Jumat, 05 Desember 2008

Tentang ORANG TUA ...

7 Juni 1968 ayah dan ibuku menikah di Jawakisa. Pengantin baru ini kemudian bersama mengabdi di SDK Lape yang waktu itu masih di kampung Malagase, nama yang mirip dengan ibukota Madagaskar. Kampung ini letaknya di kaki gunung Lape. Setahun kemudian lahirlah aku sebagai anak sulung, putri kebanggaan keluarga. Aku lahir pada hari Minggu, pukul 10.00 WITA, tanggal 10 Agustus 1969 saat orang sekampung baru pulang dari kebaktian di kapel. Kelahiranku dibantu oleh ‘bidan kampung’ keluargaku Nenek Lena dan Nenek Sofia Bhara. Ayahku sedang menjemput Nenek Mama (panggilan untuk ibunya ibuku), ‘bidan kampung’ dari Jawakisa. Berkat tangan kedua ‘bidan kampung’ itu, aku lahir dengan selamat. Aku tumbuh dan besar dengan sarat cinta kasih dan perhatian. Umur setahun aku terserang cacar air. Mungkin salah penanganan (maklum di kampung), masih ada bekas tertinggal di wajahku hingga sekarang. Tapi aku tetap cantik ! Narsis ya ? Penting lagi !
        Dua tahun kemudian, 10 Mei 1971, lahirlah adikku bernama Domitilla Wea Samu / Tilla.  Ini dia nama keramat yang diambil dari nama suster yang sering menghukum ibuku kalau makannya tidak habis. Bertambahlah jumlah anggota keluarga kami ; ayah, ibu, nenek Lena, aku, Tilla, dan Kak Hermen (kakak angkatku yang ikut ayah sejak umur 3 tahun). Tahun 1973 terjadi bencana alam, penduduk kampung Malagase pun pindah ke Roe. Keluarga kami ikut pindah dan untuk sementara tinggal menumpang di rumah keluarga Bapak Moses Meo yang sudah duluan pindah. Selama dua tahun kami tinggal serumah, susah senang bersama. Adikku Resty lahir di rumah itu. Terima kasih Bapak Moses dan Mama Tina ! Bapak Moses ini termasuk mosalaki (orang terpandang) di kampung Roe dan masa itu sebagi ketua POM.
           Tahun 1975 ayahku diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Bapak Guru Alex Nge. Karena rumah jabatan kepala sekolah sudah dibangun masyarakat Roe, kami pun pindah ke rumah baru itu. Meski kondisinya ala kadar alias amat sangat sederhana sekali atau terlalu luar biasa sederhana, tetapi kami bahagia. Lantainya tanah, dindingnya pelepah, atapnya alang-alang, persis syair lagu ‘Rumah Kita’ –nya Ahmad Albar ;
…… hanya dinding bambu, tempat tinggal kita…
…….beralaskan tanah ….

Begitulah keadaan rumah kami, istana kebanggaan kami, tempat berlabuh kami sekeluarga. Keadaan rumah guru lain pun tak beda dengan rumah kami, dan letaknya di atas bukit Ngowu. Kini menjadi villa yang megah dan indah milik Pater Tadeus Gruca. Di rumah bukit itu lahir adikku Elson. Di rumah bukit itu juga tempat kami menghabiskan masa kecil kami dengan penuh sukacita. Gice dan Etty, anak Bapak Guru Alex adalah teman bermain aku dan Tilla. Terlalu banyak kenangan masa kecil yang manis terukir di sana, dan terlalu indah untuk dilupakan. Kami dengan bebas berteriak, naik pohon sambil bernyanyi memamerkan suara merdu kami. Musim jambu kami memetik sendiri, naik ke atas pohon sambil makan dan bernyanyi. Begitu juga musim mangga. Hal yang sangat mengagumkan ! Sekarang aku sering bermimpi, kembali ke rumah masa kecilku itu. Tetapi hanya mimpi, faktanya bahwa tempat itu sudah dibeli Pater Tadeus dan sudah dibangun villa serta tempat retreat yang megah. Tetangga kami saat itu selain Bapak Guru Alex, juga Ibu Maria Salome Sia. Sedangkan Bapak Guru Gaspar Siga tinggal bersama keluarga kami karena masih bujangan. Dasar jodoh, akhirnya menikah dengan Ibu Salome, lalu pindah ke SDK Wolowajo di Wekaseko.
