkannya kepada Pater Hanz di Boanio. Setiap anak pasti mendapat giliran karena ibu ingin kami semua berani dan sekalian menguji kejujuran kami. Akhirnya ketahuan, Kak Hermen pernah menambah catatan permintaan dengan tulisannya. Aku yang menemukan nota itu di atas loteng tempat dia biasa tidur siang. Sejak itu dia tak pernah disuruh lagi. “Dhiri gero mona wali bai” (sampai di sini, tak terulang lagi), begitu istilah untuk orang yang tidak dipercayai lagi, seperti peribahasa ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak dipercayai lagi’. Syarat yang harus kami lakukan sebelum bertemu Pater Hanz adalah berdoa dulu di gereja. Selain itu, sebelum berangkat, kami dites dulu seolah-olah berbicara dengan Pater Hanz (semacam latihan akting gitu deh). Soal pembayarannya akan dipotong gaji yang dikirim oleh Yasukda melalui Pater Hanz. Terima kasih Pater ! Hubungan baik ini tetap terjalin meskipun kini beliau sudah pindah ke paroki Nangalanang Manggarai.
         Ada kenangan yang tak pernah kulupakan saat kami dirotani (pertama dalam hidupku dirotani ayah) gara-gara bolos sekolah. Awalnya dari kunjungan Gubernur Ben Mboy dan istri ke Danga. Karena penasaran dengan kecantikan Ibu Nafsiah yang sering diceritakan orang-orang, melihat iring-iringan oto ke Danga, kami pun ikutan ke Danga, diprovokasi oleh Bapak Bal. Sepulangnya Kak Marsi, Kak Mandus, dan Bapak Bal dari sekolah di SMPK Boanio, kami ramai-ramai berangkat jalan kaki. Baru sampai di Kesidari Wawo, kami melihat iring-iringan oto kembali dari Danga. Kami tetap nekat karena kami mengira itu hanya rombongan pengantarnya. Apalagi kami tahu bahwa ada Mama Ika, saudarinya Pak Ben Mboy yang tinggal di Danga, pasti mereka menginap. Sok tahu ! Tiba di Danga sudah sore, dan kami mampir mandi di pondok Tanta Nyora. Setelah itu kami ke pasar Danga karena dengar-dengar bahwa akan ada pentas seni di sana. Dengan semangat kami berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan acara. Astaga naga, pasar gelap gulita. Dengan kecewa kami kembali ke Penginanga, menginap di pondok Tanta Nyora. Karena kelelahan,kami menunda kepulangan sampai hari ketiga. Untuk mengurangi kemarahan orang tua, kami membawa sayuran yang banyak dari sawah. Tiba di rumah pukul 21.00, saat orang serumah sedang doa malam. Dengan berjingkat-jingkat kami langsung menuju dapur. Setelah doa kami ke ruang tengah, menyapa orang tua lalu makan malam. Malam itu kami dapat tidur dengan damai karena tidak diinterogasi macam-macam. Rupanya itu ‘ditabung’ hingga esok harinya di sekolah. Kami bertiga (aku, Tina, dan Tilla) dirotani di depan teman-teman. Betapa malunya kami tetapi itu memang resikonya bagi yang bolos sekolah. Sedangkan ketiga kakak yang SMP selamat dari hukuman seperti kami. Aduh, gara-gara mau lihat Ibu Nafsiah Mboy !
          Ada lagi kenangan waktu pertama kalinya aku dipercayakan ibuku ke sawah Om Onse. Aku merasa bahagia sekali saat itu. Aku berangkat bersama Kak Mandus, jalan kaki. Di mata keluarga besar, aku adalah manusia paling lemah karena sering sakit. Menurut mereka, orang yang mau berjalan denganku adalah orang yang sabar dan setia menunggu. Jalanku pelan dan gampang lelah. Kak Mandus sebetulnya agak berat (kelihatan dari raut wajahnya) tetapi tetap memberi semangat padaku dengan senyuman. Berangkatlah kami berdua. Sampai di Parabhara hujan lebat. Kami tetap berjalan. Di Penginanga kami mampir di rumah