Minggu, 14 Desember 2008

My Uncle : In Memoriam









Dilahirkan pada tanggal 3 April 1956 dari pasangan Kakek Nenekku Almarhum Petrus Sina dan Almarhumah Maria Dhuge Sina sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Sejak berusia tiga tahun ‘diambil ’ oleh Mamaku (Rossa da Lima Sina) - kakaknya nomor 2 -yang saat itu sudah menjadi guru di SDK Wudu. Dengan demikian SD-nya diawali di Wudu. Setelah Mamaku menikah lalu pindah ke SDK Lape di Malagase mengikuti Bapakku (Theodorus Samu), Vincent kecil pun ikut pindah hingga menamatkan SD-nya di Malagase. Begitu aku lahir, Paman Vincentlah yang menjadi “kakak pengasuhku ”.
        Setamat dari SDK Lape, Pamanku mencoba mengikuti tes masuk di SMP Seminari Mataloko dan lulus, tetapi hanya bertahan satu tahun. Kemudian pindah ke SMP Boru Flores Timur, mengikuti kakak sulungnya (Paman Anton Rossina) yang saat itu bertugas sebagai polisi di Boru. Tidak banyak cerita yang kutahu semasa SMPnya karena jauh dan jarang pulang. Saat aku sedang merevisi paragraf ini, bunyi telpon mengagetkanku. Ternyata dari adik iparnya Paman Anton di Boru yang menanyakan apa betul Paman Vincent meninggal. Tanta Nell baru tahu dari Flores Pos tadi pagi (4 Oktober). Kasihan benar, sama-sama di Flores tapi baru tahu seminggu kemudian. Wajar, betapa kagetnya Tanta Nell yang sama-sama dengan Paman Vincent dulu sekolah di Boru.
        Dari SMP Boru, Paman Vincent melanjutkan ke SMAK Syuradikara. Waktu itu aku sudah mulai sekolah sehingga sudah cukup mengerti dan ingat tentang masa-masa remajanya Pamanku. Setiap pulang libur kami menyambutnya seperti orang baru pulang dari Jawa. Pamanku dengan gaya anak muda dari kota Ende kelihatan ganteng sekali. Ya, memang dasarnya Pamanku ganteng. Celana cutbray, kacamata ryben lebar, topi kayak penyanyi Arie Wibowo, pokoknya kelihatan kerennn sekali. Aku masih ingat satu baju kebanggaan Pamanku yang berwarna merah, ada bordiran nama di belakang. Aku yakin teman-temannya seperti Om Blasius, Om Balthasar, dan Tanta Dorce (mantan pacarnya) tahu dan masih ingat dengan baju merah itu.
        Pamanku memang sangat bersahabat. Setiap kali pulang libur, pasti dengan teman-temannya satu truk selalu mampir di rumahku di Roe. Kami akan bahagia sekali karena pasti Bapak dan Mamaku memotong babi, dan kami pun bisa ikut berpesta pora. Dengan bangganya Paman memperkenalkan teman-temannya satu persatu kepada aku dan Tilla serta saudara-saudara lainnya di rumah. Yang masih tersimpan dengan sangat rapi di dalam ingatanku itu bayangan Paman Vincent bersama Om Blasius Gani dan Om Bal libur di Roe dan mereka berfoto-foto di atas batu besar di kebun kami di bukit Ngowu, yang sekarang menjadi villanya Pater Tadeus Gruca. Aku ingat, mereka seperti artis-artis saja saat itu. Kami berebutan untuk berfoto dengan mereka.
       Pamanku itu juga punya ketrampilan di bidang fotografi. Dengan bermodalkan kamera hadiah dari Pater Hanz Runkel, setamat SMA beliau melanglang buana ke mana-mana sambil menenteng kamera. Orang sekampung di Roe pasti akan menanti-nanti kedatangannya untuk bisa memesan foto keluarga. Memang objek foto Pamanku lebih banyak bertema keluarga. Orang memanggilnya “Pak Wartawan”. Dulu beliau bercita-cita menjadi wartawan. Aku melihat Pamanku hebat sekali. Beliau mengajarkan kami bahasa Inggris. Setiap malam, dengan lampu pelita kami wajib membaca buku bahasa Inggris yang beliau bawa dari Ende. Entah benar atau salah ucapannya, yang penting aku bangga bisa belajar bahasa Inggris dari Pamanku yang lulusan SMAK Syuradikara.
        Sejak tamat SMA penampilan Pamanku memang sudah ‘metal’. Rambut gondrong, celana cutbray, jaket jeans, kacamata ryben. Kalau Paman datang kami rebutan memakai kacamatanya, lalu ramai-ramai minta difoto. Pokoknya menyenangkan sekali. Tiada hari tanpa makan daging ayam karena orang-orang yang datang mengambil foto hasil jepretan Paman Vincent pasti bayarnya berupa ayam. Asyik kan !
       Pamanku terkenal kuat jalan kaki. Mungkin karena terlahir dari kampung yang jauh dari jalan oto sehingga ke mana-mana ya harus lako wai. Dan pengikutnya adalah adikku Tilla. Apalagi penampilan Tilla kecil seperti anak laki-laki, ke mana Paman pergi pasti selalu bersama Tilla. Pernah mereka ke Boanio bertemu Pater Hanz. Dengan bangganya Paman bercerita pada Pater bahwa Tilla sudah bisa membaca. Lalu Pater memberi majalah Kunang-Kunang untuk Tilla baca. Tilla pun bergaya seperti bos-bos sedang baca koran. Ternyata bacanya terbalik. Untung Pater tidak melihatnya. Itulah Pamanku, beliau selalu membuat kami senang dan bangga dengan kemampuan kami. Setidaknya saat itu Tilla mampu berakting di depan Pater Hanz seolah-olah sudah bisa membaca. (saat mengetik cerita ini aku sempat tertawa sendiri membayangkan kekonyolan Pamanku bersama Tilla) .