          Tahun 1978 adalah tahun yang sangat berkesan untuk kami sekeluarga. Dua peristiwa terjadi di tahun ini. Tanggal 28 Februari menjadi hari duka keluarga kami karena adikku Kristina Giri Samu /Resty dipanggil Tuhan setelah seminggu sakit campak. Kami sedih dan merasa sangat kehilangan adik yang sedang lucu-lucunya, usia empat tahun. Dia lahir 17 Juli 1974. Masyarakat sekampung berduka karena Resty memang disayang semua orang dan sangat menggemaskan. Pintar bicara, lucu, dan montok. Semua orang yang bertamu ke rumah kami, begitu pamitan, pasti langsung didoakannya supaya tidak kehujanan, dengan bahasa kanak-kanaknya yang sangat polos. Herannya, doanya spontan dan hanya minta supaya orang yang didoakannya itu tidak kehujanan dalam perjalanan. “Tuhan Yesus, jangan hujan dulu sampai bapak/mama/om/tanta/kakak/adik sampai di rumah.” Begitu doanya. Hingga kini kami selalu ingat akan doanya itu, dan bagi kami sekeluarga doa itu terjawab. Aku dan suamiku pun selalu meminta pada Resty jika cuaca mendung dalam perjalanan, “Resty, abang dan kakak nyampe rumah dulu baru hujan.” Percaya gak percaya, Tuhan menjawab doa itu melalui kenangan kita pada seseorang terdekat kita yang sudah meninggal. Kenangan tentang doa Resty semasa hidupnya itu meyakinkan kami sekeluarga bahwa di dunia lainnya di sana pun dia tetap mendoakan kami seperti itu. Dua bulan kemudian, 6 Mei 1978, lahirlah adikku Evodius Rossina Waso / Elson. Puji Tuhan, kami diberi pengganti Resty, seorang adik laki-laki yang sehat, montok. Karena gendut, montok, dan bulat, kami memanggilnya Debo. Kesedihan diganti dengan kebahagiaan. Indah sekali waktunya !
          Dalam mendidik kami, ayahku lebih lembut dan sabar. Jarang beliau marah, apalagi memukul, sekali pun tak pernah. Hanya kalau yang lamban pasti dibilang “domba” tapi dengan nada bercanda. Beda dengan ibuku yang paling sering menjewer lengan kami setelah diomeli. Biasalah…ibu-ibu di dunia ini yang tak pernah luput dari dosa yang satu itu, mengomel. Dari segi psikologi mungkin bisa mengurangi sakit hati karena langsung dilampiaskan, tetapi dari segi kesehatan pasti semakin kelihatan tua. Kalau sudah mengomeli satu orang, siap-siap yang lain akan digilir kena marah. Ibuku biasa memakai istilah, ‘mari kita bongkar’ untuk memulai litania kesalahan kami semua. Satu persatu diabsen sampai capek. Kalau beliau sedang menulis persiapan mengajar atau mengoreksi pekerjaan murid, suasana rumah harus tenang. Ibuku memang keras dalam mendidik kami, tidak mau memanjakan kami. Malahan kami diajar untuk mandiri, kreatif dan inovatif. Kalau salah satu dari kami menangis, jangan pernah berharap dibujuk rayu untuk diam, malah katanya, “Terus… teriak lagi sampai puas, biar dada dan jantung kuat.” Lucu, entah teori dari mana hanya beliau yang tahu. Akhirnya yang menangis itu berhenti sendiri dan tertidur karena capek dan puas.