Om Hendi Tiba, makan dan ganti baju. Lalu kami lanjutkan perjalanan, jam 17.30 sampai di pondok Mama Lena Ria. Kami mampir sebentar. Mereka terheran-heran melihat aku datang. Kami lanjutkan lagi dan tiba di pondok Om Onse sekitar jam 19.00. Lagi-lagi semua yang ada di sana terheran-heran karena aku bisa jalan kaki dari Roe sampai sawah pintu VI. Malam itu tidurku lelap sekali karena kelelahan. Keesokan paginya setelah doa hari minggu bersama, kami berdua Kak Mandus kembali ke Roe, tetapi dengan menunggang kuda. Muatan kami sarat dengan beras, pisang, dan sayuran. Kami tiba di Roe lebih cepat. Sejak itu mereka tidak meragukan lagi kemampuanku berjalan kaki.
          Pengalaman lainnya waktu kami mencari kayu bakar di Malaledo. Semua kami berangkat. Tadinya mereka mau diam-diam, dengan maksud agar aku tidak ikut, tapi ketahuan olehku. Setelah kayu diikat sesuai kemampuan masing-masing, pulanglah kami. Baru sekitar 500 meter berjalan, aku tak kuat lagi memikul. Kutinggalkan saja, dan terpaksa Kak Marsi menambah bebannya dengan bagianku. Aku hanya membawa parang saja. Selanjutnya, tahu sendiri, mereka tidak pernah mengajak aku lagi pergi mencari kayu bakar. Tilla dipuji-puji karena bisa memikul kayu bakar seperti mereka. Biarin…! Tapi jangan tanya kalau soal ke pesta, biar jauh di Jawatiwa, Boazea, Ratedao, pasti aku ikut. Orang tuaku mengizinkan kami semua ikut pesta agar kami bisa mengenal orang lain. Setibanya di tempat pesta, orang tua duduk manis, kami anak-anak boleh menari sepuasnya. Tak pernah ada larangan karena mereka percaya bahwa kami bisa sopan, tahu menjaga diri dan selalu menjaga nama baik keluarga. Orang tua juga mengizinkan kami berlibur ke tempat saudara atau teman agar kami dapat mengenal tempat dan suasana lain juga mendapat banyak pengalaman. Setamat SD, aku dan Tilla langsung dikirim masuk asrama di Mataloko. Kami tidak pernah merasa dikekang atau dipaksakan. Setiap ada tamu yang datang, semua anak di rumahku wajib memperkenalkan diri. Alasan ibuku agar kami berani tampil, dan tamu pun mengenal kami anak-anak di rumah Pak Dorus dan Ibu Ross.
           Sebagai kepala sekolah, ayah sering tugas keluar, misalnya ke Danga, Bajawa, atau menjadi pengawas ujian di sekolah lain. Setiap ayah pulang, kami berebutan membawa tas begitu ayah turun dari oto. Kami bahagia sekali dengan keadaan apa adanya kami. Ibuku mewajibkan kami memelihara ayam dan menanam pisang agar tiba ulang tahun, kami bisa memotong ayam dan menggoreng pisang hasil usaha kami untuk merayakan hari istimewa itu. Aduh nikmatnya ! Satu lagi; ibuku tak pernah lupa pada ulang tahun semua orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang ulang tahunnya sama dengan aku, Tilla, Resty, dan Elson pasti mendapat hadiah, meskipun hanya sepotong kue. Aku kagum pada ibuku.
          Ibuku mengajarkan kami untuk hidup prihatin, tidak sombong,dan rendah hati. “Cium tangan ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua supaya kamu mendapat berkat,” pesan ibuku. “Dahulukan orang yang lebih tua jika mengambil makanan,” nasihat beliau juga. Dan ini yang membuat Elson ‘makan hati’ kalau makan bersama karena pasti giliran dia yang terakhir, sementara makanan yang disukainya sudah disikat Tilla yang memang selalu sengaja mencari gara-gara dengan Elson. “Ucapkan selamat makan kepada semua yang sedang makan bersamamu.” Elson sempat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk melitania nama orang-orang yang sedang makan bersamanya. “Hormatilah yang tua dan sayangi yang muda,” pesan orang tua kepada kami dalam setiap suratnya. “Sabar agar mendapat pahala, dan jagalah selalu nama baik keluarga.” Pesan sederhana yang tetap kami ingat hingga kini. Sesuai dengan firman, “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.” Amsal 22 : 1