         Cerita lain tentang kekonyolan beliau, saat kami ke Ende menghadiri pernikahan Paman Frans (kakaknya nomor 5). Dari Danga kami numpang oto paroki bersama Pak Camat Paulus Lewa. Sampai di Boamaso kami melihat kebakaran di padang Boamaso. Pak Camat marah besar tapi bingung, bagaimana caranya memanggil orang yang membakar padang itu. Pamanku punya akal. Diteriakinya, “kogha eee, kogha eee...” Berlarianlah orang-orang ke arah kami. Betapa kagetnya mereka melihat ada Pak Camat. Dasar orang kita saat itu jujur, lugu, dan takut tipis bedanya, mengakulah mereka kalau sengaja membakar hutan untuk memburu rusa. Tak ada ampun, Pak Camat menghadiahkan mereka bogem mentah di pipi beberapa kali. Perkara selesai, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ende. Kasihan juga sih orang-orang itu. Paman Vincent menyesal karena tak menyangka bahwa mereka akan ditampar oleh Pak Camat. Maklum, belum heboh soal tindak kekerasan.
        Aku ingat Pamanku dulu sangat mencintai seorang gadis dari Wekaseko, namanya Tanta Dorce Gani. Setamat SMA, saat masih menganggur di Roe, nama Tanta Dorce selalu diceritakan pada kami. Rupanya Tante Dorce waktu itu lebih memilih untuk menjadi Suster yang dikenal dengan nama Suster Antonia daripada membalas cinta Pamanku. Saat Paman operasi usus buntu di RS Lela, yang terdengar dalam rekaman suara saat dibius hanya nama, “Dorce, Dorceee..” Aku sangat penasaran dengan yang namanya Tanta Dorce itu. Suatu hari ada seorang Suster mampir dan menginap di rumah kami di Roe. Ternyata itulah Tanta Dorce, pujaan hati Pamanku. Mungkin cinta pertama yang tak kesampaian. Kasihan. . . deh Pamanku.
        Patah tumbuh hilang berganti, Paman berkenalan dan menjalin kasih dengan Tanta Sofia Wada dari Boru yang kebetulan masih keluarga dengan Tanta Tien, istrinya Paman Anton. Aku sempat melihat foto-foto mesra mereka. Menebar pesona sampai tanah Nagi. Hanya wajah dua gadis itu (Tanta Dorce dan Tanta Ofi) yang menghias album foto Paman Vincent saat itu. Cintanya pada Tanta Ofi masih tersimpan hingga di Jakarta, walau jarak memisahkan.
        Tahun 1979 Paman Vincent ke Jakarta dengan satu tujuan, sekolah wartawan. Daftarlah di Sekolah Tinggi Publisistik, yang sekarang lebih dikenal dengan Kampus Tercinta IISIP. Karena keuangan tidak memungkinkan, gagallah rencananya. Masuklah di Jurusan Akuntansi Universitas Borobudur. Dengan bermodalkan ketekadan yang luar biasa, akhirnya bisa menyelesaikan program D3. Aku yakin semua teman beliau di Jakarta ini lebih mengenal sepak terjangnya selama 13 tahun di Jakarta. Aktif di organisasi PMKRI, Legio Maria, dan mungkin yang lainnya lagi. Berteman dengan semua orang, ringan tangan membantu orang meskipun sebetulnya beliau tidak punya apa-apa, hanya membantu memberi jalan dalam menyelesaikan masalah. Hampir semua orang Flores yang di Jakarta zaman tahun 80-an mengenal yang namanya VINCENT SINA. Beliau sangat menghormati orang lain dan terutama dikenal karena humoris dan solider.
        Tahun 1989 aku ke Malang. Begitu tahu aku di Malang, beliau langsung ke sana. Aku bahagia sekali bertemu dengan Pamanku setelah sekian tahun berpisah. Paman Vincent berusaha mneyenangkan hatiku dengan mengajak belanja kebutuhanku, hingga membayar uang kosku. Padahal waktu itu sebetulnya beliau belum punya pekerjaan tetap tapi beliau berusaha agar aku bahagia saat bertemu beliau. Kebetulan di Malang ada Paman Ambros (kakaknya nomor 6), maka reunilah kami bertiga. Paman Ambros sempat mengira aku pacarnya Paman Vincent karena Pamanku yang satu itu merantau ke Jawa sejak tamat SMP di Larantuka. Atas usulan beliau akhirnya aku pindah ke Yogya, dan menurut beliau aku harus kuliah di IKIP Sanata Dharma atau Universitas Atma Jaya, Fakultas Hukum. Rupanya aku lebih berjodoh dengan panggilan untuk menjadi GURU seperti kedua orang tuaku. Masuklah aku di IKIP Sanata Dharma.