           Di rumah kami juga tinggal beberapa saudara – keluraga dekat – yang ikut sekolah bersama di Roe. Paling tua adalah Om Vincent yang ikut ibuku sebelum menikah, dan Kak Hermen yang ikut ayahku sebelum menikah. Kak Hermen-lah yang kemudian menjadi kakak angkatku, menemani aku bermain sebelum Tilla lahir. Saudara-saudaraku yang ikut kami ini sebetulnya dititipkan orang tua mereka karena ingin mereka sekolah dan belajar dengan serius. Tinggal bersama orang tuanya, mereka sering bolos berhari-hari, bahkan berminggu-minggu karena jarak sekolah dan rumahnya jauh. Dari rumah mereka mengaku ke sekolah, tetapi setelah agak jauh dari rumah mereka berbelok arah, bolos entah main ke mana, di luar pantauan orang tuanya. Saat itu mungkin mereka merasa bahagia bisa bermain sepuasnya, tak perlu sekolah. Mengingat masa depannya, orang tuanya menitipkan pada orang tuaku untuk ikut mendidik, membimbing, dan membina mereka. Kami pun bersatu di rumah sederhana itu sebagai satu saudara, senasib seperjuangan. Ada Kak Marsi Judha, Kak Amandus Miri, Kak Bibi Menge, Kak Kanis Kewa, Kak Romana Mudja, Kak Victor Rose, Kak Ferry Sadha, Kak Lius Wele, Tina Ebu, Dora Dhi, Bapak Bal Baka, Bapak Sius Mare, Om Horis Wada, Mama Bertha Bidu. Masih ada lagi ‘angkatan’ berikutnya, Markus Nge, Merry Medho, Philo Pano, Bene Ega, Basti Biga, Bella Doy, dan Leo Lata. Yang hanya beberapa bulan saja tinggal di rumah itu, Ande Peri dan Hendi Dhosa dari Aeramo.
           Suasana rumah kami seperti di asrama. Meski begitu banyak, semuanya rukun-rukun dan saling mendukung. Laksanakan tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing. Kak Amandus, Kak Kanis, Kak Victor, Kak Romana, dan Tina itu prestasi akademiknya bagus dan tulisan mereka juga bagus. Kak Bibi dan Tina dengan suara emasnya biasa menjadi solis di paduan suara sekolah atau gereja. Kak Romana dengan kecantikan dan body sexy-nya membuat banyak pemuda kampung mengincarnya. Dora yang juga cantik tapi alim dan pemalu hanya tersenyum dan bersembunyi jika ada yang menggodanya. Bapak Bal punya ‘bakat jenius’ dalam berkelahi dan provokasi. Hampir setiap hari Sabtu dia memalak dan berkelahi dengan anak-anak Ratedao yang pulang dari pasar Danga. Tingkah lakunya ‘diteruskan’ kepada Tilla yang menjadi murid setianya. Mereka berdua paling kompak dalam urusan palak-memalak dan perkelahian. Kak Hermen menjadi anak paling diistimewakan. Punya lemari pakaian sendiri, tempat menyimpan harta kekayaannya yang selalu dikunci, sedangkan anak laki-laki lainnya jadi satu. Buku-bukunya pun beda dari lainnya. Tapi dasar tak berjodoh dengan urusan akademik, hanya sampai kelas II SMP dia mengundurkan diri dari dunia pendidikan dan melanjutkan petualangannya di dunia penggembalaan kerbau milik ayah yang memang lebih jinak dan setia dengan Kak Hermen. Kak Victor, Ferry, dan Lius itu seangkatan. Kak Victor bertahan sampai lulus SMP dan pindah dari rumah karena melanjutkan SMA, Kak Ferry hanya sampai kelas II SMP lalu merantau ke Ende mengadu nasib sebagai penjaga rumah makan, dan terakhir menjadi kondektur, lalu naik pangkat jadi sopir oto Sutra Alam. Kak Lius ini ‘anak mami’ yang aneh. Setiap hari tugasnya adalah urusan merebus air minum. Jam 15.00, setelah air minum beres dimasukkan ke cerek dan termos, mulailah dia konser di belakang rumah alias menangis…sambil memanggil-manggil nama mamanya. “Ine Yuli e…ngao walo wi’e…!” (Mama Yuli, saya pulang saja). Itu berlangsung hingga tiga tahun, pada jam dan tempat yang sama. Akhirnya hanya bertahan sampai kelas III SD, kembalilah dia ke pelukan mamanya di Segho. Semua mereka keluar dari rumah satu-persatu setelah menamatkan SMP karena harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan jauh dari rumah. Semua mereka pun meninggalkan kenangan masing-masing yang unik di mata orang tuaku. Orang tuaku mendidik kami sama, tidak membeda-bedakan.