          Tahun 1980 kami pindah rumah ke Okitebo, rumah sendiri. Tempatnya sangat strategis, sekaligus tempat mampir para penumpang oto yang macet atau ban pecah. Aku ingat waktu oto Petani Cengkeh terbalik di tikungan Roe, semua penumpang ditampung di rumah kami. Kebanyakan orang Mauponggo yang pulang dari pasar Danga. Korban luka diobati seadanya oleh ibuku dan lainnya beristirahat sambil menunggu pemilik oto datang menjemput. Esoknya Om Yakob Babo datang menjemput mereka. Orang tuaku mengajarkan kami untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan. Kebaikan orang tua kepada orang lain, kamilah yang mendapat berkat dari Tuhan. Terbukti saat kami berdua Elson sedang bingung mengurus tiket pesawat ke Denpasar di Maumere, tiba-tiba ada seseorang yang datang menawarkan bantuan dan bercerita bahwa dia pernah menginap di rumah kami saat oto yang ditumpanginya rusak. Dia melihat wajah Elson yang sangat mirip dengan ayahku. Puji Tuhan !
         24 tahun mengabdi di SDK Lape, tahun 1988 orang tuaku pindah ke SDI Butata di Segho, kampung asal ayahku. Kami harus berjalan kaki selama dua jam dari Radja. Tidak ada kendaraan ke sana, bunyinya saja tak pernah kedengaran. Tetapi kami harus belajar menerima kenyataan ini agar dapat kembali mengenal dan mencintai kampung Segho, tanah leluhur kami. Tahun 1990 baru ada oto yang masuk Rendu, itu pun seminggu sekali, hari Rabu saja.
           2 Juli 1996, nenekku meninggal. Kami merasa sangat sedih karena tak satu pun antara kami yang hadir saat itu karena kami bertiga di Yogya. Diputuskan, setiap libur ada yang pulang untuk melihat makam nenek. Nenekku sangat berjasa pada kehidupan kami semua. Nenek selalu turut mengambil bagian dalam kehidupan kami sejak kami dalam kandungan, ikut merawat, mengasuh, dan membimbing kami dengan apa adanya yang buta huruf. Dengan keterbatasannya itu beliau selalu memberikan yang terbaik buat kami cucu-cucunya. Aku bangga dan kagum pada nenekku sampai kapan pun. Selamat jalan Nenek Magdalena !
        Oktober 1998 ayah dan ibuku pindah ke Jawakisa, kampung asal ibuku. Berawal dari guru honorer di Jawakisa lalu menghabiskan masa persiapan pensiunnya di Jawakisa. Hidup mereka terpakai untuk sebuah pengabdian. Doa merupakan makanan rohani yang menguatkan kami sekeluarga dan mengiringi setiap langkah dan rencana.
           26 Juni 2001, ayahku merayakan ulang tahunnya ke-60 di Jakarta ketika datang menghadiri pernikahanku, 3 Juni 2001. Kami mengantar mereka berdua keliling Jakarta dan mengunjungi tempat-tempat penting dalam sejarah bangsa seperti yang pernah diajarkan mereka dalam pelajaran ketika kami di SD. Kalau dulu mereka hanya mengajar berdasarkan gambar di dalam buku dan imajinasi mereka, kini mereka dapat menyaksikan dan menginjak di tempat yang diceritakan itu seperti Lubang Buaya, Monas, Taman Mini, dan lainnya. Mereka bisa naik kereta dan pesawat yang sebelumnya hanya dilihat di gambar. Akhirnya di usia ke-60 mereka baru bisa menginjak kota Jakarta, ibu kota Negara Indonesia.