         Akhir tahun 1989, pertama kali aku ke Jakarta. Paman Vincent saat itu tinggal bersama teman-temannya di Paseban. Sebuah rumah tua yang kelihatannya agak angker, terdiri dari beberapa kamar, dan dihuni oleh semua orang Flores. Ada yang dari Ende, Larantuka, Maumere, Manggarai. Aku pertama kali dikenalkan dengan seorang bapak dari Manggarai bernama Om Lorenz, karena menurut Paman Vincent ulang tahun aku dan Om Lorenz itu sama. Pamanku ini seperti Mamaku, selalu mengingat semua ulang tahun orang yang dikenalnya. Ada juga beberapa saudara dari Manggarai yang saat itu suka bernyanyi di pub. Aku lupa nama mereka. Ada Kak Nober Nai yang waktu itu ikut dengan Pamanku karena tak punya keluarga di Jakarta (mungkin sekarang sudah jadi orang penting di PDIP). Paman selalu berusaha menyenangkan aku selama berlibur di Jakarta, padahal beliau tidak bekerja saat itu. Aku diantar untuk mengenal saudara-saudara dari Flores, seperti ke rumah Om Theus Dhaederu di Kalibata, di sana ada Om Stanis Passo dan Kak Firmus Madhudhengi, ke rumah Kak Ambros Gani yang waktu itu belum menikah dengan Kak Ima, di sana ada Kak Lowis dan Kona temanku. Aku benar-benar menikmati liburan di Jakarta dengan bahagia meskipun setiap jam 18.00 harus ke gereja Katedral. Itu wajib hukumnya.
          Cerita tentang ke gereja dan berdoa, Pamanku ini sangat tekun dengan doa. Hal itu sudah mendarah daging karena berasal dari keluarga pendoa. Dari Kakek dan Nenekku, turun ke anak-anaknya. Seorang temannya asal Manggarai bernama Om Kons pernah bercerita padaku dalam perjalanan dari Matraman menuju bandara Soekarno Hatta saat menjemput Paman Vincent pulang dari Swiss bahwa mereka pernah mengantar mayat seorang ibu tua (mungkin gelandangan) yang meninggal di jalan, untuk dikuburkan di pemakaman dekat gereja Salvator pada hari Jumat Agung. Itu kenangan Om Kons yang paling menakjubkan bersama Paman Vincent. Aku yakin, dengan teman lainnya yang bersama beliau semasa di Jakarta tentu banyak kenangan tersendiri yang masih terbayang hingga sekarang. Dengan Kak Ida Djawa, Kak Bertho Botha, Kak Ima Nuwa, Kak Etha Wea, Kak Etha Demon, Kak John Billy, dan semua yang mengenal beliau. Kebersamaan kalian membuatku bangga dengan Pamanku Vincent. Begitu juga dengan yang lebih tua dari beliau seperti Om dr. Lucas Tonga, Kak Dominggus, Kak Laurens Tato, Om Michael Kuwado, Om Alex Dungkal, Kak Otje Puling, Om Primus Dorimulu, dan masih banyak lagi dari Ende, Maumere, Larantuka , semuanya bersahabat dengan beliau.
          Tahun 1992, tiba-tiba aku mendapat telegram bahwa beliau sudah di Mataram dan dalam perjalanan menuju Flores. Ternyata itu tahun awal memulai kehidupan baru di Flores. Aku sempat mendengar cerita tentang masalah di daerah Paseban yang membuat semua orang Flores yang tinggal di daerah Paseban angkat kaki dari situ. Pamanku pulang kampung. Sempat melanglang ke daratan Timor dengan kakaknya di sana beberapa tahun, bertemulah jodohnya di sana dengan seorang gadis Belu (ayah Wudu ibu Belu) bernama Martha Filomena Weke yang baru tamat SMEA. Perbedaan usia yang sangat jauh itu tidak melunturkan ikatan cinta mereka. Lahirlah putra sulungnya yang diberi nama Chritho Maria Pangeran Mosafoa. Setelah itu diboyongnya Tanta Martha dan Pangeran ke Mbay.
         Mulailah Pamanku aktif memperjuangkan tanah masyarakat adat Rendu yang berbatasan dengan Raja di Natabhada. Kasus tanah ini merupakan kasus terheboh di Ngada. Paman Vincent tampil sebagai seorang pejuang bersama masyarakat adat Rendu ‘memperebutkan’ kembali tanah Rendu yang digarap orang Raja sebagai sawah milik mereka. Sejak itu namanya ditambah dengan nama seorang pejuang dari suku Rendu bernama “Mosafoa”. Terjadilah ‘perang saudara’ yang berakibat sangat fatal. Paman Vincent menderita luka yang sangat parah hingga dilarikan ke Ruteng. Meskipun luka parah, dicaci maki,,diseret, beliau tetap berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak masyarakat adat Rendu. Berbagai upaya dilakukan namun belum terselesaikan. Meskipun demikian nama Yayasan Pengembangan Masyarakat Adat Rendu (YAPMAR) mulai dikenal. Terbukti dengan undangan pertemuan di Jakarta yang diselenggarakan oleh WALHI pada tahun 1999. Lebih gaung lagi ketika Paman Vincent bersama teman dari provinsi lain mewakili Indonesia ikut pertemuan di Swiss pada tahun 2001. Dengan bangga memakai pakaian adat Mbay ke mana saja beliau pergi, tanpa memakai alas kaki. Aku juga bangga berjalan dengan beliau meskipun sepanjang perjalanan melihat tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Pernah kami naik mikrolet ke Tanah Abang, lalu sepanjang jalan kami ngobrol soal harga kacamata di Optik Melawai. Seorang ibu di samping kami menatap dengan heran. Mungkin dia berpikir, tidak pakai sendal kok mau beli kacamata di Optik Melawai.