           Ayah dan ibuku menanamkan kedisiplinan dalam diri kami semua. Sejak bangun jam 05.00, setelah berdoa pagi bersama, tak ada yang bermalas-malasan. Semua ramai-ramai menimba air di kali Okitebo, kemudian sarapan bubur, lalu ke sekolah. Untuk menimba air, kami semua dibagi jerigen yang ukurannya sesuai dengan body kami, dan oleh ibuku ditulis nama kami masing-masing. Dengan demikian ketahuan siapa yang tidak menimba air waktu pagi, sorenya harus menimba dua kali. Itu menjadi peraturan tak tertulis dan dipatuhi oleh semunya dengan penuh tanggung jawab. Pembagian sabun juga dijatah agar semuanya belajar berhemat. Orang sekampung merasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya Pak Dorus dan Ibu Ross memberi makan kepada ‘masyarakat’ sebanyak itu. Semua menikmati makanan apa adanya. Jagung rebus, nasi sayur atau pisang rebus, semuanya dinikmati dengan sukacita. Daun singkong dan daun pepaya adalah sayur favorit keluarga kami. Maka tak heran kalau di sekeliling rumah kami ditanami singkong dan pepaya. Ada juga mangga, pisang, jeruk, alpukat, sirsak, nenas, ya… semuanya ada di kebun kami yang luas. Yang berjasa untuk urusan konsumsi adalah Nenek Lena dan Mama Martha. Tanpa beliau berdua, kami pasti kelaparan sepulang sekolah karena hanya mereka berdua yang hari-hari di rumah. Untuk makan malam secara bergilir yang nona-nona bergantian memasak. Memasak sejak jam 17.00 agar tidak mengganggu waktu belajar. Pukul 18.30, suasana rumah sepi… karena semuanya belajar dengan memilih tempat masing-masing yang menurut sendiri paling nyaman. Rumah kami diterangi dua buah lampu petromax. Prinsip orang tuaku, boros minyak tak apalah, yang penting urusan belajar anak-anak beres dan aman. Suasana agak berisik jika ayahku mulai mengetik. Bunyi mesin ketik tuanya itu ramai karena kurang diminyaki. Tapi itu harta berharga kami yang kadang menjadi rebutan jika ingin belajar mengetik. Aku bangga, setidaknya ayahku memiliki alat tulis agak modern yang tidak satu pun orang di kampung kami memiliki, dan mengajarkan kami untuk mengenal teknologi, walaupun apa adanya. Kami bangga dengan keadaan seperti itu.
           Akhir ujian cawu, rumah kami panen juara kelas. Hampir semuanya mendapat rangking di kelas masing-masing. Ibuku memberi kami hadiah yang bisa dipakai bersama seperti bola voli dan netnya, bola kaki, atau buku bacaan. Di samping rumah kami ada tanah kosong yang luas sekali sehingga dijadikan lapangan sepak bola dan voli. Kami benar-benar menikmati keceriaan setiap hari bersama-sama. Sore hari jam 17.30 semuanya dilarang masuk rumah dulu karena ada ‘pembunuhan massal’ terhadap nyamuk alias disemprot dengan obat nyamuk Mortein. Ayahku yang berperan sebagai penjagalnya, dengan gaya menutup mulut dan hidung pakai sapu tangan. Sejam kemudian baru boleh masuk. Kami tak punya TV atau tape recorder, hanya punya radio 4 band merk Toshiba kesayangan ayahku untuk mendengar berita dari RRI atau radiogram dari RPD Ngada. Kalau sinyalnya tidak bagus, ayahku sampai menempel-nempelkan telinganya dekat radio. Ibuku berlangganan majalah Kartini melalui Ibu Bibi Dongo di Bajawa. Meskipun terlambat, kami selalu setia menanti. Berkat membaca majalah Kartini, ibuku tahu tentang produk obat nyamuk Mortein, sampho Selsun dan sabun Jhonson. Untuk kami semuanya berlangganan Kunang-kunang (majalah bulanan anak-anak terbitan Nusa Indah Ende). Begitu diterima dari Pater Hans, ibu langsung menulis nama kami masing-masing agar tidak berebutan. Kami semua suka membaca.