Ayah dan Ibu, terima kasih banyak untuk apa yang kau ajarkan, untuk apa yang berikan , dan terutama kau telah menjadi orang tua yang bijaksana bagi kami anak-anakmu.

KELUARGA
Hal lain bisa mengubah kita, tapi kita bermula dan berakhir dengan keluarga.

Tentang IBU...


Kau mengerjakan semua tugas sehari-hari
Dan membuatku merasa menjadi seorang yang sangat istimewa bagimu.
Apapun yang terjadi dalam hidupmu, aku tahu
Karena kau, aku jadi berarti …


Ibuku, Rossa da Lima Sina, dan biasa disapa Ibu Ross oleh semua yang mengenalnya. Sama seperti ayah, ibuku juga asli dari Rendu, tepatnya Jawakisa (sekarang kecamatan Aesesa Selatan). Ibuku terlahir sebagai anak kedua –putri pertama- dari tujuh bersaudara pasangan Kakek Petrus Sina dan Nenek Maria Dhuge. Kakak sulungnya Anton Agustinus Rossina, dan adik-adiknya Sisilia Sina, Yosef Onse Aloysius Sina (alm), Fransiskus Agustinus Sina, Ambrosius Agustinus Sina, dan Vincent Herman Rossina Mosafoa (alm). Kakekku seorang petani, tetapi karena selalu membantu pastor mengajarkan agama Katolik di kampung Jawakisa dan Rendu umumnya sehingga orang mengenalnya sebagai guru agama. Nenekku juga petani tetapi berpendidikan, sekolah di SRK Todabelu (sekarang SMPK Kartini) hingga kelas V. Keburu dilamar oleh sang guru agama, tidak sampai tamat, harus pulang kampung untuk menikah. Karena latar belakang kedua orang tuanya berpendidikan maka tak heran bila ibuku dan saudara-saudaranya semua bersekolah.

15 Agustus 1941, ibuku dilahirkan. Masa kecil ibu banyak diceritakan lagi padaku. Nenek merawat putri pertamanya ekstra perhatian karena sering sakit dan bertubuh ringkih. Tidak seperti ayah yang harus melewati perjalanan panjang ke sekolah, ibu dengan mudah ke sekolah karena jarak rumah dan sekolah hanya beberapa meter. Mungkin melihat ayahnya yang sering masuk keluar kampung mengajarkan agama Katolik, membantu pastor mempersiapkan orang yang akan dibaptis, timbullah motivasinya untuk menjadi guru.

Lulus SRK (kelas III) di SDK Rendu, ibu melanjutkan kelas IV – VI di SRK Todabelu III (sekarang SMPK Kartini) milik susteran SSpS Mataloko yang khusus untuk anak-anak perempuan. Ibu tinggal di asrama, diasuh dan dibimbing oleh para suster Belanda yang penuh disiplin. Makan nasi tak boleh ada sisanya di piring. Ibu tak pernah habiskan sepiring nasi yang sudah ditakarkan sehingga sering dihukum oleh Suster Domitilla. Untuk mengenangnya, adikku yang kedua diberi nama Domitilla. Ternyata nama itu memberi dampak kurang bagus pada Tilla, kalau makan selalu tidak bisa dihabiskan. Habis, kasih nama karena mengenang luka batin sih. Nama anak adalah doa dan harapan orang tuanya.

Tiga tahun di asrama, ibu jarang pulang ke kampungnya karena jauh dan harus berjalan kaki berhari-hari. Oleh karena itu ibu lebih banyak berlibur di rumah sahabat ibunya di Pagonage, Nenek Nyora Lena, yang putri-putrinya juga seasrama dengan ibuku, yaitu Mama Eci, Mama Since, Tanta Mince, Tanta Retha, Tanta Selvi, Tanta Walde. Hubungan mereka dengan ibuku sudah seperti saudara sendiri.

Setamatnya dari Mataloko, ibu melanjutkan ke SGB Jopu, sekolah guru khusus putri di kabupaten Ende . Jaraknya lebih jauh lagi dari Rendu, harus ditempuh berjalan kaki selama satu minggu. Dengan kondisi fisik yang kecil, kurus, dan hanya diantar oleh teman ayahnya, ibu nekat untuk tetap melanjutkan sekolah di Jopu. Pepatah mengatakan, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Akhirnya ibu berhasil lulus menjadi guru, dan satu-satunya perempuan Rendu yang pertama menjadi guru saat itu. Ada beberapa temannya yang selalu diperkenalkan pada kami anak-anaknya melalui cerita, Mama Melda Nage, Mama Metha Wula, Mama Thres Billy, Mama Maria Owa. Dan guru idola ibuku yang selalu dikunjunginya jika ke Bajawa yaitu Mama Lin.

Lulus dari SGB, ibu mengajar di SDK Rendu sebagai tenaga honorer. Pengangkatan pertama sebagai PNS ditempatkan di SDK Wudu. Atas perjodohan dan persetujuan keluarga besar, ibuku menikah dengan pemuda dari Segho bernama Theodorus Samu, yang juga teman sekolahnya dulu. Setelah menikah keduanya pindah mengajar di SDK Lape – Malagase. Rupanya mereka memang berjodoh !

RIWAYAT MENGAJAR :
• SDK Rendu Jawakisa : 1 November 1959 - Juni 1967
• SDK Wudu : Juni 1967 - Juni 1969
• SDK Lape : Juni 1969 – 1 November 1988
• SDI Butata Segho : 5 November 1988 – 4 Oktober 1998
• SDK Rendu Jawakisa : 7 Oktober 1998 – 1 Januari 2001