        Pada Pemilu 1999, Paman Vincent mulai aktif di partai politik, dengan PAN sebagai pilihannya. 99 % Masyarakat Adat Rendu memilih PAN. Namun mereka harus kecewa karena orang pilihan mereka tidak bisa duduk di DPRD. Paman Vincent tidak berkecil hati dan putus asa, tetap berjuang, dan aktif. Niatnya satu, membangun SDM Rendu untuk lebih maju sepuluh langkah lagi.
        Pemilu 2004 beliau merubah strategi dengan memilih partai politik lain yaitu partai kaum buruh. Pilihan ini didukung dengan kepulangan adikku Tilla sebagai salah satu caleg perempuan dari Partai Buruh sesuai dengan syarat nasional. Berjuanglah paman dan keponakan ini dalam berkampanye di Aesesa. Orang menyebut mereka Partai Paman Keponakan Bersatu (PPKB). Mereka tetap maju pantang mundur meskipun ada juga sebagian orang Rendu yang mulai berpindah ke partai lain dengan caleg berasal dari Rendu juga. Hasilnya, Paman Vincent menjadi anggota DPRD dari Partai Buruh dengan suara terbanyak, dan Tilla pada urutan yang kedua. Putra Rendu pertama yang duduk di DPRD.
         Cobaan belum selesai. Tibalah saat pelantikan anggota DPRD. Penampilan beliau dipermasalahkan, tetapi Paman tetap maju sebagai wakil dari Masyarakat Adat Rendu dengan motto “Rendu Wawo Latu”. Melalui perdebatan yang alot, akhirnya dilantik juga. Penampilan Paman masih seperti yang dulu. Belum lagi keadaan rumahnya yang sudah sangat reyot, rumah peninggalan orang tuanya. Namun beliau tetap menerima siapa saja yang datang dengan kesederhanaan itu. Semasa di Jakarta saja beliau tidur di kursi bambu yang hanya pas badan. Beliau kurang peduli dengan hal seperti itu. Mungkin itulah yang kemudian membuat daya tahan tubuhnya makin lama makin berkurang.
         31 Desember 2004 Paman melepaskan tahun 2004 di rumahku. Setelah mengikuti pertemuan di Yogyakarta, berdua Elson (adikku yang kuliah di Atma Jaya Yogya) ke Jakarta. Kami menyambut tahun 2005 dengan doa dan renungan bersama. Kebetulan semua adik yang baru datang dari Rendu untuk masuk Sasana Tinju berkumpul di rumahku. Paman berpesan, “Onna dan Nus, kamu jangan hanya mendidik mereka untuk sapu, ngepel, makan, tetapi didik juga mereka untuk tekun berdoa. Usahakan agar selalu doa malam bersama, seperti yang kamu lihat dari bapak mama di kampung. Doa bersama setiap malam itu anugerah Allah yang terbesar dalam sebuah keluarga. Doa bersama juga menjaga keutuhan keluarga, Berdoalah bersama mereka. Melalui doa kalian akan mngetahui apa yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan.”
          Januari 2005 Paman menelponku dari Balikpapan ketika mengikuti pertemuan di sana. Di mana saja beliau berada, pasti selalu berusaha untuk menelpon kami keponakan-keponakannya. Saat itu aku sempat meminta salah satu anaknya untuk kuambil sebagai anak angkat. Aku memilih yang paling kecil karena menurutku belum begitu mengenal orang tuanya, Tetapi ketika Paman menanyakan pada Tanta Martha, rupanya Tanta tidak setuju kalau Anna yang diambil, lebih baik ambil si Mosalaki. Oya, nama anak-anaknya Paman Vincent memang luar biasa hebat, Pangeran, Sultan Inne, Mosalaki, dan Anna.
         Terakhir Paman menelponku tanggal 15 Agustus 2005, lima hari setelah ulang tahunku karena pas hari ulang tahunku beliau sedang berada di daerah yang tidak ada sinyal. Kami bercerita cukup banyak, dan menyinggung soal Mosalaki atau Anna yang rencananya akan saya ambil. Kata Paman, sepertinya lebih baik kami mengambil si Mosalaki saja. Rencananya kalau liburan nanti kami akan pulang mengambil Mosalaki.
Senin, 18 September 2005 SMS dari Tilla bahwa Paman Vincent dirawat di RS Ende. Aku pikir sakit biasa tapi tetap kami doakan kesembuhan beliau. Rabu, 20 September SMS dari Riswan bahwa Paman Vincent dalam perjalanan ke RS Maumere karena sudah ditolak dari RS Ende. Wah, berarti sakitnya sangat serius. Aku lalu SMS menanyakan Tanta Martha tentang keadaan Paman. Tanta hanya membalas, “Pamanmu sangat membutuhkan dukungan doa dari kita semua, keluarga besar.” Aku mulai gelisah dan jadi susah tidur.