          Untuk kebutuhan sehari-hari, selain berbelanja di pasar Danga, orang tuaku berlangganan pada Pater Hanz Runkel, pastor paroki kami. Dengan bermodalkan saling percaya, ibuku menuliskan nota kebutuhan, lalu menyuruh salah seorang di antara kami mengantarkannya kepada Pater Hanz di Boanio. Setiap anak pasti mendapat giliran karena ibu ingin kami semua berani dan sekalian menguji kejujuran kami. Akhirnya ketahuan, Kak Hermen pernah menambah catatan permintaan dengan tulisannya. Aku yang menemukan nota itu di atas loteng tempat dia biasa tidur siang. Sejak itu dia tak pernah disuruh lagi. “Dhiri gero mona wali bai” (sampai di sini, tak terulang lagi), begitu istilah untuk orang yang tidak dipercayai lagi, seperti peribahasa ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak dipercayai lagi’. Syarat yang harus kami lakukan sebelum bertemu Pater Hanz adalah berdoa dulu di gereja. Selain itu, sebelum berangkat, kami dites dulu seolah-olah berbicara dengan Pater Hanz (semacam latihan akting gitu deh). Soal pembayarannya akan dipotong gaji yang dikirim oleh Yasukda melalui Pater Hanz. Terima kasih Pater ! Hubungan baik ini tetap terjalin meskipun kini beliau sudah pindah ke paroki Nangalanang Manggarai.
         Ada kenangan yang tak pernah kulupakan saat kami dirotani (pertama dalam hidupku dirotani ayah) gara-gara bolos sekolah. Awalnya dari kunjungan Gubernur Ben Mboy dan istri ke Danga. Karena penasaran dengan kecantikan Ibu Nafsiah yang sering diceritakan orang-orang, melihat iring-iringan oto ke Danga, kami pun ikutan ke Danga, diprovokasi oleh Bapak Bal. Sepulangnya Kak Marsi, Kak Mandus, dan Bapak Bal dari sekolah di SMPK Boanio, kami ramai-ramai berangkat jalan kaki. Baru sampai di Kesidari Wawo, kami melihat iring-iringan oto kembali dari Danga. Kami tetap nekat karena kami mengira itu hanya rombongan pengantarnya. Apalagi kami tahu bahwa ada Mama Ika, saudarinya Pak Ben Mboy yang tinggal di Danga, pasti mereka menginap. Sok tahu ! Tiba di Danga sudah sore, dan kami mampir mandi di pondok Tanta Nyora. Setelah itu kami ke pasar Danga karena dengar-dengar bahwa akan ada pentas seni di sana. Dengan semangat kami berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan acara. Astaga naga, pasar gelap gulita. Dengan kecewa kami kembali ke Penginanga, menginap di pondok Tanta Nyora. Karena kelelahan,kami menunda kepulangan sampai hari ketiga. Untuk mengurangi kemarahan orang tua, kami membawa sayuran yang banyak dari sawah. Tiba di rumah pukul 21.00, saat orang serumah sedang doa malam. Dengan berjingkat-jingkat kami langsung menuju dapur. Setelah doa kami ke ruang tengah, menyapa orang tua lalu makan malam. Malam itu kami dapat tidur dengan damai karena tidak diinterogasi macam-macam. Rupanya itu ‘ditabung’ hingga esok harinya di sekolah. Kami bertiga (aku, Tina, dan Tilla) dirotani di depan teman-teman. Betapa malunya kami tetapi itu memang resikonya bagi yang bolos sekolah. Sedangkan ketiga kakak yang SMP selamat dari hukuman seperti kami. Aduh, gara-gara mau lihat Ibu Nafsiah Mboy !