         Tanggal 23 September pagi aku janjian dengan suamiku agar pulang lebih cepat sehingga bisa ke gereja jam 19.30 persembahkan misa khusus mohon kesembuhan Paman Vincent. Pukul 19.00 dalam perjalanan ke gereja, aku sempat mengirim SMS dukungan untuk Tanta bahwa kami dalam perjalanan ke gereja, sewa misa khusus untuk Paman. Saat Pastor menyebut ujud misa malam itu, hati dan perasaanku rasanya lain alias ate dhera. Mungkin saat itu merupakan masa-masa kritisnya Pamanku. Sepulang gereja aku sempat berpikir, jangan-jangan Tanta sekarang dalam keadaan hamil. Aku ingat Tanta pernah cerita bahwa setiap ada peristiwa atau kejadian yang dialami Paman Vincent pasti Tanta sedang dalam keadaan hamil muda. Lalu kubuang jauh-jauh pikiran itu. Sampai di rumah tidak ada berita apa-apa. Pukul 21.15 telpon dari Evo Djanga yang langsung menanyakan apa betul Om Vincent sudah meninggal. Aku dengan tegas menjawab tidak karena baru dua jam yang lalu Tanta mengirim SMS. Lima menit kemudian telpon dari Christi Ebo yang memberitahukan bahwa betul Paman Vincent sudah meninggal. Tanganku lemas, langsung aku lari bersandar di tembok dan menangis. Pamanku sudah pergi pukul 22.00 WITA. SMS dari Kak John Billy masuk mengabari kami. Aku juga langsung mengabari saudara-saudara lainnya. Semalaman tak tidur, membayangkan Pamanku. Untung besok Sabtunya aku tidak masuk kerja. Aku merasa sedih sekali membayangkan anak-anaknya yang masih kecil. Tertua Pangeran baru kelas 3 SD. Aduh Pamanku ! Selamat jalan Paman. Aku yakin Paman akan menjadi perantara untuk setiap doa dan permohonan kami yang masih menunggu giliran untuk ‘pulang.’
         Hari Minggu 2 Oktober 2005, ketika membereskan gudang, kutemukan setumpuk surat dari Paman Vincent untukku waktu masih kuliah di Yogya yang memang kusimpan dengan rapi di dalam dos buku. Kubaca lagi, dan tanpa sadar aku menangis. Betapa beliau menyayangiku. Setiap surat diawali, “Nanda terkasih…” dan selalu diakhiri dengan pesan dan nasihat untuk tekun berdoa. Jangan lelah untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Salah satu kutipan surat dari beliau tanggal 14 Desember 1989, “Ingat Onna, Tuhan Yesus dengan hatiNya yang Maha Pengasih serta tak ada duanya, begitu berkuasa atas semua kesulitan-kesulitan kita. SERAHKAN SEMUANYA PADA DIA. Ingat, berdoa dan menangislah pada Yesus. Berdoalah yang rajin dan katakanlah pada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tentang kesulitan Onna dengan berpasrah yang lebih serta beberapa laku tapak dibarengi penyucian diri dalam menyongsong kedatangan Tuhan Yesus. Berbuatlah lebih untuk kemuliaan Tuhan. Apabila semua ini dilakukan maka yakinlah tidak ada yang mustahil bagi Hati Kudus Yesus yang pasti mencintai Onna. Cintailah doa. Rasakanlah selalu kebutuhan akan doa dalam satu hari, dan angkatlah kesulitan-kesulitanmu dalam doa. Selamat merayakan pesta namamu 12 Desember. Songsonglah tahun yang baru nanti dengan tekad juang yang unggul dari mereka yang memiliki banyak fasilitas untuk berprestasi sehingga KEAGUNGAN TUHAN SAJA YANG KITA KAGUMI. Doa saya selalu saya ingat akan kesulitan Nanda Onna.”
          Pelajaran berharga lainnya, mengajariku tanda tangan. Kata Paman, tanda tangan itu tidak boleh putus. Hingga sekarang aku memakai tanda tangan yang diajarkan Paman Vincent. Satu lagi pesan beliau sepulang dari Swiss, jangan pernah merasa malu menunjukkan identitas khas kita, misalnya dengan pakaian daerah. Ditinggalkannya dasi bermotif tenun Mbay untuk suamiku. Sejak itu aku pun berani berpenampilan aneh dengan sarung ke gereja atau ke pesta. Karena suamiku orang Nangaroro jadi aku lebih sering memakai kain lawo. Memang kelihatan nyentrik tapi aku bangga. Paman juga bercerita bagaimana beliau dikira orang termiskin di dunia saat berkunjung ke Lourdes hanya karena memakai sarung dan tanpa alas kaki. Tapi ada untungnya bahwa beliau akhirnya diberi potongan harga khusus untuk fakir miskin dan orang terlantar.
        Pamanku, dengan penuh kesederhanaan menjalani hidup selalu dengan rasa syukur. Mengucapkan terima kasih adalah sikap sopan dan santun, menunjukkan rasa terima kasih adalah sikap lapang hati dan mulia, tetapi menjalani hidup dengan rasa terima kasih . . . itu namanya menyentuh Surga. Mungkin itu termasuk prinsip Pamanku.
          Satu hal yang kadang membuat kami para keponakannya merasa lucu tapi senang juga adalah janjinya. Meskipun lebih banyak tak dipenuhi tetapi kami merasa bahagia, tersanjung, diperhatikan, saat beliau mengatakan itu. Kami bangga karena walau hanya janji, namun setidaknya terlintas dalam pikiran Paman untuk membahagiakan hati kami. Kami seperti teman, saling curhat tentang segala macam hal, termasuk masalah jatuh cinta.
         Kini semua tinggal kenangan. Semua yang pernah mengenal atau pernah dekat dengan beliau tentu merasa kaget dengan kepergian beliau dan pasti merasa kehilangan. Pernah aku menanyakan apa cita-cita beliau (saat kami duduk santai di tangga rumah susun Klender ketika beliau baru pulang dari Swiss), jawabnya “INGIN JADI ORANG SUCI.” Bagaimana menurut pembaca ?

Mari kita mendoakan beliau agar terwujud cita-citanya, menjadi ORANG SUCI. Kita mendoakan juga keluarga yang ditinggalkan beliau ;
Istri tercinta : Martha Filomena Weke Rossina Mosafoa
Anak-anak : - Christo Maria Pangeran Mosafoa
- Christo Maria Sultan Tuzagugu
- Christi Maria Ine Lipadori
- Christo Maria Mosalaki Genewa
- Christi Maria Ana Ebu da Rendu

Aku sudah belajar bahwa prestasi terbesar tidak selalu berupa penghargaan atau hadiah. Prestasi terbesar tidak selalu berupa materi, melainkan pelajaran berharga tentang semangat manusia. Penghargaan bisa memudar, hadiah bisa kehilangan kilaunya, tetapi pelajaran yang kita peroleh akan tinggal untuk selamanya. Terima kasih Pamanku, banyak pelajaran yang kudapat darimu.

“Segala sesuatu dimulai dengan doa. Berusahalah untuk senang berdoa : rasakan kebutuhan untuk sering berdoa sepanjang hari dan rasakan betapa sulitnya. Jika engkau ingin berdoa lebih baik, seringlah berdoa. Semakin banyak engkau berdoa, semakin mudah rasanya. Doa yang sempurna tidak terdiri dari banyaknya kata-kata tetapi dalam semangat untuk mengarahkan hati pada Yesus.”

                                      SAAT ESOK DIMULAI TANPA AKU
Ketika esok dimulai tanpa diriku, aku tidak ada di sana untuk menyaksikannya
Jika matahari terbit dan mendapatkan matamu penuh air mata untukku Aku sangat berharap kau takkan menangis seperti hari ini,
Sambil memikirkan banyak hal yang tidak pernah sempat kita katakana
Dan setiap kali kau berpikir tentang diriku, aku tahu kau akan merindukanku juga
Tapi saat esok hari dimulai tanpa diriku, cobalah untuk mengerti.
Malaikat datang dan memanggil namaku, dan menarik tanganku,
Dan mengatakan tempatku sudah tersedia di atas sana,
Bahwa aku harus meninggalkan semua yang kucintai.
Tapi ketika aku berbalik untuk pergi, sebutir air mata jatuh dari mataku, selama hidupku, aku selalu berpikir aku tidak ingin mati.
Masih banyak yang belum kujalani, dan banyak yang belum kulakukan.
Tampaknya nyaris tak mungkin aku meninggalkanmu, juga anak-anak kita, namun takdir menentukan lain bagi kita.
Aku berpikir tentang semua hari kemarin, hari-hari ynag baik dan buruk
Aku berpikir tentang semua kasih yang kita bagi dan semua kesenangan yang kita alami.
Jika aku bisa menghidupkan hari kemarin, pikirku untuk sebentar saja,
Aku akan mengucapkan selamat tinggal dan menciummu,
Dan mungkin melihat senyummu
Tapi aku sepenuhnya sadar ini tak mungkin terjadi,
Sebab kehampaan dan kenangan akan menggantikanku.
Dan saat aku memikirkan hal-hal duniawi yang kutinggalkan,
Aku memikirkan dirimu, dan saat itu hatiku penuh kesedihan.
Tapi ketika aku melewati pintu Surga, aku merasa begitu kerasan.
Ketika Tuhan memandangku dan tersenyum padaku dari tahta emasNya,
Ia berkata, “Inilah keabadian dan semua yang kujanjikan padamu.”
Hari ini untuk kehidupan di dunia adalah masa lalu,
Dan di sini dimulai hari yang baru.
Aku berjanji tidak ada esok hari, tapi hari ini akan selalu abadi.
Dan karena setiap hari adalah hari yang sama,
Aku tidak lagi merindukan masa lalu.
Kau telah begitu setia, percaya, dan jujur,
Meski kadang-kadang kau melakukan hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kaulakukan
Tapi kau telah dimaafkan, dan sekarang setidaknya kau bebas.
Raih tanganku dan berbagi hidup denganku walau dunia kita berbeda.
Jika esok dimulai tanpa diriku, jangan berpikir kita berjauhan,
Karena setiap kali kau memikirkan diriku, aku berada dalam hatimu.

Chicken Soup for the Teenage Soul

Saat seseorang meninggal, kau tak bisa mengatasi kesedihanmu dengan melupakan; kau mengatasinya dengan mengingat, dan menyadari bahwa tak seorang pun benar-benar lenyap atau hilang kalau mereka sudah pernah hadir dalam hidup kita dan mencintai kita, seperti kita mencintai mereka.
Leslie Marmon Silko

Pamanku di Mata Mereka . . .

“Ketika membaca sms dari nomor yang tidak saya kenal bahwa Vincent Sina meninggal, saya terkejut bukan main. Soalnya kami pernah bertemu belum lama ini di Flores dan saya melihat dia, adik kelas saya di seminari Mataloko, dalam keadaan sehat. Perkenalan saya dengan Vincent bisa dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama adalah sebagai sesama siswa seminari Mataloko di era 70an. Pada masa itu saya mengenal dia sebagai adik kelas yang santun, komunikatif, dan selalu ceria melalui humor-humornya yang khas. Setelah saya ke Jakarta tahun 1974 kontak dengan Vincent terputus cukup lama. Kami menjalin komunikasi lagi pada era 1990-an. Pada masa ini saya sebut sebagai babak kedua, adalah Vincent yang telah menjadi aktivis dan pemimpin yang gigih dengan pikiran dan sikapnya. Keliling dunia dengan memakai sarung tanpa sendal adalah ekspresi keganasan kesederhanaan itu. Dia ternyata memperoleh power sebagai pemimpin.” Kae Laurens Tato Gani - BSD

“Beliau adalah satu-satunya anggota dewan yang sederhana, bahkan sangat sederhana, sesuai dengan kondisi masyarakat kebanyakan yang beliau wakili. Saya sangat kagum pada beliau. ” Kae Jehni Rato - Bajawa
 
“Yang saya ingat, setiap kali gajian Kak Vincent selalu mengajak saya dan Kak Dethe makan. Padahal gajinya tak seberapa saat itu. Betapa perhatiannya pada kami.” Ibu Lien Ebunono Ireeuw - Purwokerto

“Perubahan berawal dari diri sendiri. Hal ini sungguh dihayati oleh Om Vincent semasa hidupnya.” Kak John Billy - Pangkalan Jati
 
“Om Vincent mempunyai jiwa sosial yang tinggi, suka membantu kesulitan orang tanpa pandang bulu, sering ‘mati raga’ untuk memahami kesulitan orang lain. Pergaulan dan wawasan beliau sangat luas.” Kak Marsel Lewa - Serang

“Vincent itu orangnya jujur serta komit dalam memperjuangkan adat budaya, dan memperhatikan nasib orang kecil yang serba kekurangan.” Kak Ambros Busawea - Kupang
 
“Saya berhenti merokok bukan hanya karena rasa cinta kepada istri saya yang adalah keponakan beliau tetapi karena rasa kagum saya pada usaha beliau menjadikan Rendu sebagai kawasan bebas dari asap rokok. Ternyata saya bisa.”Abang Vitalis Da Pessa - Taman Kebalen
 
“Vincent sudah membuktikan diri bagaimana hidup tidak memikirkan diri semata. Ia kembali ke kampung untuk membangun Rendu, Aesesa, dan Ngada. Kita kehilangan tokoh yang begitu kuat komitmennya terhadap daerah dan kaumnya.” Om Primus Dorimulu - Cibubur
 
“Kae Vincent is the VOICE in the VOICELESS. Dia begitu prihatin dengan orang kecil, tetapi lupa akan dirinya. Meskipun telah tiada namun suara dan perjuangannya tetap hidup. Saya punya pengalaman khusus dengan almarhum : kalau bercerita selalu kembali kepada realitas hidup orang kecil (di Rendu dan Boanio). Pemberdayaan masyarakat kecil dan sederhana menjadi misi hidupnya. Kae Vincent figur yang memperjuangkan hak orang-orang kecil. Hidup dan berada di antara kaum marjinal adalah bagian dari dirinya. Gema pewartaannya mengikuti Sang Nabi yang dikumandangkan oleh Yohanes Pembaptis, bahwa hari esok yang baik untuk kita semua yang berjuang.” Pater Kanis Bhila Pea, SVD - Matraman
 
“Almarhum memiliki karakter / kepribadian yang jelas tercermin dalam perjuangan politiknya juga ditunjang dengan spiritualitas yang baik.” Om Michael Kuwado - Pasar Rebo
 
“ Saya sangat terkesan pada pesan beliau waktu kami nginap di hotel Nusantara Ende, ‘Azi, kalau sudah sukses di Jakarta, ajaklah keluarga untuk berdoa dan bakar lilin di kubur orang tua, nenek moyang, para leluhur di kampung supaya mereka juga tetap memberkati kita,’ sambil memeluk saya di depan pintu kamar hotel. Betapa beliau sangat menghormati para leluhurnya, sehingga mengajak saya juga untuk berpikir seperti itu.” Kae Willem Napa - Babelan

“ Ame Vincent adalah pejuang yang berani, jujur, dan murni untuk menegakkan keadilan di negeri ini. Kehidupannya punya prinsip yang jelas. Hidup dan penampilannya sederhana mengikuti visi dan misi Yesus. Membela dan meyelamatkan orang yang tertindas dan miskin. Kehidupan moralnya bagus, dan kehidupan rohaninya sangat baik. Kematiannya adalah sebuah perjuangan. Dampak dari perjuangan yang tanpa pamrih adalah penderitaan, kesakitan, kematian. Buah dari pengorbanan, kesakitan, dan kematian adalah kemenangan, kebangkitan, keberhasilan, kemuliaan, dan kebesaran yang selalu disebut-sebut orang. Ia punya gaya dan prinsip hidup yang khas, yang tidak dimiliki orang lain yang pernah saya kenal. Profisiat Ame Vincent, selamat jalan, semoga tiba di rumah Tuhan dengan selamat. Kami mendoakan. Perjuanganmu menjadi contoh bagi kami semua. Satu orang mati seratus orang akan muncul lagi. Ame Vincent adalah orang yang halus dan pandai, punya wawasan yang luas, kemauan yang keras. Kami orang Rendu merasa sangat kehilangan seorang tokoh pejuang.” Romo Arkadius Dhosa Ndo, Pr - Maumere
“ Penguat hati dan iman saya di saat lelah dan terombang-ambing dalam pencobaan adalah Kak Vincent. Beliau selalu menyadarkan saya akan pentingnya mendekatkan diri pada kuasa dan kehendak Tuhan melalui SMS doa-doa yang begitu menyentuh hati saya setiap pagi. Ne kai ema, kau mata ena Flores, ngao zili Jakarta tu Nona operasi jantung. SMS doa hari-hari terakhir beliau masih tersimpan semua di file saya. Selamat jalan Kae ngao, nara ngao, guru spiritual ngao. Ngaza kau tetap ata mega Ema.” Ibu Siska Mukujawa - Kupang
 
“Om Vincent yang saya kenal adalah pribadi yang sangat baik, yang mau membantu siapa saja yang memerlukan pertolongannya. Penampilan Om Vincent yang terakhir agak membuat saya bertanya-tanya, ada apa ? Tapi saya sangat menghargai pilihan beliau untuk berpenampilan seperti itu, Cuma kelewat sederhana. Yang saya sesalkan, sampai dengan Om Vincent meninggal, asuransi dewan belum terealisasi juga. Kasihan anak istri yang ditinggalkan beliau.” Ibu Hesty Rodja – Bajawa
 
“Om Vincent adalah seorang yang selalu ramah kepada setiap orang. Dalam tutur katanya selalu memberikan dorongan, nasihat, dan masukan-masukan yang sangat berarti. Kerendahan hatinya membuat Om dikenal di antara kerabatnya. Selamat jalan Om, semoga amal ibadah Om diterima Tuhan YME, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan, serta ketegaran.” Nona Anita & Ovan  Laru – Psr Minggu

“ Saya mengenal Om Vincent sejak masa kecil kami di Malagase (meskipun beliau lebih tua dari saya), masuk SD sampai di Syuradikara selalu bersama. Sikap dasar yang tidak berubah, konsisten dari kecil sampai akhir hayat, mempertahankan yang benar walaupun ditentang oleh banyak orang. Om Vincent pasti tetap bertahan dengan argumen yang masuk akal dan dapat diterima pihak lain (tentu yang paham dengan beliau). Masih banyak sekali kenangan bersama beliau yang tidak akan pernah saya lupa. Selamat jalan Om.” Kak Yos Dhimawea - Kupang

3 komentar:

OgorParet mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
OgorParet mengatakan...

saya mengenal om Vincent dengan baik di Maumere . . . kami dari Yayasan Kebudayaan Masayrakat Adat (YAKEMA) NTT juga berkolaborasi dengan Walhi dalam beberapa program Walhi . . . dalam urusan program Walhi inilah kami ketemu Om Vicent sebagai masayrakat adat Rendu di Mbay . . apa lagi Romo Arkadius Dhosa ketika itu bertugas di Paroki saya di Watublapi . . . .

Unknown mengatakan...

Teladan gerakan sosial dan spiritual