          Ada lagi kenangan waktu pertama kalinya aku dipercayakan ibuku ke sawah Om Onse. Aku merasa bahagia sekali saat itu. Aku berangkat bersama Kak Mandus, jalan kaki. Di mata keluarga besar, aku adalah manusia paling lemah karena sering sakit. Menurut mereka, orang yang mau berjalan denganku adalah orang yang sabar dan setia menunggu. Jalanku pelan dan gampang lelah. Kak Mandus sebetulnya agak berat (kelihatan dari raut wajahnya) tetapi tetap memberi semangat padaku dengan senyuman. Berangkatlah kami berdua. Sampai di Parabhara hujan lebat. Kami tetap berjalan. Di Penginanga kami mampir di rumah Om Hendi Tiba, makan dan ganti baju. Lalu kami lanjutkan perjalanan, jam 17.30 sampai di pondok Mama Lena Ria. Kami mampir sebentar. Mereka terheran-heran melihat aku datang. Kami lanjutkan lagi dan tiba di pondok Om Onse sekitar jam 19.00. Lagi-lagi semua yang ada di sana terheran-heran karena aku bisa jalan kaki dari Roe sampai sawah pintu VI. Malam itu tidurku lelap sekali karena kelelahan. Keesokan paginya setelah doa hari minggu bersama, kami berdua Kak Mandus kembali ke Roe, tetapi dengan menunggang kuda. Muatan kami sarat dengan beras, pisang, dan sayuran. Kami tiba di Roe lebih cepat. Sejak itu mereka tidak meragukan lagi kemampuanku berjalan kaki.
          Pengalaman lainnya waktu kami mencari kayu bakar di Malaledo. Semua kami berangkat. Tadinya mereka mau diam-diam, dengan maksud agar aku tidak ikut, tapi ketahuan olehku. Setelah kayu diikat sesuai kemampuan masing-masing, pulanglah kami. Baru sekitar 500 meter berjalan, aku tak kuat lagi memikul. Kutinggalkan saja, dan terpaksa Kak Marsi menambah bebannya dengan bagianku. Aku hanya membawa parang saja. Selanjutnya, tahu sendiri, mereka tidak pernah mengajak aku lagi pergi mencari kayu bakar. Tilla dipuji-puji karena bisa memikul kayu bakar seperti mereka. Biarin…! Tapi jangan tanya kalau soal ke pesta, biar jauh di Jawatiwa, Boazea, Ratedao, pasti aku ikut. Orang tuaku mengizinkan kami semua ikut pesta agar kami bisa mengenal orang lain. Setibanya di tempat pesta, orang tua duduk manis, kami anak-anak boleh menari sepuasnya. Tak pernah ada larangan karena mereka percaya bahwa kami bisa sopan, tahu menjaga diri dan selalu menjaga nama baik keluarga. Orang tua juga mengizinkan kami berlibur ke tempat saudara atau teman agar kami dapat mengenal tempat dan suasana lain juga mendapat banyak pengalaman. Setamat SD, aku dan Tilla langsung dikirim masuk asrama di Mataloko. Kami tidak pernah merasa dikekang atau dipaksakan. Setiap ada tamu yang datang, semua anak di rumahku wajib memperkenalkan diri. Alasan ibuku agar kami berani tampil, dan tamu pun mengenal kami anak-anak di rumah Pak Dorus dan Ibu Ross.
           Sebagai kepala sekolah, ayah sering tugas keluar, misalnya ke Danga, Bajawa, atau menjadi pengawas ujian di sekolah lain. Setiap ayah pulang, kami berebutan membawa tas begitu ayah turun dari oto. Kami bahagia sekali dengan keadaan apa adanya kami. Ibuku mewajibkan kami memelihara ayam dan menanam pisang agar tiba ulang tahun, kami bisa memotong ayam dan menggoreng pisang hasil usaha kami untuk merayakan hari istimewa itu. Aduh nikmatnya ! Satu lagi; ibuku tak pernah lupa pada ulang tahun semua orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang ulang tahunnya sama dengan aku, Tilla, Resty, dan Elson pasti mendapat hadiah, meskipun hanya sepotong kue. Aku kagum pada ibuku.
          Ibuku mengajarkan kami untuk hidup prihatin, tidak sombong,dan rendah hati. “Cium tangan ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua supaya kamu mendapat berkat,” pesan ibuku. “Dahulukan orang yang lebih tua jika mengambil makanan,” nasihat beliau juga. Dan ini yang membuat Elson ‘makan hati’ kalau makan bersama karena pasti giliran dia yang terakhir, sementara makanan yang disukainya sudah disikat Tilla yang memang selalu sengaja mencari gara-gara dengan Elson. “Ucapkan selamat makan kepada semua yang sedang makan bersamamu.” Elson sempat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk melitania nama orang-orang yang sedang makan bersamanya. “Hormatilah yang tua dan sayangi yang muda,” pesan orang tua kepada kami dalam setiap suratnya. “Sabar agar mendapat pahala, dan jagalah selalu nama baik keluarga.” Pesan sederhana yang tetap kami ingat hingga kini. Sesuai dengan firman, “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.” Amsal 22 : 1
          Tahun 1980 kami pindah rumah ke Okitebo, rumah sendiri. Tempatnya sangat strategis, sekaligus tempat mampir para penumpang oto yang macet atau ban pecah. Aku ingat waktu oto Petani Cengkeh terbalik di tikungan Roe, semua penumpang ditampung di rumah kami. Kebanyakan orang Mauponggo yang pulang dari pasar Danga. Korban luka diobati seadanya oleh ibuku dan lainnya beristirahat sambil menunggu pemilik oto datang menjemput. Esoknya Om Yakob Babo datang menjemput mereka. Orang tuaku mengajarkan kami untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan. Kebaikan orang tua kepada orang lain, kamilah yang mendapat berkat dari Tuhan. Terbukti saat kami berdua Elson sedang bingung mengurus tiket pesawat ke Denpasar di Maumere, tiba-tiba ada seseorang yang datang menawarkan bantuan dan bercerita bahwa dia pernah menginap di rumah kami saat oto yang ditumpanginya rusak. Dia melihat wajah Elson yang sangat mirip dengan ayahku. Puji Tuhan !
         24 tahun mengabdi di SDK Lape, tahun 1988 orang tuaku pindah ke SDI Butata di Segho, kampung asal ayahku. Kami harus berjalan kaki selama dua jam dari Radja. Tidak ada kendaraan ke sana, bunyinya saja tak pernah kedengaran. Tetapi kami harus belajar menerima kenyataan ini agar dapat kembali mengenal dan mencintai kampung Segho, tanah leluhur kami. Tahun 1990 baru ada oto yang masuk Rendu, itu pun seminggu sekali, hari Rabu saja.
           2 Juli 1996, nenekku meninggal. Kami merasa sangat sedih karena tak satu pun antara kami yang hadir saat itu karena kami bertiga di Yogya. Diputuskan, setiap libur ada yang pulang untuk melihat makam nenek. Nenekku sangat berjasa pada kehidupan kami semua. Nenek selalu turut mengambil bagian dalam kehidupan kami sejak kami dalam kandungan, ikut merawat, mengasuh, dan membimbing kami dengan apa adanya yang buta huruf. Dengan keterbatasannya itu beliau selalu memberikan yang terbaik buat kami cucu-cucunya. Aku bangga dan kagum pada nenekku sampai kapan pun. Selamat jalan Nenek Magdalena !
        Oktober 1998 ayah dan ibuku pindah ke Jawakisa, kampung asal ibuku. Berawal dari guru honorer di Jawakisa lalu menghabiskan masa persiapan pensiunnya di Jawakisa. Hidup mereka terpakai untuk sebuah pengabdian. Doa merupakan makanan rohani yang menguatkan kami sekeluarga dan mengiringi setiap langkah dan rencana.
           26 Juni 2001, ayahku merayakan ulang tahunnya ke-60 di Jakarta ketika datang menghadiri pernikahanku, 3 Juni 2001. Kami mengantar mereka berdua keliling Jakarta dan mengunjungi tempat-tempat penting dalam sejarah bangsa seperti yang pernah diajarkan mereka dalam pelajaran ketika kami di SD. Kalau dulu mereka hanya mengajar berdasarkan gambar di dalam buku dan imajinasi mereka, kini mereka dapat menyaksikan dan menginjak di tempat yang diceritakan itu seperti Lubang Buaya, Monas, Taman Mini, dan lainnya. Mereka bisa naik kereta dan pesawat yang sebelumnya hanya dilihat di gambar. Akhirnya di usia ke-60 mereka baru bisa menginjak kota Jakarta, ibu kota Negara Indonesia.

Ayah dan Ibu, terima kasih banyak untuk apa yang kau ajarkan, untuk apa yang berikan , dan terutama kau telah menjadi orang tua yang bijaksana bagi kami anak-anakmu.

KELUARGA
Hal lain bisa mengubah kita, tapi kita bermula dan berakhir dengan keluarga.

Tidak ada komentar: