Selasa, 25 November 2008

AKU : Pian da Gomez

”Kalau Bapak tahu merokok itu tidak baik, Bapak jangan merokok to, supaya saya juga tidak merokok.”

Menegur dan melarang itu lebih mudah daripada memberi contoh. Itu yang aku rasakan. Aku terlahir sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara. Bapakku PNS dan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kata orang-orang, ‘bakat’ nakalku sudah kelihatan sejak kecil. Dengan kakak laki-laki yang tertua, kami selalu kompak. Dalam kegiatan apa pun, dia otaknya, dan aku pelakunya. Asal tahu saja, di mana-mana, dalam kasus apa pun, pasti pelakunyalah yang selalu kebagian sialnya. Itulah yang aku alami. Nasib…nasib !

Bapak sangat keras dalam mendidik kami. Beliau sepertinya benar-benar melaksanakan apa yang tertulis dalam Amsal 19 :18, “Hajarlah anakmu selama ada harapan,tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” Akulah yang selalu menjadi sasaran, sampai-sampai aku pernah berpikir, jangan-jangan aku bukan anak kandung mereka. Mama meski kadang-kadang mengompori Bapak yang sedang memarahiku, tetapi diam-diam beliau menangisi nasibku.

“Pian, kau merokok ko ?” tanya Bapak.

“Eee, siapa yang rokok la,” jawabku berkelit.

“Lalu puntung rokok yang barusan Bapak lihat di kamar mandi setelah kau keluar itu siapa punya ?”

Aku kaget setengah mati. Betapa bodohnya diriku menjawab tidak, sementara Bapak baru menemukan puntung rokok dan mencium bau rokok di kamar mandi persis setelah aku keluar. Alamak ! Akhirnya dengan sedikit malu dan ketakutan aku pun mengakui, dengan harapan jika mengakui begitu tidak bakal dihajar. Rupanya dugaanku meleset. Aku dihajar. Mama membela tapi Bapak tetap dengan gaya otoriternya, menganggap dirinya paling berkuasa sejagat.

“Pian, kau masih kecil lo’o sudah merokok. Macam kek kau sudah punya doi ee… ”

Kalimat itu tersimpan dalam-dalam di otakku. Itu artinya jika suatu saat aku sudah punya uang sendiri, boleh dong merokok, pikirku.

Di SMA, sekeluarnya dari seminari Mataloko, aku mencoba bekerja, membantu orang di bengkel sepulang sekolah. Uang yang kudapat untuk apa lagi kalau bukan untuk beli rokok dan minum dengan teman-teman. Aku mau buktikan bahwa setelah punya uang sendiri aku boleh merokok, karena bukan anak kecil lagi. Sepulang sekolah jalan-jalan bersama teman, merokok dengan bebas. Aku pikir jika merokok sambil nongkrong di pasar pasti tidak bakal ketahuan Bapak, karena sepanjang hidupku aku tahu Bapak itu tidak pernah mau ke pasar. Rupanya hari itu sial bagiku. Sedang asyik-asyiknya merokok, Bapak lewat dan melihat jelas gayaku merokok. Aku diam seribu bahasa dan sangat gugup. Mati aku !

Sepulang ke rumah aku masih diam sambil menanti saat ‘diadili’ Bapak. Mungkin terlalu sibuk, beliau lupa. Aku bisa bersorak malam itu. Esoknya juga belum dipanggil. Nah, malam berikutnya kami diabsen satu-persatu sambil menyindir.

“Bagus e, sudah besar o sekarang, sudah ada doi sendiri, sudah bisa beli rokok. Hebat sekali saya pu anak,” kata Bapak dengan nada yang sangat tidak enak didengar.

“Eh, jangan hanya omong anak, lihat diri sendiri dulu tuh,” timpal Mama membelaku.

Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba aku tantang Bapak. “Kalau Bapak merasa merokok itu tidak baik, Bapak jangan rokok to, supaya saya juga tidak rokok.”

Bapak kaget, terpana, dan langsung diam.

“Lihat, itu anak su pintar. Jangan lagi hanya tahu larang anak. Bapak juga kasih teladan to,” Mama mengingatkan Bapak yang terdiam bisu sejak tadi.

Perkara kami pun selesai tanpa hajaran dan kekerasan fisik. Lalu beberapa bulan kemudian di tengah malam, ‘tok,tok,tok’ suara ketukan di pintu kamarku.

“Masuk sajalah …,” jawabku.

“Walah Pian, minta satu batang la…” bisik seseorang dari balik pintu kamarku. Aku tahu itu suara Bapak.

“Sei kena ?” tanyaku berpura-pura.

“Ale, kau terlalu la. Ini kau pu Bapak la…!” bisiknya.

Hahaha… akhirnya kami jadi ‘teman’ dalam menikmati asyiknya merokok. Bapak tidak pernah marah lagi soal rokok karena selain aku sudah bisa beli dengan uang sendiri, Bapak juga bisa minta jatahnya. Tetapi soal kenakalan yang lain, dan urusan kayu bakar, Bapak masih tetap galak. Setiap sore kami harus mencari kayu bakar. Kadang aku pikir orang tuaku seperti zaman VOC, kerja paksa. Kalau kayu bakar di dapur sudah habis, Mama akan ‘memerintah’ dengan halus melalui keluhan.

“Ole, malam ini kita tidak bias makan le. Mau masak pake apa, tidak ada kayu bakar satu batang pun,” kata Mama.

“Pian, dengar tidak apa yang kau pu Mama bilang ?” teriak Bapak sambil menurunkan kacamatanya.

Tanpa bantahan, aku langsung pergi cari kayu bakar. Itu rutinitas sejak SD hingga SMA. Sempat bebas satu tahun ketika aku sekolah di seminari. Tapi karena aku memang berjodoh dengan urusan kayu bakar sehingga hanya bertahan satu tahun di seminari, kembalilah aku ke alam yang penuh derita. Nasib !

Dalam keluarga aku merasa dirikulah yang paling sial, yang selalu dijadikan kambing hitam. Kulitku memang hitam, dan ternyata hitam pula citraku. Itulah aku, PIAN da GOMEZ.

Kini, setelah aku dewasa dan mulai tua, aku sadar bahwa semua yang pernah aku alami menjadi kenangan yang paling kejam dalam hidupku. Lho kok ? Niatku, aku ingin menjadi orang baik, hidup bahagia bersama istriku Ida yang ayu, dan biarlah anak-anakku nanti tidak mewarisi luka batinku. Tapi… kapan aku menikah ? May…

Cerita ini dari kisah hidup Saudaraku Pian da Gomez yang diceritanya dalam perjalanan dari Purwakarta, Sabtu, 28 Januari 2006, pulang dari acara ijab kabul Sumir dan Triyani.

KARTINI Sweet Memory

50 tahun sudah usiamu. Bak seorang oma yang sedang menikmati masa pensiun sambil menghabiskan hari-hari bersama para cucu, kini SMPK KARTINI pun memiliki ribuan anak cucu yang sudah tersebar di berbagai daerah. Untuk mengenang kembali masa-masa indah selama menimba ilmu di almamater, saya mempersembahkan tulisan ini untuk para alumni KARTINI. Masa yang paling berbahagia yang pernah saya rasakan adalah semua yang terjadi dan yang saya alami selama di SMPK KARTINI.
Tulisan ini sebetulnya sudah pernah dimuat di mingguan DIAN saat SMPK KARTINI merayakan pesta pancawindu dan reuni tahun 1994. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada almamater, kini saya merevisi lagi sebagai kado ulang tahun ke-50 SMPK KARTINI. Terima kasih banyak kepada Tuhan YME atas pimpinan dan berkatnya sehingga saya bisa mengingat kembali semuanya ini untuk ditulis lagi. Juga untuk kedua orang tua saya (Bapa Guru Theodorus Samu dan Mama Ross da Lima Sina di Mbay) yang sudah menyekolahkan saya di SMPK KARTINI. Mama saya juga dulu sekolah di Kartini.. Untuk suami saya tercinta Vitalis da Pessa yang sudah mendukung saya untuk menulis lagi cerita ini. Mamanya juga dulu di asrama susteran Kartini. Untuk semuanya yang saya sebutkan namanya dalam tulisan ini, thanxz banget karena kalianlah yang bikin cerita saya jadi hidup.
Mohon maaf bila ada kata yang menyinggung perasaan pembaca, terutama para suster dan bapak ibu guru yang saya nilai galak. Semuanya jadi indah dalam kenangan saya. Terima kasih untuk semuanya. Peace n Luv…

Tentang Sekolah …
KARTINI, pahlawan wanita, tokoh emansipasi. Semua mengetahui sejarahnya, semua menghafal lagunya ;“. . . pendekar bangsa, pendekar kaumnya . . .. . . harum namanya . . .”

SMPK KARTINI. Sangat terkenal dan populer di daerah Nusa Tenggara Timur. Sebuah sekolah khusus wanita yang bernapaskan Katolik. Gedung tua peninggalan para biarawati ‘londo’ yang mengabdikan diri bagi perkembangan dan kemajuan gereja serta pendidikan Katolik di Flores. Terletak dalam sebuah kompleks yang cukup luas, dan aman, di bawah naungan Yayasan St. Gabriel, asuhan para Susteran SSpS di Mataloko yang berhawa sejuk nan romantis.
Tahun 1983 saya mengikuti tes masuk dan dinyatakan “diterima” menjadi salah satu siswi SMPK Kartini. Bahagia sudah pasti, bangga apalagi, berhasil masuk sekolah favorit dan terkenal seperti Kartini. Puji Tuhan dan terima kasih kepada orang tua saya yang mau menyekolahkan saya di sekolah Kartini yang saat itu biayanya sudah mahal, terutama dengan fasilitas asrama yang bagus, lingkungan yang aman, dan disiplin

Tentang Guru-guruku . . .(Pahlawan Tanpa Tanda Jasa)

Saya duduk di kelas I A. Teman-teman saya berasal dari berbagai daerah di kabupaten Ngada. Wali kelas saya Ibu Klara Anu sekaligus guru Bahasa Indonesia. Gaya mengajar beliau menarik sekali, dengan gerakan tangan yang khas seperti mengipas sate, apalagi saat menjelaskan tentang majas hiperbola. Saya perlu mengabsen para guruku dulu. Ibu Monika Leke yang pendek, kriting, dan suaranya melengking, asal Jerebu’u, mengajar Biologi. Teriakan maut beliau semakin keras jika mengingatkan siswi-siswi yang nilai ulangannya merah. Bapak Darius Laga dari Mauponggo yang jadi ganteng sendiri karena terpujilah dia di antara wanita, mengajar Olah Raga. Jika diingat-ingat lagi stylenya Bapak yang satu ini, saya baru sadar bahwa guru olah raga paling aneh adalah beliau. Lulusan SMEA mengajar olah raga,dan setiap pelajaran praktek beliau memakai sepatu yang ujungnya runcing seperti sepatu Abunawas. Tapi kami bangga dengan keseriusan beliau mengabdikan diri di antara wanita. Paling sering (puas) menghukum saya dan Anas Puran berlutut di pojok kiri kanan kelas dekat tempat sampah. Saat saya sedang mengetik tentang Pak Darius, ada SMS dari Abang Marsel Lewa di Serang kabari bahwa Suster Roslin ada di rumahnya, mau ke Philipina. Nah, Suster Roslin ini dulu pacarnya Pak Darius waktu sekolah di Ende. Mereka sekampung dari Pusu. Saya ingat benar saat Pak Darius menyobek kertas ulangannya Merlin Bhari dengan penuh kesal, padahal kami semua tahu Merlin tak pernah bermasalah dengan beliau. Setelah diricek, ternyata beliau jengkel melihat Merlin ngobrol dengan Udis Aso, dan saat yang sama beliau sedang putus cinta dengan Suster Roslin yang kebetulan adalah kakak sepupunya Merlin. Guru PMP dan Sejarah, Ibu Brigita Rio. Gadis Riung ini sangat tegas dan galak sekali. Rambut selalu dipintal, penampilan rapi, baju kesayangannya blus warna pink lengan panjang dan rok biru sebetis. Guru paling galak yang saya jumpai di SMP. Kata-katanya pedas, dalam, dan nancap. Belum lagi soal ulangan, hampir seluruh isi buku jadi jawabannya. Makanya buku ulangan Sejarah dan PMP paling cepat diganti. Lima soal, tapi dari A sampai Z. Gila ! Kalau dapat nilai 6 saja sudah merasa bahagia sekali, apalagi 7 ke atas. Guru paling sedikit penggemar, tapi paling banyak dirumpiin. Sulit sekali memberi pujian pada murid, senyumnya pun tidak tulus. Paling suka menyindir. Jangan pernah salah menulis Bergita, beliau bisa marah besar. Harus ditulis benar, Brigita. Nasihatnya yang tak pernah saya lupakan, “Dunia akan menangis tersedu-sedu sepanjang masa bila seorang wanita jatuh, tetapi tetap terbahak-bahak walau seribu lelaki yang rusak.” Akhirnya ‘jatuh hati’ dan menjalin kasih dengan Bapak Darius Laga, disatukan dalam ikatan perkawinan. Rupanya mereka berjodoh ! Guru Geometri, Ibu Bibiana Padha. Siapa bilang guru matematika pasti killer dan dibenci murid ? Wow, sebaliknya dengan ibu guru asal Boawae ini. Kami sangat dekat dengan beliau karena keramahan beliau, dan sifat keibuan serta lemah lembutnya, juga penuh pengertian. Saya pernah berpikir, jika suatu saat menjadi guru, saya ingin seperti beliau. Kami merasa kehilangan tanpa kehadiran Ibu Bibi dalam sehari. Setiap istirahat pasti beliau dikerumuni anak-anak sambil bersenda gurau. Kalau ada teacher award saat itu, beliaulah idola kami. Ibu Maria Dhiu, guru Aljabar dan Aritmatika. Ini guru paling gaul dan heboh meskipun usia paling tua. Suasana kelas jadi seru walaupun belajar hitungan di siang bolong. Mungkin karena beliau adalah juga kepala TK sehingga bawaannya selalu ceria sepanjang hari seperti Peggy Melati Sukma, harum mewangi sepanjang hari. Meskipun bodynya jumbo tetapi energik dan lincah. Ibu Fransiska Rupak, Du’a bunga dari Maumere ini guru Kesenian yang paling cuek dan agak malas. Sering terlambat masuk kelas dengan alasan masih mengajar di SD belakang Kartini. Karena pacar dengan Om saya, beliau menyuruh saya menulis rapor muridnya di SD. Kebetulan tulisan saya lebih bagus dari beliau. Hahaha.. sorry banget Bu, ini semua nostalgia. Beliau menggantikan Bapak Silvester Dopo yang entah pindah ke mana waktu itu. Saya ingat Pak Sil melatih kami membentuk konfigurasi SMPK Kartini di lapangan tengah. Semua anak terlibat. Seru dan menyenangkan sekali. Suster Yosephine SSpS, guru PKK dan ibu asrama kami. Beliau juga adalah penasihat dan pembimbing bagi para siswi yang sudah mulai mengalami menstruasi. Dengan penuh kesabaran beliau mengajarkan bagaimana cara memakai pembalut. Ibu Bernadetha Wea, guru Bahasa Inggris yang baru lulus dari Undana Kupang ini cantik sekali. Kalau menyanyi syair lagunya Iwan Fals, “. . . guru Sirah bodi montok . . .” , saya terbayang Ibu Deth. Putih mulus, cantik, dan sexy, bikin mata segar kalau mengikuti pelajaran beliau. Dandanannya sederhana dan serasi sehingga enak dilihat. Meski sama-sama wanita tetapi kalau pemandangannya indah kan asyik juga, tidak bosan. Ada guru baru produk Jawa, namanya Bapak Bambang Kuswo asal Purwodadi, mengajar Aritmatika dan Menggambar. Tulisan beliau bagus sekali dan indah. Hanya anehnya, PR Aritmatika tidak pernah diperiksa atau dibahas. Kami sih senang-senang saja. Saya paling suka menggambar sehingga ‘tidak tega’ menyakiti hati Pak Bambang. Bapak Ignatius Sunar, guru Ekonomi dan Tata Buku, asal Klaten Jawa Tengah, menggantikan Bapak Petrus Mame Rabha yang menjadi pegawai tetap di Bajawa. Pak Sunar punya talenta di bidang seni tari, tetapi bicaranya kurang jelas. Aksen Jawanya yang kental membuat kami kadang bingung dan terbengong-bengong. Bapak Simon Ola Masan, guru Biologi pengganti Ibu Monika yang menjadi PNS dan ditempatkan di SMP Were. Bapak yang berkaca mata tebal ini asal Nagi, dan sangat berwibawa. Tampangnya agak seram tapi hatinya baik. Pegawai Tata Usaha kami Kakak Yuliana Ngora. Meskipun bekerja sendirian tetapi tak pernah mengeluh. Baik, rajin, dan teliti. Diomeli kepala sekolah pun tetap sabar. Dan yang tak mungkin terlupakan, Suster Pauly,SSps , sang Kepala Sekolah. Kecil mungil, pendek, tetapi galaknya seng ada lawan. Dengan logat Manggarai yang kental, selalu memulai omelannya dengan kata “potiwolo”. Kebiasaan beliau yang membekas di hati semua siswi Kartini saat itu adalah ‘kerajinan tangannya’ menarik kuping. Kalau saja kuping hanya di-lem/tempel saja, sudah berapa puluh, bahkan berapa ratus kuping yang terlepas. Tidak sedikit siswi yang merasa sakit hati atau mungkin juga dendam bila mengingat kebiasaan buruk sang kepala sekolah ini. Teman saya Ancella Wona, bahkan hingga kuliah di Yogya tak mau bersalaman dengan beliau ketika bertemu di gereja. Itulah para guru dan kepala sekolah saya, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka telah menjadikan semuanya jadi indah untuk dikenang.“ Trima kasihku… kuucapkan, pada guruku yang tulus…”

Tentang Asrama …

Di asrama yang persis bersebelahan dengan sekolah, kami hidup sebagai satu saudara, senasib dan seperjuangan di bawah satu atap, dengan ibu asrama yang sabar dan perhatian, Suster Yosephina. Kadang-kadang keras supaya kami disiplin, kadang-kadang galak supaya kami patuh dan tidak bandel, tetapi selalu penuh kasih dan kelembutan agar kami merasa betah dan damai seperti dengan orang tua di rumah. Memang susah menjadi seorang ibu bagi seratus lima puluhan anak dengan bermacam-macam karakter dan keunikannya masing-masing.

Bangun pagi jam 05.00. Udara Mataloko yang sangat dingin itu membuat kami kebal. Meski dengan ‘amat sangat’ terpaksa, setiap pagi buta kami harus ke gereja yang berjarak sekitar 300 meter dari asrama. Ada kapel suster tetapi tidak bisa menampung semua siswi Kartini. Yang boleh mengikuti misa di kapel suster hanya Ancella Wona, dan yang bertugas menyiapkan sarapan, karena harus membantu kakak-kakak KRT menyendok nasi jagung dari dandang sebesar drum untuk dibagi ke tempat nasi setiap meja. Kabut tebal, embun dingin, tidak peduli. Harus ! Ya, harus ke gereja, kecuali yang sakit dan yang non Katolik. Religius sekali !

Pulang dari gereja langsung ke kamar makan, menikmati hidangan istimewa, nasi jagung dan sup kacang buncis tanpa lauk. Kadang-kadang sup buncisnya dicampur tetelan daging uap yang sisa dari lauk para suster. Kami menikmatinya dengan sukacita. Mau protes ? Namanya juga hidup di asrama, ya identik dengan bersusah-susah dahulu. Apapun yang disiapkan oleh suster semuanya harus diterima dengan senang. Suasana makan ‘dimeriahkan’ oleh berbagai pengumuman untuk kegiatan sehari. Pernah juga terjadi insiden saat makan pagi, dipimpin oleh Kak Linda Benda (ketua OSIS), kami ramai-ramai demo karena nasi mentah. Sudah makannya nasi jagung, mentah pula. Untung Muder segera menenangkan sehingga tidak berkepanjangan.

Pukul 07.00 bel sekolah berbunyi. Pintu asrama dikunci oleh ibu asrama, semua menuju lapangan untuk senam pagi, lalu doa bersama, kemudian berbaris masuk ke kelas masing-masing dengan tertib. Selamat belajar anak-anak manis ! Selama jam sekolah tidak satu pun yang masuk ke kamar, kecuali yang tiba-tiba sakit atau menstruasi. Kunci pintu asrama dipegang oleh suster, sehingga tanpa seizin beliau tak boleh satu pun yang masuk kamar. Siswi yang sakit, jam 09.00 wajib ke poliklinik untuk berobat. Dengan demikian tidak ada istilah ‘pura-pura sakit’ karena takut dengan kewajiban tersebut.

Selama enam jam (waktu sekolah), kompleks sekolah dan asrama sangat sepi. Sayup-sayup hanya suara mesin las dari bengkel SVD yang terdengar, atau bunyi kendaraan yang masuk mengantar kiriman anak-anak asrama dari orang tuanya. Benar-benar situasi belajar yang ideal dan pantas didambakan oleh semua orang tua untuk putri-putrinya. Mau masuk kamar tidur selama jam sekolah tanpa ketahuan suster ? Gampang ! Lewat jendela pojok asrama ibu guru, kami dapat melompat dengan lincah karena posisinya yang agak rendah. Tapi bukan tanpa resiko, jika kedengaran suara mencurigakan, pasti ketahuan ibu asrama dan kepala sekolah yang kamarnya persis bersebelahan dengan kamar tidur kami. Selamatlah kalau beliau berdua sedang tidak masuk kamar dan mendengar bunyi lompatan. Jika lagi apes memang berat hukumannya.

Saat istirahat, kantin KRT dipenuhi para siswi. Sebutan KRT itu untuk kakak-kakak yang mengikuti kursus Ketrampilan Rumah Tangga dan sekaligus membantu para suster. Biasanya setelah lulus dari kursus KRT, mereka menjadi ‘rebutan’ para pemuda kampung masing-masing karena menganggap gadis-gadis ini sudah mahir memasak, menjahit, mencuci, menyetrika, siap menjadi ibu rumah tangga dan istri sejati. Di kantin itu tersedia bermacam-macam kue, juga es. Walau udaranya dingin tapi kami suka juga makan es. Ada juga ‘pasar kaget’ yang penjualnya adalah ‘uge-uge’ dari kampung sekitar asrama. Mereka menjual buah-buahan seperti alpukat, terung belanda, tomat, jeruk. Kami suka makan alpukat dicampur nasi jagung. Saat itu rasanya nikmat sekali. Ya, tak ada lauk alpukat pun jadi. Setiap awal bulan ada penukaran koin untuk jajan. Mobil BRI datang dan para siswi beramai-ramai menukar koin. Hal ini memudahkan transaksi jual beli di kantin yang harganya rata-rata Rp 50,00 – Rp 100,00

Pukul 13.40 WITA (kalau saya tak salah ingat), sekolah usai. Aturan lagi : tidak boleh ke mana-mana, langsung ke kamar makan, antri cuci tangan, ambil peralatan makan di rak masing-masing, lalu makan. Makan siang sudah ditakar di tempat nasi untuk enam orang semeja. Sayurannya pucuk labu ditumis tanpa bumbu lain, hanya garam. Kadang sawi yang daunnya sudah berlubang-lubang dimakan ulat. Lauknya ? Semuanya ada jadwal, hanya hari Selasa, Kamis, dan Minggu. Itu pun hanya ikan kering yang sudah lama menghuni gudang asrama. Dari bentuk dan aromanya sudah kelihatan lapuk dan kadaluwarsa. Tapi apa hendak dikata, itu saja yang didapat dan bisa dinikmati. Anehnya para orang tua, jika kami mengadu keadaan seperti itu mereka malah menasihati, “Anak, yang namanya tinggal di asrama memang begitu.” Kalah deh, seolah-olah para orang tua membenarkan kesalahan aturan gizi di asrama. Mereka terlalu yakin bahwa semua yang diberikan oleh para suster pasti yang terbaik buat kami. Orang tua tak pernah membela kami yang mengadu bahwa di dalam sayuran kami ada lintah atau ‘lema la’, atau setiap hari makan nasi jagung. Lagi-lagi dibilang siapa suruh masuk asrama ? Mau sendiri to !

Acara makan siang diselingi berbagai pengumuman yang seperti ‘litania’ hukuman bagi pelanggarnya. Ada yang lalai mengangkat jemuran, yang malas mencuci pakaian atau menumpuk-numpuk pakaian kotor di kamar mandi, yang ribut di kamar tidur, yang tidak mengikuti doa bersama, yang tidak ke gereja pagi, yang tidak melaksanakan tugas sore dengan serius, yang mencuri buah-buahan di kebun atau di kamar es, ah … banyaklah… (oya, susteran memiliki sebuah ruangan pendingin yang biasa disebut kamar es, tempat menyimpan semua persediaan makanan, daging, buah-buahan). Semua ‘dosa’ atau pelanggaran itu ditebus dengan hukuman tidak tidur siang, tapi mengangkut pupuk (kotoran) dari kandang babi dan ayam di belakang asrama ke kebun. Saya sering mendapat ‘kehormatan’ itu karena ribut di kamar tidur sehingga lama-lama menjadi kebal, dan rasa-rasanya lebih baik menjalankan ‘tugas mulia’ tersebut, daripada mendekam di kamar dan tidak bisa tidur. Hitung-hitung cuci matalah, lihat keramaian di jalanan. Kami seasrama pernah dihukum tidur siang di lapangan basket gara-gara tidak ada yang mengaku buka pintu tanpa kunci sehingga suster marah besar. Sumpah mati bukan saya lho !

Pukul 15.00 bangun dan laksanakan tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh ketua asrama setiap awal semester. Selama satu semester (setengah tahun) menjalankan tugas ; menyiram bunga di taman depan kamar mandi, di gua Maria belakang asrama, di taman rumah payung, taman Suster Almira, taman tengah asrama, menyapu dan mengepel kelas (tiga kelas), kamar tidur asrama, kamar makan, kamar mandi, memotong sayur di dapur, mencetak hosti, membantu Suster Wendelina di kandang, dan yang paling tersiksa adalah membersihkan beras dan jagung di gudang. Bayangkan, selama enam bulan bergumul dengan debu dan kutu beras. Letaknya sih strategis, bisa melihat siswa seminari yang lewat mengantar pakaian kotor para pastor ke kamar cuci. Tapi pemandangan berdebunya itu yang merusak penampilan. Tempat kerja yang paling ditunggu-tunggu semua anak asrama adalah kebun belakang biara dan got belakang gudang kayu. Kedua lokasi ini dekat jalan umum sehingga bisa sedikit ‘ngeceng’ di luar melihat orang-orang lewat.

Pukul 16.00 waktu untuk mandi dan bersih-bersih. Semua anak dengan ember dan peralatan mandi, ramai-ramai di kamar mandi. Pukul 16.30 mulai belajar sore sampai pukul 17.30. Selama jam belajar suasana sepi dan hening walau tak ada guru yang mengawasi. Jadi guru di Kartini sebetulnya menyenangkan dan tidak makan hati lho, karena tidak pusing mengurus ketertiban siswi. Para siswi sudah dengan sendirinya tertib dan disiplin dari asrama. Bila mendengar bunyi kunci, itu tandanya Suster Pauly akan lewat dari kantor ke kamarnya. Suasana makin sepi seperti di kuburan. Tak ada yang berani keluar, kebelet pipis sekalipun. Kebiasaan sang kepala sekolah yang suka menggoyang-goyangkan kunci ini sebetulnya sangat membantu kami, sebagai alarm bahwa ‘malapetaka’ akan datang. Segala aktifitas yang mengundang kemarahan beliau segera dihentikan agar lolos dari panggilan ‘potiwolo’ dan tarikan mautnya memelintir kuping. Bila ada tamu pada jam belajar, apa pun alasannya kadang-kadang ditolak dengan tegas oleh suster mungil ini, kecuali kematian.

Pukul 18.00 wajib doa rosario bersama di gua Maria belakang asrama, tempat pemakaman para suster. Biasanya setengah jam sebelumnya kami isi dengan bermain basket. Itu olahraga favorit anak Kartini. Semua anak menyukai olahraga tersebut karena sekaligus ajang balas dendam. Sengaja melempar bola dengan keras ke arah musuhnya, atau sengaja mencakar saat merebut bola, atau sengaja menjegal kakinya saat lari, itu semua bentuk balas dendam terhadap musuhnya di asrama yang paling jitu. Basket jugalah yang mengharumkan nama tim Kartini dalam setiap pertandingan antar sekolah di kecamatan Golewa. Ada Efra Longa dan alm. Yeni Benda yang paling jago saat itu, juga Tevi Wea.

Pukul 18.30 makan malam. Bicara lagi soal menu rasanya bosan dan sakit hati. Kalau kebetulan mendapat kiriman lauk dari orang tua sih makannya lahap, tapi kan tidak setiap hari dikirimi lauk. Beruntung sekali saya semeja makan dengan Mien Lawi yang rumahnya di kampung Lio, belakang asrama. Dapurnya saja kelihatan dari gua Maria. Setiap sore mamanya mengirim sambal, kadang-kadang ikan goreng sehingga menu kami semeja makan agak beda dengan yang lain. Anak asrama semuanya jago makan sambal karena satu-satunya pemancing napsu makan adalah sambal. Ada menu makan malam yang agak aneh adalah ‘uta tabha’. Ini sejenis makanan khas dari daerah Mataloko, Mangulewa, Bajawa, yang bahan pokoknya dari jagung giling dicampur kacang-kacangan, dimasak seperti bubur dan asli tawar. Ini menu spesial di masa puasa yang salah satu pantangannya adalah garam. Mungkin dengan pertimbangan itulah muncul ide para suster untuk menyajikan ‘uta tabha’, sekaligus melestarikan masakan khas daerah Bajawa. Namanya juga asrama, tanpa kecuali, tanpa pilihan lain, kami menikmatinya dengan lahap walau terpaksa. Uta tabha menyatukan lidah dan rasa dari berbagai kalangan ekonomi dan latar belakang keluarga. Dari anak pejabat, pengusaha Cina, guru dan pegawai, sampai anak petani, semuanya sama…menikmati hidangan lezat tersebut dari suster tercinta. Kami memang dididik untuk menjadi orang yang kelak bisa hidup sederhana, prihatin, dan sabar. Sesudah makan setiap anak mencuci piring masing-masing, merapikannya di rak piring. Yang bertugas mengambil ‘kan’ air wajib menyiapkan minuman untuk setiap meja, lalu mengembalikan ‘kan-kan’ air itu di dapur. Berat ‘kan’ air dua kali lipat berat air sehingga harus diangkat oleh dua orang. Kami senang melakukan semuanya. Ya, belajar saling melayani sesama.

Pukul 19.15 hingga 20.30 belajar malam di kelas masing-masing. Suasana kembali sepi dan hening. Teringat pernah ada orang iseng melempar jendela kelas, semuanya lari…berebutan keluar dari kelas menuju kamar tidur. Akibatnya Lien Mitang sampai terkilir tangannya karena terinjak saat rebutan keluar kelas. Akhir dari semua kegiatan seharian ditutupi dengan doa malam bersama di kelas III yang ruangannya paling besar. Masih teringat lagu wajib setiap doa malam ;“Dalam untung malangku… Engkaulah harapanku…” Kini lagu itu menjadi lagu wajib juga dalam doa malam keluarga saya. Pujian malam yang sangat berkesan.

Pukul 21.00, dengan tenang dan tertib semua antri menunggu pintu kamar tidur dibuka ibu asrama. Seperti domba masuk ke kandangnya, satu-persatu menuju tempat tidur masing-masing tanpa suara (tidak boleh membawa buku pelajaran ke kamar tidur) lalu ke kamar mandi sikat gigi dan cuci kaki. Asrama sengaja tidak menyediakan kasur agar anak tidak manja, tetapi ada beberapa siswi yang membawa kasur dari rumah, termasuk saya. Selimut tebal, kaos kaki, dan baju hangat, itu perlengkapan tidur di asrama. Tempat tidur besi dan tingkat disiapkan asrama.

Pukul 21.30 semua lampu dimatikan oleh ibu asrama, diiringi doa “Roh Kudus Allah, semuanya karena cintaku pada-Mu. Amin.” Selamat tidur anak-anak manis, bermimpilah yang indah-indah. Itulah rutinitas kami di asrama, berlangsung dari tahun ke tahun, turun-temurun.

Hiburan ?? Asrama memiliki TV 27 inchi yang diletakkan di kamar makan sekaligus ruang rekreasi. Untuk menonton, tergantung ‘mood’ para susternya. Lebih sering TV nganggur, sekedar pajangan di kamar makan, dengan antena luar yang sangat tinggi, pertanda asrama Kartini memiliki benda berharga yang masih jarang dimiliki penduduk sekitarnya saat itu. Tidaklah heran jika pengetahuan umum kami saat itu sangat minim, karena jangankan koran yang susah didapat, TV di depan mata saja susah juga mendapat izinan untuk menonton. Saya yakin adik-adik yang sekarang pengetahuan umunya tidak ‘semiskin’ kami dulu. Ruang baca kami dulu hanya disediakan buku-buku cerita zaman bahoela, cerita santo-santa. Ada juga cerita populer, tapi sedikit. Saya suka membaca Petualangan 5 Sekawan karya Ennid Blyton.
Acara malam minggu : renungan kitab suci. Kadang-kadang nonton film, berkat kebaikan dan kemurahan hati Pater Zezlaus SVD, si pembawa Kabar Gembira. Filmnya asyik-asyik, pas buat usia ABG. Ada film barat, ada film-film komedi Indonesia. Pater Zez punya beberapa anak angkat, salah satunya teman saya Relly Wele dari Mangulewa. Terima kasih Pater Zez ! Minggu malam baru rekreasi bersama, menyanyi, menari, main kartu, ngerumpi, pokoknya bersenang-senanglah. Belajarnya sudah di pagi hari setelah dari gereja, dan sore hari sebelum makan malam.

Semua acara di asrama memang tergantung selera ibu asramanya. Lain orang, lain maunya. Setelah Suster Yosephina pindah ke Hokeng, ibu asrama diganti Suster Monika. Mirip dengan Suster Pauly, kecil mungil, pendek, tapi tidak galak. Rupanya mereka memang sekampung dari Manggarai. Suster Pauly melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kepala sekolah diganti oleh Ibu Klara Anu. Suasana di sekolah jadi lebih asyik dan menyenangkan tanpa kehadiran Suster Pauly yang galak itu. Maaf ya Suster ! Sebagai ibu asrama merangkap ketua dapur, menu makan yang diatur oleh Suster Monika pun beda, sudah ada nilai gizinya. Beliau sangat perhatian, yang sakit disapa dengan lembut sambil memijit tangan atau kaki si sakit. Ini produk Manggarai yang eksklusif dibanding dengan mantan kepala sekolah kami. Boro-boro disayang-sayang, semua anak dipanggil potiwolo yang ternyata artinya setan dari gunung. Kira-kira dosa gak sih katain orang begitu ? Tapi karena beliau seorang pemimpin ya…manut sajalah. Oya, sebelum Suster Monika datang, ibu asrama sempat dijabat oleh Suster Paulista. Ini suster paling pilih kasih sehingga banyak siswi kurang suka. Saya termasuk yang dikasihi karena masih keluarga, tetapi pernah juga saya bermasalah dengan beliau. Gara-gara melawan, beliau mengadu ke Ibu Brigita yang waktu itu menjadi wali kelas saya. Habis deh, saya diomeli Ibu Gita sampai menangis tersedu-sedu lalu disuruh harus minta maaf pada Suster Paulista. Begitu saya ke kamar cuci tempat beliau bekerja, saya dipeluk dengan penuh kasih. Sejak itu kasih dan perhatiannya pada saya begitu besar. Ada juga kakak KRT yang baik sekali dengan saya, Kak Maria Na’u dan Kak Yasinta Meo.

Tentang Teman-teman …

Tadi cerita tentang sekolah,para guru dan para suster, dan asrama, sekarang saatnya saya mengabsen teman-teman, sahabat-sahabat, musuh-musuh, juga rival-rivalku semasa SMP. Halo semuanya… apa kabar ??Di asrama yang menampung sekitar 150-an siswi dari berbagai daerah membuat kita saling mengenal sifat dan tingkah laku. Ada yang pendiam, cerewet, munafik, bandel, ya…macam-macamlah. Teman-teman se-geng saya dulu ; Domitilla Fengi, Yohana Nelu, Siska Dhera, Onna Sakera, Im Nay Lado, Tevi Wea, Oce Go’o, di mana kalian berada sekarang ? Ada rindu untuk bertemu, bercerita lagi kisah-kisah gila kita dulu. Masih ingat waktu kita dirotani Suster Yosephina di gudang peti karena kita curi daging gorengnya Selly Mau dan Erry Edo ? Saat mengetik ini saya tertawa sendiri, membayangkan wajah kita meringis kesakitan melihat betis mulus jadi biru. Ternyata mamanya Selly Mau dan Erry Edo itu teman baik mama saya sejak di Kartini sampai di SGB Jopu. Masih ingat waktu kita rebutan beli pisang gorengnya Mien Lawi yang saya jual di kamar tidur saat lampu sudah dimatikan suster ? Lalu waktu kita sok jadi pendaki gunung, hari minggu ke Wolosasa gak jelas buat apa di sana, malah petik pisang di hutannya seminari ? Dan yang lebih seru saat kita bersaing menunjukkan surat-surat dari anak seminari. Kak Titus Puling bisa mengirim surat untuk beberapa orang, dan diam-diam kita menyimpan rasa yang sama buat dia. Sialan juga tuh orang, tapi sekarang sudah jadi pastor di Argentina. Pernah bertemu saya di Jakarta dan tanpa malu-malu dia cerita lagi pada suami saya. Ada lagi Tonny Retu si badung itu berapa kali mengirim surat untuk saya dan kalian ramai-ramai mengejek saya. Sebetulnya saya suka dengan badungnya Toni saat itu, keren…! Yang paling seru waktu saya terima surat dari Felix Djawa, dan Im terima surat dari Kak Yoseph Godho. Itu semua kenangan yang tak pernah terlupakan. Kapan ya kita bercerita lagi ???

Masih ada lagi teman-teman yang punya story lain yaitu Angela Wea, Merlyn Bhari, Vivi Mole, Udis Aso, Agus Milo, dan Eda Ngole. Kami dipercayakan untuk menjaga kamar Ibu Deth dan Ibu Gita saat beliau berdua penataran di Kupang dan Denpasar selama seminggu. Bukan hanya dengar lagu, tetapi tangan kami ‘rubu-raba’ di laci meja Ibu Gita dan menemukan catatan rahasia tentang hubungan cinta Ibu Gita dengan Pak Darius. Alamak, hal yang paling rahasia bagi Ibu Gita malah jadi ketahuan oleh kami bertujuh. Akibatnya ? Di rapor kami tertulis kelakuan “kurang”. Gara-gara dilapor Sin Goma yang masih saudaranya Ibu Gita. Kami dipanggil, disidangkan, tapi untung tidak dikeluarkan. Padahal kami sudah bela-belain mengantar kedua ibu guru kami itu ke bandara Padhamaleda sampai pulangnya dihukum suster ibu asrama. Ya, itu semua kenangan. Begitu kami lulus, Ibu Gita sedang hamil sehingga tidak lagi marah-marah, mungkin biar bayinya tidak galak.

EBTA/EBTANAS selesai. Angkatan kami lulus 100% dengan NEM tertinggi Angella Wea untuk se-NTT. Urutan keduanya juga dari Kartini, Sandy Djuang. Bravo Angella dan Sandy ! Kami semua bangga dengan kesuksesan mereka yang mengharumkan nama Kartini. Kami juga bahagia dengan kesuksesan kami 33 orang.
Kebahagiaan kami dirayakan dengan acara piknik bersama di pantai Aimere sebagai perpisahan dengan adik kelas dan bapak ibu guru. Naik truk ramai-ramai. Seru dan asyik karena lolos dari kronik yang dibuat oleh adik kelas. Salah satu kebiasaan pada malam perpisahan adalah pembacaan kronik yang membuat kita berdebar-debar menunggu penilaian adik kelas terhadap kakak-kakak selama kebersamaan di sekolah dan asrama. Yang baik-baik dan pendiam sih pasti tak perlu cemas, tapi yang bandel dan suka melawan pasti dikritik habis-habisan. Bagus juga sih, biar bisa memperbaiki diri bila sudah angkat kaki dari Kartini. Adik-adik yang cukup dekat dengan saya dulu itu Yuli Engo, Anny Boro, Aylin Laliwea, Onny Depa, dan Etty Separ. Lainnya biasa-biasa saja.

Lain-lain ...

KARTINI. Menyimpan banyak kenangan, banyak harapan, banyak cita-cita, dan banyak perasaan yang tak sempat terungkap. Di Kartini saya pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Bila diingat lagi, saya tertawa sendiri. Saat menulis baris ini tak sadar saya terbahak sendiri. Ceritanya, suatu hari minggu ada siswa seminari datang ke Kartini, dia yang pernah mengirim surat buat saya. Dia bersama temannya. Saya pura-pura keluar dari kamar makan (pas lagi makan pagi), dengan alasan ke dapur. Maksud hati mau lihat ‘pangeran’, eh…duluan ketahuan Suster Pauly. Saya dipanggil ke kelas I, dijewernya kuping saya (sambil ditarik-tarik lagi), lalu diceramahi selama satu jam, seolah-olah saya melakukan kesalahan terbesar di dunia. Sialan, gara-gara Tonny Retu nih. Saya menangis, saya benci pada Suster Pauly, saya dendam sekali padanya. Saya merasa antara kami berdua seperti musuh besar. Setiap tingkah laku, gerak-gerik dan perbuatan saya, rasa-rasanya tak ada yang beres di mata suster yang super galak itu. Mungkin itu hanya perasaan saya saja karena setibanya di Yogya tahun 1998, justru Suster Pauly yang pertama mencari saya. Waktu itu saya mengikuti tes di STFK Pradnyawidya yang juga kampus beliau. Melihat ada nama saya di daftar peserta yang lulus, beliau menunggu saya di gerbang kampus. Oh my God ! Kami berpelukan seperti teletubies, tanpa sungkan-sungkan, tanpa malu-malu, serasa lupa dengan semua rasa dendam yang pernah ada di hati. Yang ada saat itu hanya rasa rindu dan bahagia, bertemu dengan mantan kepala sekolah yang galaknya minta ampun. Lupalah rasa sakit yang pernah dialami semasa SMP. Meski aura galak dan sinisnya belum hilang tetapi setidaknya sudah agak ramah dan lembut. Mungkin lingkungan dan budaya Jawa yang mempengaruhi semuanya itu. Saya pun berbisik, “Suster, sekarang kita sama-sama mahasiswa lho !” Beliau hanya tersenyum (malu-malu) sambil terus menggenggam tangan saya. Kangen berat ni ye…

Berpisah dari Kartini baru saya sadar dan merasakan betapa beruntungnya saya bisa mendapatkan banyak hal dan pelajaran selama di sekolah dan di asrama. Rasa disiplin, tanggung jawab, toleransi, setia kawan, ah… banyaklah. Namun, tak ada gading yang tak retak. Ada ketimpangan dalam membina pergaulan siswi dengan lawan jenis. Ketahuan bersurat-suratan, apalagi sampai berpacaran, kita disidangkan seolah-olah melakukan tindakan kejahatan. Belum saatnya berpacaran, masih kecil, itu alasan utamanya. Tetapi arahkan dengan kata-kata yang bijak dan menyenangkan sehingga tidak membuat siswi yang bersangkutan sakit hati dan membuat luka di batinnya. Padahal apalah artinya sih pacaran masa itu yang hanya kirim-kirim surat (berawal dari April Mop), lalu bertemu setiap hari minggu pesiar, jalan bersama dari depan poliklinik sampai depan rumah Om Anton de Ornay, lalu balik lagi. Pegangan tangan saja tidak. Biasalah, hanya cerita-cerita sambil menghitung kerikil yang diinjak. Saat itu rasanya puas dan bahagia, pulang asrama bisa tidur bolak-balik, terbayang terus. Dasar cinta monyet ! Tapi ada lho yang langgeng sampai pelaminan, Sandy Djuang dan Kak Valen Dakiso’o, Quien Mole dan Kak Yust Djogo, Kak Abraham Runga dan Cici Dhone, Kak Aloysius Bhui dan Helen Muga. Itu seputar indahnya jatuh cinta di Kartini.

KARTINI. Sekolah yang punya acara turun-temurun “Malam Pertemuan”. Malam yang paling ditakuti. Bagaimana tidak, malam yang situasinya tegang seperti di hadapan pengadilan. Semua kesalahan terhadap siapa pun dalam perkataan dan perbuatan selama dalam kebersamaan sehari-hari, sebulan sekali disidangkan. Moderatornya adalah ketua OSIS. Tidak sedikit yang sampai menangis karena takut dan malu, terutama adik-adik kelas I yang masih baru di asrama. Tanpa mengenal usia atau tingkatan kelas, yang salah wajib meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan banyak orang. Ya, kita bisa belajar memaafkan, mengakui kesalahan, sabar, rendah hati, dan terutama saling menghargai dalam kehidupan bersama.

KARTINI. Entahlah seperti apa keadaannya sekarang, namun dalam ingatan saya, Kartini adalah sekolah favorit, sekolah impian orang tua bagi para putrinya, dan tetaplah sekolah khusus putri. Sayang, tidak ada dokumentasi atau foto-foto karena masa saya dulu bisa dihitung tukang foto yang ada di Mataloko, paling-paling di rumah Baba San yang fotonya hari ini baru jadi sebulan kemudian. Tapi tetap ada kenangan waktu foto di studio alam Baba San alias di depan rumahnya. Gara-gara pergi foto di sana, saya dapat surat cinta dari anak Ndao (saya lupa namanya) yang sedang berlibur dengan anaknya Baba San. Surat itu diantar Rini Supit via pagar belakang kelas III. Lucu juga kalau diingat-ingat.

KARTINI. Sekolah yang bersebelahan dengan kompleks pensiunan dan SD Mataloko. Dengan demikian kami pun bersahabat dengan para tetangga seperti keluarga Bapak Michael Remi, keluarga Bapak Felix Djawaria, keluarga Bapak Rofinus Longa, keluarga Bapak Yan Nai, keluarga Bapak Daud L. Bara, keluarga Ongko Leo, keluarga Bapak Agus Bay, keluarga si kembar Itho dan Boto, dan masih banyak lagi yang saya lupa namanya. Ada kios Aci Since yang menjadi langganan anak Kartini dan sering pula ‘dibohongi’ kalau sedang ramai-ramainya belanja. Ambil permen lima tapi ngakunya dua. Terlalu ko… Ternyata siswa seminari juga begitu la… (pengakuan dari Pian da Gomez. Pantas dia dicedok !). Sorry Aci ! Biarlah Tuhan yang mengampuni kami !

Teman-temanku Seangkatan. .
“Sahabat setiawan merupakan perlindungan yang kokoh, barangsiapa menemukan orang serupa itu sungguh mendapat harta.” Sirakh 6 :14

Kebersamaan kita menyimpan banyak kenangan dalam hidup. Ada tawa, ada tangis, ada permusuhan, ada persaingan, ada rindu, ada benci, ada suka, ada duka, terutama ada cinta kasih.

Anna Diki dari Jerebu’u
Agustina Milo Bate / Agus dari Watujaji
Angela Uge Riwu / Nesty dari Jerebuu
Angela Luang / Enjel dari Riung
Angela Regina Maria Wea Lagho / Anjel dari Kelewae
Bernadetha Maria Lourdes Go’o Ma’u / Oce dari Nangaroro
Bernadetha Yosefina Wea / Tevi dari Boawae
Christina Maria Wona / Nona dari Were
Edel Mary Quien Mole / Quien dari Bajawa
Edeltrudis Ngole Molo / Eda dari Jerebuu
Fransiska Dhera / Sisi dari Watuapi
Getrudis Aso Bupu / Udis dari Mauponggo
Genoveva Nei / Geni dari Nangaroro
Kornelia Aneng / Koni dari Manggarai
Lidvina Ia Bay Lado Una / in dari Wudu
Marselina Bo’a / Ona dari So’a
Maria Aurelia Bhari / Merlin dari Danga
Maria Yasintha Lado / Sintha dari Radja
Maria Asumpta Ngani / Ristha dari Jerebuu
Maria Gaudensia Apong / Densi dari Manggarai
Maria Magdalena Alexandra Djuang / Sandy dari Boawae
Maria Florida Nginu / Merry dari Maumere
Maria Dafrosa Longa / Efra dari Mataloko
Maria Yasintha Goma / Sin dari Riung
Maria Florentina Wara Killa / Loni dari Bajawa
Maria Immaculata Bebhe / Imma dari So’a
Maria Immaculata Bhubhu / Merry dari Were
Maria Immaculata Nay Lado / Imm dari Watugase
Paulina Ina Bunga Mitang / Lin dari Boawae
Theresia Dhone / Thres dari Aimere
Wilhelmina Lawi / Mien dari Ende Lio
Yovila Maria Venancia Mole Ladjajawa / Vivi dari Bajawa

Ketua OSIS Angela dan ketua kelas Eda Ngole

20 tahun kemudian … Saat liburan sekolah, saya dari Jakarta kembali ke Flores dan tanggal 5 Juli 2006, bersama adik saya Tilla, kami berkunjung ke SMPK Kartini. Karena kami datang saat liburan, kami hanya bertemu Bapak Sunar dan beberapa pegawai TU yang sedang sibuk melayani pendaftaran murid baru. Ada rasa rindu yang mendalam ketika menginjakkan kaki di kompleks susteran SSpS Mataloko. Setelah bertemu Pak Sunar (masih awet lho), saya berkeliling mengambil gambar di tempat yang sudah sangat berbeda dengan masa saya 20 tahun yang silam. Taman tengah yang menjadi tempat kami bermain kini sudah menjadi ruangan kelas bertingkat, ruangan komputer dan kolam mungil. Kamar tidur entah sudah menjadi apa karena saya tak sempat menengok ke dalam. Sedangkan yang dulu gudang kini sudah menjadi kamar tidur dan kamar mandi yang bagus. Tempat tidur besi bercat hijau mengisi ruangan itu dengan rapi. Rak sepatu berjejer di depannya. Saya jadi iri dengan keadaan yang sekarang, tapi tetap merindukan suasana yang dulu. Saya berkunjung juga ke makam para suster di dekat gua Maria belakang asrama, dekat gudang kayu. Tidak ada lagi bau kotoran ayam dan babi karena semuanya sudah dibangun kamar. Yang masih kelihatan asli dan tua hanya kamar makan, kamar roti, dan kamar cuci. Di kamar roti saya bertemu dengan Suster Alfonsa. Masih ada Suster Antonilda yang saya kenal. Lainnya sudah pindah, bahkan ada yang sudah almarhumah. Akhir dari kunjungan saya berdoa di gua Maria, mengunjungi makam Suster Almira, makan roti dari Suster Alfonsa, lalu kembali ke Bajawa. Thanx Suster !

Liburan kali ini saya sempat bertemu dengan teman seangkatan saya OCE GO’O dalam perjalanan dari Nangaroro ke Mbay. Kami se-bis dan kembali cerita nostalgia masa-masa di asrama. Putri pertamanya akan dikirim sekolah di SMPK Kartini juga. Hidup Oce Junior ! Jangan nakal ya kayaknya Maknya !

Ucapan terima kasih kepada :

Tuhan YME, Putra-Nya, dan Bunda Maria

Kedua orang tua yang sudah menyekolahkan saya di SMPK Kartini sehingga sekarang saya bisa menceritakan semuanya.


Para Suster, Ibu, dan Bapak Guru di SMPK Kartini yang telah mengajar, mendidik, membimbing, dan mendampingi saya selama di SMPK Kartini.

Teman-teman seangkatan, kakak dan adik kelas yang sudah bersama-sama hidup dan bersahabat di asrama.

Kakak-kakak KRT dan Om-om tukang yang sudah membantu, menunjang kelancaran belajar dan kegiatan asrama.

Para tetangga dan kenalan di Mataloko (Kel.Bapak Rofinus Longa) yang turut membantu dalam bersosialisasi selama menjalani masa-masa di asrama dan SMP.

Uge-uge yang setiap pagi menjual alpukat di asrama sehingga kami menjadi anak yang sehat karena makan buah yang bergizi. Nasi campur alpukat, aneh banget…

Saudara-saudara di Seminari yang membantu perkembangan masa remaja saya dengan lirikan-lirikan dan surat-surat cinta monyetnya. Hahaha… Tonny Retu, di mana kau berada ? Pater Titus Puling, tulisannya bagus juga. Gombal !!!

Suamiku Abang Vitalis tercinta yang selalu mendorong saya untuk meneruskan bakat menulis dengan menghadiahkan seperangkat komputer dan memasang speedy.

Ibu Hilde Bhoko (kakak iparku) sekeluarga di Lekosoro Bajawa (penginapan gratis selama 3 malam)

Adik TILLa, Kak Dorty Mo’i (anggota DPRD Ngada) dan suami Kak Dorty yang sudah menemani saya berkunjung ke SMPK Kartini dengan mobilnya.

Bapak Sunar beserta staf di kantor SMP Kartini yang sudah bersedia diganggu oleh kedatangan saya dan Tilla.

Ibu Hesty Rodja (pegawai AJB Bajawa) yang rela mencuri waktu kerjanya untuk menemani saya makan siang di warung pojok lapangan Lebijaga. Ma’e naji pai !

Mama Bibi Dhongo yang saya ganggu waktu istirahatnya buat ngobrol sambil nunggu ayam bakar di warung makan.

CHICHI : Sahabatku juga Adikku

Nama lengkapnya Rahmawaty Chichi Padmasari, asli Jawa, dari Klaten Jawa Tengah. Awal perkenalan kami di asrama Retnowulan, tempat kos kami. Setelah ibunya kembali ke Klaten, dia mulai bergabung dengan kami, nonton TV di lorong tengah asrama. Aku lihat dia malu-malu mau keluar dari kamarnya, kudekati dia, berkenalan, dan mengajaknya bergabung, berkenalan dengan teman lainnya. Biasa … orang barulah. Ternyata dia bisa bersahabat dengan siapa saja. Karena hanya kami berdua yang kampusnya beda dengan teman-teman seasrama, jadi kami lebih sering berdua di kos saat mereka masuk kuliah jam 07.00. Dari berbagi cerita, berbagi pengalaman, kami menjadi akrab, dan selera makan kami pun mulai sama. Dia adik tingkat jauh dariku, tapi bisa menjadi teman kalau cerita soal cowok dan gaya hidup. Setiap sore kami beli jamu di pojok pasar Lempuyangan atau es campur di ‘mulut’ gang Tukangan.
Setahun tinggal sekos banyak suka duka yang kami alami bersama. Setiap sore sehabis mandi, kami beli ‘nasi kucing’, sambil menyusuri jalan sepanjang Malioboro (kos kami dekat dengan Malioboro). Menu akhir bulan kami ’sate balung’. Meski hanya tulang ayam dan bumbu kacang tapi nikmatnya luar biasa. Apalagi makannya rame-rame saling rebutan. Kalau awal bulan sedang berduit, kami beli makan di warung Ibu Turut dengan menu ayam goreng. Pelanggan warung Bu Turut kebanyakan cowok cakep dan keren, jadi tunggu awal bulan baru kami beli makan di sana. Kalau lagi pas-pasan, kami belanja di warung Ibu Bambang lalu masak sendiri. Belanjanya urunan bersama Vessia dan Yuli yang belakangan menjadi akrab dengan kami.
9 April 1994, ulang tahun Chichi yang ke-20, kami camping di Bebeng, bakar ikan bersama ’sahabat-sahabat’ kami dari STM 07 Mrican. Ada Bang Luther ‘ompong’, Bang Iyeng, Gorry, Yacob, Nomensen, Loji, Seno, Robin, dan Boy. Dari Retnowulan selain kami berdua, ada Vessia, Yuli, Tiominar, Sitho, dan Tetty. Suasana begitu akrab dan mesra. Kenangan yang tak terlupakan saat motor Yacob dan Vessia terjun bebas ke sawah karena remnya blong. Vessia teriak histeris, “Abang…!” lalu diam. Gawat ! Kami mengira mereka berdua tewas. Motornya masuk selokan, mereka berdua ‘terbang’ dan mendarat di sawah. Untung sawahnya berair lho, kalau kering… bisa luluh lantak tulang mereka. Rame-rame kami mengangkat tubuh gendut Vessia dari lumpur sawah yang dalam keadaan pingsan (tapi kayaknya sih pura-pura, hahaha…). Yacob sudah ngibrit duluan melihat kondisi motor. Maklum, motor pinjaman (pacaran tak modal). Setelah Vessia benar-benar sadar, kami pun iring-iringan konvoi pulang ke Yogya. Benar-benar ulang tahun yang sangat berkesan. Sebetulnya Vessia juga ulang tahun di tanggal 8.
Tak jera dari kejadian itu, kami camping lagi di Kali Kuning. Idenya Bang Luther semua nih. Kali ini lebih seru karena rame-rame menginap di hutan, bakar jagung dan panggang ayam. Dengan menumpang bus Baker, kami menuju Kaliurang. Memasuki tanjakan Kaliurang, kami turun lalu berjalan kaki menyusuri perbukitan menuju Kali Kuning. Di bawah guyuran hujan kami terus berjalan sambil sesekali berpose di depan kamera. Genit, centil, heboh…! Bang Luther sampai puyeng. Beriring-iringan kami melintasi sungai sambil memikul ransel dan peralatan masak. Begitu tiba di Kali Kuning, kami langsung mencari tempat yang nyaman alias PW dan segera memasang tenda. Rame-rame menimba air untuk masak, mandi di pancuran, lalu bakar jagung dan panggang ayam. Asyik banget… dan enak tenan… ! Malam tiba rebutan tikar dan tempat untuk berbaring. Semuanya gembira dan seru dengan cerita-cerita lucu. Esoknya pulang naik bus Baker lagi dan turun di Mrican. Dari STM 07 kami jalan kaki alias long march ke asrama dengan memikul ransel serta peralatan masak. Seru dan heboh…!
Sisa dari camping adalah kenangan dan getar-getar cinta. Kebersamaanlah yang menciptakan semua rasa itu. Vessia semakin ‘nempel’ dengan Yacob, Sitho ‘malu-malu kucing’ dengan Robin, Tetty ‘panas dingin’ dengan Gorry, Tiominar nyaris ‘bermain api’ dengan Nomen, Chichi mulai ‘ada rasa’ dengan Boy, dan aku ‘bingung’ antara dua pilihan : Bang Iyeng atau Loji. Hahaha… Hanya Yuli yang bertahan dengan kesendiriannya karena semua itu adalah teman dan saudara seasalnya. Terpaksa dia selalu berpasangan dengan Bang Luther yang sudah berkeluarga. Ya, begitulah kami, selalu rame-rame, selalu heboh.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak peristiwa yang dialami dan dilalui. Chichi akhirnya berpacaran dengan Boy yang NB masih SMA, dan bertahan sampai setahun. Setamatnya Boy dari SMA, tamat pula riwayat cinta mereka. Boy pulang ke Medan dan gak ada kabar berita. Chichi pun mengisi ‘kekosongan’ hatinya dengan menerima cinta teman sekampusnya Yudhie, asal Kalimantan. Yudhie baik juga, mudah bergaul, tapi bodinya yang kecil kayaknya kurang cocok dengan Chichi yang tinggi. Tapi dasar gak berjodoh, setelah berjalan sekitar satu setengah tahun, Yudhie pindah ke lain hati, dengan teman KKN-nya. Selesailah sudah kisah asmara Chichi dan Yudhie bersamaan dengan larisnya lagu pop berjudul “Yudhie” yang dinyanyikan Elma Theana. Makanya Elson suka godain Chichi kalau dia sedang bermurung ria. Cinta oh…cinta…
Bertahan jomblo sekitar tiga bulan, dibukalah lembaran baru, tetapi kisahnya dengan orang lama, Harmoko alias Koko. Cowok jangkung berkepala plontos (maklum mahasiswa pelayaran), bertampang tidak mengecewakan, tetangga sebelah asrama kami. Berawal dari ketidaksengajaan bertemu di warung makan Ibu Turut (karena Koko,cs sudah pindah kos) , kembali membuka cerita lama. Koko ini sudah lama dikenal tetapi sempat dilupakan karena Chichi sibuk dengan para penggemar lainnya, yang akhirnya kandas semua ditelan dusta. Awal perkenalan kami dengan tetangga sebelah (anak Bangka), kami sudah mulai menjodohkan Chichi dan Koko menjadi Chi-Ko. Perjodohan itu sebetulnya sudah mulai ditanggapi Koko dengan mengirim surat cinta untuk Chichi dari “Harmoko”. Salah duga dikira menteri Harmoko, kami sempat menertawakan Chichi. Tanggapan Chichi ? Masih ragu-ragu. Tiba-tiba Seno mulai melancarkan usaha dengan kiriman puisi-puisi romantis yang dikirim melalui siapa saja yang datang dari STM 07. Tak cukup dengan surat dan puisi, Seno nekat ‘tatap muka’, datang ke asrama malam-malam, pinjam motor teman. Ini yang membuat Chichi kebingungan. Untuk menghindari pertemuan dengan Seno, Koko-lah yang menjadi pahlawan tengah malam. Dasar dia agak lugu, bersedialah dia menemani Chichi nonton TV tapi di kos mereka. Aneh ya, lugu banget, mau-maunya dimanfaatkan. Hahaha… Rupanya itu hanya sesaat karena setelah kejadian itu Koko sepertinya ‘dilupakan’. Apalagi satu-persatu personil meninggalkan asrama alias pindah kos, rasanya seolah-olah sudah ‘goodbye’ semua dengan kenangan tentang Koko.
Kalau memang berjodoh, ke mana pun melanglang buana, baliknya ke situ-situ juga. Dan ini terjadi pada dua anak manusia ini. Entahlah dengan Koko, kalau Chichi, aku tahu benar siapa saja yang pernah tertambat di hatinya. Kami selalu berbagi cerita tentang apa saja yang terjadi dalam kebersamaan kami. Semua yang pernah dekat itu pergi …dan menghilang. Tak disangka, saat hati sedang perih ditinggal Yudhie, bertemulah si Koko di warung Ibu Turut lagi (pas kami berdua Chichi main ke kos Yuli). Tanpa banyak alasan, Koko juga mau waktu kami ajak main ke kos Yuli. Chichi pura-pura malu. Biasa, malu-malu mau. Cerita-cerita lepas kangen lalu berdua Chichi pamit kembali ke Mrican. Mau naik motor, kok tiba-tiba tak mau hidup-hidup mesinnya. Nah, tenaga Koko dimanfaatkan lagi untuk bongkar-bongkar. Karena hanya busi yang terganggu, langsung cepat hidup lagi. Dengan bangga Koko tersenyum-senyum saat kami pura-pura memujinya (emang enak dikerjain…). Tapi justru itu awal yang mengesankan sehingga selanjutnya…tanpa perantara, tahu-tahu mereka sudah jadian. Jarak Babarsari - Tukangan yang lumayan jauh tak masalah. Semua terasa jadi lebih indah dan berarti karena sama-sama sudah saling tertambat hatinya. Tapi bagaimana dengan komentar orang tua di Klaten ? “Sabar dulu sayang, kamu harus selesai kuliah dulu, dan Koko harus bekerja dulu.” Ah, itu kan nasihat, cinta jalan terus. Orang Papua bilang, mau lawan cintakah ?
Tahun berganti, kami asyik dengan kehidupan masing-masing, bertemu dengan banyak hal istimewa. Terakhir kami ke pesta bersama tahun 1995, aku curhat dengan Chichi tentang seseorang yang sedang pdkt denganku, dan menunjuk orang tersebut yang kebetulan hadir juga dalam pesta itu. Betapa kagetnya aku dengan komentarnya yang tanpa basa-basi, “Orangnya dekil,Kak !” Namun dengan sedikit promosi aku mencoba meyakinkan Chichi tentang kepribadian si dekil itu - kini jadi suamiku- bahwa biar hitam kulitnya tapi putih hatinya. Jawaban Chichi, “Kalau Kakak suka, coba jalani aja dulu.” Setelah itu kami sibuk dengan rutinitas sendiri, tahu-tahu beritanya mereka berdua sudah bekerja di Solo sebagai pramugara dan pramugari di kereta api. Kami tak pernah bertemu, tak ada berita, seolah-olah hilang dan tenggelam,padahal jarak Yogya-Klaten-Solo sangat dekat. Sama-sama tak ingin mengganggu. Sampai selesai kuliah dan wisuda, aku kehilangan jejak Chihi. Ya sudahlah, jauh di mata tetapi semua kenangan saat bersama selalu ada di hati, tak akan pernah hilang walau ditelan waktu.
Tahun 1989 aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Melalui Elson, aku minta menanyakan alamat Chichi pada Yuli yang waktu itu masih bertahan di Yogya. Dari situ aku mencoba menulis surat untuk Chichi tanpa mengharapkan balasan karena Yuli juga ragu-ragu dengan alamat yang diberikannya itu. Rupanya Tuhan masih menghendaki agar kami tetap bersahabat. Chichi membalas suratku. Sejak itu terjalin kembali hubungan persahabatan kami melalui surat-menyurat.
Tanggal 8 Juni 2000 aku mendapat telepon dari seseorang. Begitu sapaan ‘ube’ yang terucap, aku langsung berteriak nama Chichi karena hanya dia yang biasa menyebutku dengan sapaan itu gara-gara aku suka mendengar lagu-lagu UB 40. Ternyata dia di Jakarta dan kami langsung janjian. Sepulang sekolah aku naik metromini 47 dari Senen ke Klender,tepatnya di rumah susun karena dia tinggal di sana dengan kakaknya Mas Pri. Pertemuan yang menyedihkan karena melihat keadaan Chichi yang kurus, kering, dan hitam pula. Kami kembali bercerita nostalgia di Yogya, terutama peristiwa 9 April. Pertemuan di Klender itu juga menjadi awal perkenalanku dengan lingkungan rumah susun. Saat itu aku sedang mencari rumah kontrakan. Ternyata ada yang kosong di Blok 66/lt.4/15. Aku dan Chichi langsung survei dan tanggal 10 Juli 2000 aku pindah ke rumah susun Klender. Atas persetujuan Mas Pri, Chichi menemaniku selama belum menikah.
Tanggal 3 Juni 2001 aku menikah. Di luar dugaan, saat acara pelemparan bunga, justru pasangan Chi-Ko yang mendapatkannya. Padahal aku lemparnya membelakangi,dan pasangan ini berdiri paling belakang. Dengan bahagia kutatap rangkaian bunga anggrek yang sudah ada di tangan Chi-Ko. Bukannya menyesal tetapi yang kupikir, kapan ya mereka menyusul ? Kata orang, jika orang yang belum menikah mendapat bunga yang dilempar pengantin, pasti tak lama lagi akan menyusul. Ternyata tidak selamanya benar. Chi-Ko gagal melangkah ke pelaminan karena cinta mereka kandas di kereta. Koko berpaling dari Chichi karena mendapatkan wanita lain, kenalan di kereta. Ya,berarti mereka tidak berjodoh. Chichi sedih, tapi aku bilang itu tandanya tak berjodoh.
Beberapa bulan kemudian, ada sms dari Agus,teman kuliahnya. Aku sempat berseloroh, “Jangan-jangan dia jodohmu,Chi.” Chichi hanya tertawa, lalu kami sempat cerita lagi tentang masa-masa kuliah dulu, terutama tentang peran Agus yang selalu menjadi pengantar jemput kami kalau mau jalan-jalan. Chichi sama sekali tak tertarik saat itu. Mereka masih saling kontak, dan aku pun mendukung dengan doa. Ceile… Ternyata mereka berjodoh lho. Tanggal 18 Juli 2004 mereka menikah. Setahun kemudian lahirlah putranya LEVIN. Mereka memang berjodoh. Kini mereka tinggal di Yogya. Kami masih saling kontak. Kami masih tetap bersahabat, bahkan keluarga kami sudah saling mengenal. Terima kasih Tuhan untuk persahabatan yang indah ini.

Sahabatku : LILY dan FRINZ ...


23 April 2007,pukul 12.00 WIB, hari penuh kejutan


Bunyi ponselku berdering. Irama musik soundtrack sinetron Gengsi Gede-gedean nyaring mengganggu kuping. Serta merta kuangkat, tertera nomor 021 599…..
“Halo…!” jawabku.
“Ini Fransisca ?” tanya si penelpon.
“Iya betul,” balasku sambil mengingat suara siapa gerangan. Dari aksennya, aku langsung tahu dan berteriak, “Hei, Enu Lily !” Selanjutnya…. banyak sekali ‘kata seru’ yang lancar keluar dari bibir kami. Rasa rindu, dan penasaran semuanya menyatu. Aku jadi lupa dengan masalah kerjaan yang baru saja kualami. Tak perlu berpikir lama-lama dari siapa Lily tahu nomor HP-ku, karena dua minggu yang lalu aku mengirim surat pembaca ke redaksi Flores Pos Jakarta. Puji Tuhan dimuat sehingga akhirnya kami bisa saling kontak. Terima kasih banyak kepada saudara-saudaraku di redaksi Flores Pos Jakarta. Walau kami belum bertemu muka, tetapi sudah ada titik terang. Terima kasih Tuhan !


24 April 2007, hari penuh cerita


Hari pertama Ujian Nasional tingkat SMP. Sebagai guru Bahasa Indonesia, aku tidak dikirim untuk menjadi pengawas ujian. Asyik…bisa libur deh. Tiba-tiba muncul rencana untuk ke rumah Lily di Tangerang. Aku sengaja minta izin pada suamiku via SMS, karena kalau bicara langsung, pasti tidak diperbolehkan. Alasannya banyak…sekali. “Kamu gak boleh capek, Sayang,” atau “Kamu gak boleh jalan sendirian Sayang.” Ya, banyaklah pertimbangannya seolah-olah aku tidak bisa menjaga diriku sendiri. Makanya aku kirim SMS saja. Ternyata… ”Boleh, tapi hati-hati ya Sayang. HP harus selalu diaktifkan ya.” Masih banyak pesan sponsor lainnya yang berhubungan dengan kebiasaanku tidur di bis. Soal tidur di bis emang aku jagonya. Teman-teman sampai memberi julukan si PELOR alias nemPEL langsung moLOR. Ini yang membuat suamiku khawatir jika aku kemana-mana sendirian.


Jam 12.00 WIB, siang bolong dan panas terik, aku ke terminal Bekasi. Demi mengobati rasa rindu pada sahabat, aku rela berpanas-panas naik bis AJA yang non AC karena jurusan Bekasi – Balaraja memang tidak ada yang AC. Kacian…! Sebelumnya aku sudah menelpon Lily menanyakan rute kendaraan menuju ke rumahnya, sudah kucatat dengan rapi di kartu nama, dan kuselipkan di kantong tas. Aku sengaja tidak pastikan pada Lily bahwa hari ini aku akan ke rumahnya. Maksudku, tiba-tiba aku sudah tiba di rumahnya, itu baru surprise namanya. Bis baru keluar dari terminal jam 13.00. Kubuka jendela lebar-lebar biar terasa AC alamnya. Penumpangnya tidak banyak. Duduk di barisan sebelahku, seorang ibu yang sibuk membaca tabloid Hidayah. Aku berbasa-basi menanyakan alamat yang akan kutuju. Rupanya si ibu juga satu tujuan denganku, ke Tiga Raksa, turun di Jalan Baru. Aku merasa aman untuk mulai dengan kebiasaanku…PELOR ! Aku yakin bahwa si ibu pasti akan membangunkanku jika sudah dekat alamat yang kami tujui.


Air hujan merembes di jendela dan membasahi lenganku. Aku terbangun dan langsung kutengok ke arah ibu. Si ibu juga tertidur dengan lelap, hingga kepalanya miring ke kiri, miring ke kanan. Kulanjutkan tidurku. Aku kaget, seorang bapak duduk di sebelahku. Rupanya beliau pindah karena tempat duduknya di belakang bocor. Aku lanjutkan lagi tidurku. Zzzzz….. ! Eh, sudah sampai Citra Raya. Aku terbangun, si ibu juga sudah mulai bersiap-siap, tandanya sudah dekat. “Siap-siap, jalan baru !” teriak kondektur. Hujan masih rintik-rintik. Aku dan si ibu pun turun, jalan masuk ke gerbang Tiga Raksa. Sambil menunggu angkot, aku bertanya pada preman-preman yang nongkrong untuk pastikan alamat AKUN yang diberi Lily itu nama toko atau nama gang. Ternyata nama toko kelontong. Angkot datang, aku memilih duduk di depan agar lebih mudah melihat-lihat dan membaca setiap nama toko yang dilewati karena sopir yang kutanya pun ragu-ragu dengan alamat yang kusebut. Mungkin dia pura-pura karena tahu aku orang baru yang sedang mencari-cari alamat. Tapi jangan salah, soal berapa ongkosnya, aku sudah diberitahu Lily bahwa sampai di toko AKUN itu bayar Rp 2500,00. Sudah kusiapkan uang pas. Untung ada ibu-ibu yang tahu toko AKUN sehingga aku turun tepat di depan toko tersebut. Aku tengak-tengok kok tidak ada nama AKUN yang tertulis di depan toko itu, yang ada justru tulisan Toko SHERLY. Kutelpon Lily agar segera menjemputku. Tiba-tiba dari samping toko ada orang yang tertawa denganku. “Anchik…!” Begitu namaku disebut baru aku sadar bahwa itu Lily. Alamak….! Betapa kurusnya Lily yang sekarang sudah ada didepanku. Kami berpelukan tapi aku belum percaya melihat keadaannya sekarang. Lily yang di depanku berbeda 360 derajat dengan Lily teman sekolah dan teman asramaku dulu. Aku kaget melihat keadaan Lily. Masya ampun….kok bisa kurus kering begitu. Masih dengan keheranan kami ke rumahnya.
“Chik, aku ada masalah besar hari ini. Di rumah sekarang masih banyak saudara yang ngumpul. Nanti di rumah baru kita cerita,” kata Lily. Begitu masuk rumahnya, olala…semua orang duduk melingkar dengan wajah penuh ketegangan. Kusalami satu-persatu.
“Ini sudah obat rindukah ?” tanya Om Yus.
Aku hanya tersenyum, tak paham dengan istilah obat rindu. Rupanya itu adalah judul surat pembaca yang kukirim ke redaksi Flores Pos Jakarta. Setelah itu meluncurlah cerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi dua jam yang lalu. Kasus penipuan lewat telepon. Lily ditelpon bahwa suaminya, Pak Robert Indrajaya Samur kecelakaan di jalan tol, sedang kritis di RSCM. Kakinya patah, matanya keluar, otak berceceran. Dengan panik Lily meraung-raung sehingga semua yang ada di situ pun panik. Pak Robert memang hari ini ada meeting di Carefour Cempaka Mas, sedang hari biasa di Carefour BSD. Pokoknya kacau balau, apalagi HP suaminya juga tak bisa dihubungi.
“Ole Chik, aku sudah bayangin kami pasti pulang Ruteng, tapi siapa yang mau beli rumah ini ? Orang pasti takut ta diganggu bapaknya Indri,” kata Lily.
Semua saudara yang berkumpul di rumah siang itu sudah yakin bahwa Pak Robert pasti meninggal, sesuai dengan telpon orang itu. Om Yus bahkan sudah nyaris pesan tenda untuk dipasang di depan rumah, menunggu jenazah. Lily masih sempat tawar-menawar dengan si penelpon untuk mentransfer uang 1 juta sambil menunggu kabar dari pihak Carefour, tempat Pak Robert bekerja. Beberapa orang yang diminta untuk mentransfer uang tersebut sudah berangkat mencari ATM terdekat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ditelpon Pak Robert. Mereka berteriak menyebut nama Yesus, karena ternyata Pak Robert masih hidup. Sadarlah mereka bahwa ini semua adalah penipuan. Mereka langsung menelpon ke rumah dan mengabari Lily. Happy ending !!


Wajah-wajah tegang berubah senyum dengan kedatanganku. Sambil makan duku yang kubawa, mengalirlah semua cerita, flashback ….sambil tertawa gembira menunggu kedatangan Pak Robert. Lily menyiapkan beras dan air untuk upacara pemulihan yang dilakukan oleh Om Yus. Setelah doa-doa diucapkan oleh Om Yus, Pak Robert diguyur dengan air, tak tanggung-tanggung satu ember besar. Benar-benar membersihkan diri. Kami semua gembira. Mengalirlah cerita dari Pak Robert, bergantian dengan Lily, dan semua yang ada di rumah. Aku pendengar setia.
“Ole Chik, kalau tidak aku sudah jadi janda. Aku ingat, baru kemarin kita saling telpon, hari ini kau datang bertemu jenazah bapaknya Indri,” ujar Lily.
Akhirnya terungkap hal-hal kecil yang aneh seperti pesan Pak Robert sebelum berangkat, “Enu, eme momang aku, telpon ga siang-siang pas rehat meeting.” Cerita belum berakhir, para tetangga dan saudara yang baru pulang kerja langsung berkumpul di rumah, mendengar cerita flashback. Lalu diputuskan bahwa malam ini harus doa bersama dan adakan upacara “Keti Manuk Miteng” artinya pemulihan tubuh melalui ‘potong ayam hitam’. Dibelilah anak ayam, kemudian setelah doa-doa didaraskan untuk keselamatan Pak Robert dan keluarga, Om Yus sebagai orang tertua mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa Lio sebagai penolak bala, kemudian anak ayam itu dilepas di jalan. Maksudnya, biarlah anak ayam itu yang hilang sebagai korban, pengganti tubuh Pak Robert yang siang tadi sudah ramai dibicarakan orang, yang sudah divonis mati oleh orang yang menipu. Aku senyam-senyum karena yang hadir di rumah Pak Robert semuanya orang Manggarai, tapi yang mengucapkan mantra justru orang Lio. Tak apalah, maksudnya sama kok. Ini menunjukkan betapa erat ikatan kekeluargaan Flobamora di wilayah Tangerang.


Pukul 23.00 bubar. Masih ada beberapa orang yang melanjutkan cerita di teras bersama Pak Robert. Aku dan Lily mengambil posisi yang nyaman alias PW di sofa, dan mulai bernostalgia. Ketiga anaknya sudah tidur. Ada George yang santun sekali, ada Batistuta yang sedikit cengeng, dan si bungsu Claudia yang imut dan centil. Sedangkan Indri dan Ika sekolah di Ruteng bersama Mama Ndo, kakaknya Lily. “Hebat benar kau Li, bisa punya anak sampai lima orang. Aku satu pun belum,” kataku mengawali cerita kami. Sejak aku tiba, anak-anaknya Lily mulai akrab denganku.
“Tante temannya Mama ya ?” tanya George.
Si bungsu Claudia pun tak ketinggalan, “Tante kok mirip Mama Ndo.”
Aku menjelaskan pada mereka bertiga tentang persahabatanku dengan Lily dan keluarga di Hombel.


Tahun 1989, setelah lulus dari SPG Setia Bakti dan keluar dari asrama Susteran, aku diajak Lily tinggal di rumahnya sambil menunggu ijazah. Bapak Thias dan Mama Pau kuanggap sebagai orang tua angkatku. Kak Din yang saat itu sedang cuti melahirkan anak keduanya seperti kakak angkatku, sedangkan Thres, Upi, dan Yulti seperti adik angkatku. Hanya Kak Ndo yang belum kenal karena tinggal di Denpasar. Aku cukup mengenal keluarga ini dan merasa sedih karena harus berpisah.
“Bagaimana keadaan Bapak Thias dan Mama Pau ko ?” tanyaku.
“Mereka sekarang tinggal di Lembor. Rumah di Hombel untuk Upi dan keluarganya, yang bagian depan untuk Kak Ndo dan anak asramanya. Thres dan keluarganya di Karot. Yulti juga sudah berkeluarga dan tinggal di Karot,” cerita Lily.
Aku teringat si bungsu Yulti yang waktu itu baru kelas IV SD dan bercita-cita jadi dokter gigi. Eh, rupanya sekarang sudah jadi perawat di RS Ruteng. Upi sudah PNS.
“Aduh, rasanya kita sudah tua bangka juga ya Li. Dulu waktu kita di asrama semua orang menilai kita bertiga dengan Frinz sombonglah, apalah. Teringat kita rebutan makan lemet dari Romo Aci yang dulu cinta mati dengan Frinz. Eh, tahunya dia keluar juga dan malah kawin dengan Ely Supartan,” aku mulai membuka buku lama.
“Pantas Chik, dulu kan dia pernah bilang kalo dia jadi pastor kontrak lima tahun,” ujar Lily.
Kami pun mulai ngerumpi tentang Frinz dengan kedua lelakinya “Made “ dan “Aci”. Frinz tidak punya pacar di SPG, begitu juga Lily, karena mereka berdua sebelum berteman denganku ternyata sudah saling berjanji untuk tidak berpacaran dengan sesama siswa SPG SB. Makan tuh janji Non, biar naksir juga tapi gak mau menjilat ludah sendiri. Simon Helmon yang lumayan cakep suka dengan Lily tapi terpaksa Lily menahan perasaan karena sudah terlanjur janji dengan Frinz, akhirnya gigit jari melihat si Helmon mesraan dengan Ros Tewung. Aku, meskipun pernah ‘dekat’ dengan beberapa kakak kelas, dan terakhir dengan teman sebangkuku Sil Jeharung, tapi tetap tak bisa memisahkan persahabatan kami bertiga. Aku mulai akrab dengan Lily dan Frinz ketika kelas III dan pindah ke asrama susteran. Aku mendapat kehormatan semeja makan dengan para pengurus asrama. Lin Soleman ketua asrama, Lily wakilnya, Frinz ketua kamar makan. Lainnya aku lupa, pokoknya semeja makan itu hanya aku yang tak punya jabatan. Di sekolah kami beda kelas tetapi selalu bertemu saat istirahat. Penggemar kami adalah si Ingguk alias Pius Endo Nggenggo. Ini laki-laki paling baik se-SPG, setidaknya buat kami bertiga. Dimarahi, gak balas marahi, dicueki gak balas cuekin, yang ada dalam pikirannya mungkin yang penting bersama kami bertiga itu hebat. Hahaha… agak narsis, tapi kami memang trio yang sangat PD saat itu. Untung pacarku Kak Arkadius Bahri sudah lulus - lulus juga cintaku - sehingga tidak mengganggu kebersamaan kami bertiga. Aku dan Lily jelas jomblo, tapi Frinz masih ada Made dan Aci yang sama-sama mengharu-birukan perasaannya. Made adalah mantan gurunya di SMPN 1 Ruteng, dan Aci itu pastor yang saat itu jadi idola di Ruteng. Orangnya gak cakep, - kribo dan pesek - hanya punya talenta dalam bermain bahasa sehingga menyenangkan. Aku tak banyak tahu tentang Made, tapi kalau Aci emang cinta mati ama Frinz. Kami berdua Lily pun memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa makan enak. Lumayan juga sih kalo ada kiriman makanan dari pastoran yang diantar Tanta Fien pemasak paroki.
Di asrama kami sangat kompak, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan pelanggaran. Saat itu rasanya bangga banget bisa bolos dari asrama. Pernah kami bertiga bolos, eh bertemu Suster Maga di depan Imaculata, kami tutup dengan payung. Begitu sampai di asrama kami bertiga cepat-cepat ganti baju biar tidak ketahuan. Benar, Suster Maga entah memang lupa atau memaafkan kami, beliau tidak mengungkit lagi. Yang pasti beberapa kali kami mengulang tetap gak ketahuan sampai kami tamat. Bahkan kebiasaanku bersembunyi di kolong tempat tidur saat yang lain ke gereja pun tidak ketahuan sampai tamat. Banyak kenangan gila selama di asrama susteran saat itu. Aku dan Frinz punya rok hitam yang sama, padahal saat beli rok itu kami gak janjian (asli ). Rokku berumur panjang, sedangkan roknya Frinz hilang, entah siapa yang embat dari jemuran. Sialan juga tuh orang, iri hati kali lihat penampilan kami. Masih teringat juga waktu pernikahan Pak Yeremias Jehamat. Aku diminta untuk membantu dekorasi pelaminan. Saat itu Pak Yere baru baikan lagi denganku setelah kami musuhan waktu aku di kelas 2, gara-gara pas pelajaran beliau. Aku mesti cerita nih permasalahannya ya, biar nyambung…dengan kejadian selanjutnya. Pas pelajaran IPS, seperti biasa Pak Yere ngasih catatan. Ini guru paling malas berdiri saat ngajar, maunya duduk…aja sambil bacain materi untuk dicatat. Suatu hari (hahaha…kayak dongeng ) aku lupa bawa buku catatan sehingga saat beliau mendikte untuk teman lain, aku gambar-gambar di buku lainnya. Entah merasa dicuekin atau gimana perasaannya ngeliat aku sibuk sendiri, eh… disuruhnya aku ke perpustakaan. Jelas aku gak mau karena aku merasa punya hak untuk duduk di kelas, apalagi aku sama sekali tidak mengganggu orang lain. Mungkin beliau kesal dengan jawabanku, “Saya tidak mau, Pak. Kan saya bayar uang sekolah.” Langsung wajahnya merah dan berdiri, “Sekarang kamu pilih, kamu yang keluar atau saya yang keluar !”tanyanya. “Bapak yang keluar !” jawabku. Beliau kaget tapi karena itu pilihan dan sudah dijawab, maka keluarlah Pak Yere menuju ke ruang guru. Tanpa menunggu perintah, aku langsung melanjutkan tugasnya, membacakan materi sejarah untuk dicatat teman-teman sambil berjalan keliling kelas (seperti guru gitu), dan tengak-tengok ke luar. Eh, rupanya Pak Yere juga mengintip dari luar kegiatan kami di kelas. Mungkin dikiranya kami ribut atau bersukaria lainnya. Bel istirahat, Beny Bensy kembalikan buku-buku beliau. Bukan hanya itu, ada lagi masalah lainnya. Waktu aku sakit tenggorokan dan batuk-batuk, Pak Yere kira aku batuk main-main kali. Diteriakinya, “Samu, main gila, kamu !” Aku kesal sekali, dan berdiri sambil memukul meja, “Bapak kenapa selalu cari masalah dengan saya. Adel, saya batuk betul atau maen-maen ?” tantangku sambil bertanya pada Adelgonda Malti teman sebangkuku. Lagi-lagi beliau kaget dengan keberanianku. Sejak saat itu mau muntah rasanya aku melihat wajah Pak Yere (sungguh ! ). Aku berjanji pada diriku, meski kami bermasalah, aku tetap harus belajar yang serius pelajarannya supaya nilainya bagus, karena apabila sampai nilai di raporku tidak sesuai dengan hasil usahaku, aku akan protes. Apa yang terjadi ? Begitu kulihat nilai di raporku hanya 6, aku langsung mendatangi Sr. Inviola, menunjukkan semua nilai ulanganku (dalam buku ulangan IPS). Aku protes dan menceritakan semuanya pada Suster. Kami berhadapan lagi, dan dengan jiwa besar beliau meminta maaf padaku. Aku puas, meskipun tidak sempat bertanya apa yang menyebabkan beliau begitu sensitif melihatku. Dari kejadian ini aku berjanji, jika suatu saat aku jadi guru, aku tidak akan melakukan tindakan seperti guruku ini, balas dendam dengan memotong nilai siswa. Dosa lho.Kita kembali ke…dekorasi ! Nah, aku diminta bantuin dekor pelaminan di gedung patronat. Pak Yere datang izin ke Sr. Maga, tapi syarat dariku : harus bersama Lily dan Frinz. Soalnya sudah ada beberapa teman cowok yang ikut dalam kegiatan ini yang merupakan pasukan heboh seperti kami. Ada Sil Jeharung yang waktu itu sedang jatuh cinta denganku (maaf, kuanggap dia saudaraku), Stef Nyaman, Blasius Tap, Pius Endo, Piche, banyaklah. Betapa gembiranya Lily dan Frinz diajak keluar asrama dengan terhormat seperti itu (biasanya kami bolos…). Namanya sebagai penggembira, tugas mereka berdua ya gak jelas juga, yang penting rame dan heboh, apalagi makan dan minum terjamin. Malamnya pun ikut pesta. Seru…!Kami bertiga melewati hari-hari di asrama dengan riang gembira, meskipun banyak yang sirik dengan kami. Karena kelas kami berbeda, aku gak banyak tahu kegiatan mereka berdua di kelas. Tapi kalo soal IQ, kayaknya IQ aku masih lebih dari mereka berdua. Hahaha… pasti mereka berdua marah besar bacanya. Tapi faktanya, aku selalu masuk 3 besar lho. Mereka berdua ya… 5 ke bawahlah. Hahaha…emang enak…!


Cerita tentang lelaki yang bernama ACI. Si pastor centil ini cinta mati ama Frinz. Entah susuk apa yang dipakai Frinz sehingga membuat pastor muda ini tergila-gila padanya. Tapi kalo aku amati, Frinz sama sekali gak genit ama dia. Mungkin aura keimpetan Frinz yang membuat Aci terpesona. Hampir setiap sore, aku dan Lily menanti dengan penuh kerinduan semangkok lemet dari paroki. Frinz gak mau makan, tapi berdua Lily yang sikat. Kapan lagi to ? Maklum, anak asrama.Setelah ujian akhir, kelas 3 ret-ret di Mataloko. Seru… karena ini perjalanan yang jauh. Bagi Lily dan Frinz merupakan pertama kali jalan jauh (dasar orang kurang bergaul), tapi bagiku sudah tak asing lagi karena Mataloko ini tempat sekolahku dulu di SMPK Kartini. Hahaha… aku merasa asyik aja ngerendahin mereka berdua di tulisanku ini karena cuma aku yang bisa menulis kembali semua kenangan kami, mereka berdua tinggal membaca dan dilarang protes. UUD kami ber-3. Ret-ret dibimbing oleh Pater Marsel Lombe, OFM, Romo Frans Aci, Pr dan Pak Kon Mitang. Tiga serangkai kribo ini memang laris manis menjadi pembimbing ret-ret di Ruteng, bahkan di luar Ruteng. Materi dan teknik penyampaian mereka memang asyik dan menarik, ditambah joak dan gara-gara, lengkaplah. Selain itu kesempatan pula menebar pesona, karena beberapa tahun kemudian kedua pastor ini menanggalkan jubah alias keluar dan kabur ke Jawa. Tinggallah Mr. Mitang kribo merana seorang diri, tahan-tahan sebagai organis di gereja. Nasib …! Oya, selama ret-ret sempat juga ada masalah dengan Pak Yos Labu. Ini guru psikologi tapi paling reseh. Aku dan Frinz dibuat nangis tersedu-sedu, tapi akhirnya dia baikan ama kami dan berjiwa besar untuk meminta maaf pada kami. Dengan ingus masih ditarik-tarik, berdua Frinz makan semeja dengan beliau di malam terakhir sebagai tanda perdamaian. Lily lagi bernasib baik, luput dari masalah dengan si guru longkong itu. Lily sebetulnya sama gilanya dengan kami berdua Frinz, hanya tampang dia yang keibuan (ampo munafiknya luar biasa) dan penampilannya yang lebih feminin berhasil mengecoh para guru sehingga kesannya bahwa kami berdua Frinz yang ‘merusaki’ otaknya. Lily selalu bernasib ‘sedikit’ lebih baik dari kami, kurang mendapat teguran dan hukuman. Syukurlah dia !Seminggu sepulang dari ret-ret, kami bertiga diajak jalan-jalan oleh Aci ke gereja Taga. Saya boncengan dengan Om Daniel (pegawai Toko Buku Nusa Indah), Frinz seharusnya boncengan dengan Aci, tapi takut ketahuan orang-orang di jalan, jadilah boncengan dengan Lily, dan Aci seorang diri. Kalo diingat-ingat lagi, kami sebetulnya gak jelas tujuan hari itu. Di Taga hanya numpang lewat doang, gak ngapa-ngapain, keliling terus pulang ke asrama. Dasar Aci gila, kami juga jadi ikutan. Tapi sempat ditraktir makan sih siang itu. Yang penting rame ajalah. Aku dan Lily adalah penggembira, ditambah Om Daniel.Perpisahan yang menyedihkan antara kami bertiga di asrama. Aku masih sempat tinggal di rumah Lily beberapa minggu, sedangkan Frinz pulang ke Pagal. Sekembali ke rumahku, tanggal 3 Juni aku terbang ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah di Malang (rencana awal). Lily melanjutkan kuliah di Denpasar bersama Kak Ndo. Frinz ? Belum ada kabar. Hubungan dengan Lily masih berlanjut lewat surat, karena sebelum berpisah aku memberikan alamat kos kakakku di Malang. Komunikasi kami terus berjalan, sedangkan dengan Frinz terputus. Kami tak tahu alamat terakhirnya. Baru beberapa bulan kemudian, kuterima surat dari Frinz yang ternyata kuliah di Lombok. Rupanya dia sudah menghubungi Lily. Terjalin kembali komunikasi antara kami bertiga. Rasanya bahagia sekali walau hanya lewat surat.


Tahun 1990, aku pulang libur untuk menjemput Elson. Dari Yogya aku naik bis ke Denpasar. Oya, aku terus gak jadi kuliah di Malang tapi pindah ke Yogya dan kuliah di Sanata Dharma. Di Denpasar aku nginap di kos Lily, bertemu dengan Kak Ndo dan Kak Obet (pacar Lily), ada juga si Ingguk alias Pius Endo (kutu kupret yang masih setia mencintai kami bertiga dalam segala keadaan). Pulang dari Flores bersama Elson, kami mampir di kos Lily lagi. Sialan, waktu itu uangku kurang. Untung ada dewa penolong…INGGUK. Dia meminjamkan uang untuk kami berdua Elson ke Yogya. Kak Obet setia mengantar kami sampai naik bis ke Yogya. Tahun 1993, aku pulang libur karena ayahku masuk rumah sakit. Naik bis dari Yogya ke Denpasar tapi tidak mampir Lily, dan sampai di Sape saat berdesak-desakan berebutan tempat duduk di kapal ferry, eh…kok ada suara mirip Frinz. Begitu dia balik (tadinya lagi tunduk nungging-nungging gitu), hah…?? Kami berpelukan seperti teletubies. Perjalanan jadi rame dan heboh. Gak nyangka kami bertemu di kapal. Tiba di Ruteng sudah tengah malam, aku pun ikut nginap di rumah Bapak David Dapit (bapa tuanya Frinz). Masih terus heboh dan seru…!Rupanya itu pertemuan kami yang terakhir. Kami hanya kontak lewat surat dan hanya berlangsung hingga tahun 1994. Setelah itu dengan Lily pun kami kehilangan kontak meskipun aku tahu dia dan keluarga di Jakarta. Sibuk dengan urusan pribadi, keluarga dan karier masing-masing. Hingga akhirnya aku punya ide untuk mengirim surat kepada redaksi Flores Pos Jakarta, mencari tahu keberadaan Lily. Puji Tuhan, harapanku terkabul, akhirnya kami bisa bertemu kembali. Seminggu setelah aku berkunjung ke rumahnya, kunjungan balasan Lily dan Claudia ke rumahku. Dengan bangganya dia membawa pudding bikinannya. Enak juga, bukti dia ibu rumah tangga sejati. Hebat, bukan hanya jago bikin anak (5 orang bo…) tapi juga jago masak.


Tentang Frinz ??? Mei 2006 (sebulan setelah aku ‘menemukan’ Lily), ada sms masuk. “Chiek, lagi ngapain ? Masih ingat Ping ?” Langsung kutelpon dia. Tuhan, Kau membuat segalanya indah pada waktunya. Kami ngobrol…melepas kerinduan walau hanya lewat hp. Dia tahu nomor hp-ku dari Kak Yasin (teman gurunya di MGMP). Komunikasi kami kembali terjalin. Tak lama setelah itu ada sms dari teman kami lainnya, Yan Empang. Nama ini agak asing di telinga dan ingatanku karena dulu bukan teman akrab, hanya satu angkatan saja. Dia begitu mengenalku, tapi aku sama sekali tak punya bayangan tentang dia meskipun dijelasin Frinz sedetail-detailnya. Namun tidak mengurangi rasa hormatku padanya, kami sering berkomunikasi via sms.


30 Januari 2008, aku kirim sms untuk Frinz menanyakan teman-teman dan guru-guru yang mungkin dia tahu atau bertemu di Ruteng. Balasannya pada pukul 13.45 (masih tersimpan di hp-ku), “Ancik maaf aq br baca smsmu. Aq gak tau kbr Lin. Pak Sabinus di Rtg, Pak Yere jg aq srg ketemu.” Rupanya ini adalah sms terakhir Frinz untukku, karena ….


Jumat, 8 Februari 2008 pukul 09.00 WIB ada sms masuk dari Yan Empang. “Ibu Sis , teman kita Ibu Frinz Jelita sudah meninggal di RS Ruteng jam 09.00 WITA.” Darahku serasa mau berhenti mengalir (sungguh !). Aku kaget dan tak percaya. Segera kutelpon ke nomor Frinz sendiri, masuk…dan suara perempuan. Frinz-kah ? Ternyata suara Ilon adiknya. “Betul Ibu, Kak Frinz sudah pergi.” Aku berteriak kencang di kamarku (suamiku sudah berangkat kerja, aku masih libur Imlek). Aku protes pada Tuhan, tak percaya dengan berita ini. Aku cari nomor telpon rumah Lily, kutelpon gak masuk . Aku benci dengan kenyataan ini. Aku hubungi hp suami Lily, tidak diangkat. Tuhan, kenapa jadi susah menghubungi Lily ? Kutelpon Yan Empang minta dia segera ke rumah Frinz, karena aku ingin tahu cerita penyebab kematian Frinz. Satu jam kemudian baru bisa terhubungi nomor hp Kak Robert. Lily di rumah pun bisa dihubungi. Aku dan Lily hanya bisa menangis di telpon. Aku sempat menghubungi suami Frinz, tapi gak tega mendengar suaranya yang lemah. Aku jadi stress, dan kakiku kedinginan, gemetar. Kutelpon suamiku dan menceritakan berita itu. Aku sedih, aku tak percaya. Tuhan, mengapa Kau ambil dia sekarang. Bayinya baru berumur 3 bulan. Kak Yasin menelponku, dikira aku belum tahu berita duka itu. Padahal seminggu yang lalu saat Merlin (anaknya Kak Yasin) pulang libur ke Ruteng, sebetulnya aku ingin menitip sesuatu untuk Frinz. Tapi waktu itu aku bingung mau dikasih apa, khawatir terlalu berat nanti merepotkan Merlin. Sehari setelah Merlin nyampe, Frinz meninggal. Andaikan aku jadi mengirim sesuatu, pasti langsung dibawa juga ke kuburnya.
“Li, untung juga ada si Empang itu ya. Gak sia-sia juga Frinz kasih no hp-ku ke dia. Kalo gak, bisa jadi kita gak tahu Frins meninggal kan ?”
“Iya, Chik. Berdosa juga lu kagak ingat-ingat wajahnya tapi lu yang dihubungi pertama.”
Mungkin Tuhan sudah mengatur semuanya. Frinz memberi no hp-ku pada Yan sehingga saat dia meninggal, Yan-lah yang mengabari aku dan Lily. Terima kasih Tuhan ! Selamat jalan Frinz, selamat jalan sahabatku. Kami akan tetap dan selalu mengenangmu...

REUNI


‘massage … massage … massage …’
Nada pesan dari hp-ku berteriak minta segera dibaca. Segera kubuka, eh … dari Febriyanti, teman kuliahku dulu.
Undangan : Temu alumni Sadhar, 24 Agustus 2008 di Kanisius Menteng. Jam 09.00 registarsi, jam 10.00 misa. Daftarkan ke Martono 0813…. Atau via email usd.com.

Reuni ? Ada perasaan rindu ingin bertemu teman-teman kuliah, terutama yang sekelas, namun terselip rasa cemas bertemu mantan kekasihku. Sejak kami putus hubungan, jika dia juga datang pada reuni nanti, inilah pertama kami bertemu lagi, setelah 12 tahun berpisah.
Iyeng. Dia teman seangkatanku tetapi kami beda kelas. Kami hanya bertemu saat mengambil mata kuliah umum. Dia cakep namun kurang popular karena pendiam. Mungkin di kelasnya dia didekati banyak cewek, tapi di kelasku nama itu tak pernah dibicarakan. Aku pun mengenal dia ‘sambil lalu’ saja karena bagiku tak penting. Masih banyak teman cowok di kelasku yang asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda seperti Nunung, Bardoyo, Nursalim, Lumbantoruan (si Batak jelek itu), Susmana, Surya, Sugeng, Tukan, Rudi, Widi. Pokoknya teman sekelasku is the best-lah.

September 1991 di Asrama Retnowulan Tukangan.
Iyeng dan temannya datang bertemu Yuli, teman se-asramaku yang berasal dari Kal-Bar. Karena letak kamarku paling depan, persis bersebelahan dengan ruang tamu, praktis saja setiap bunyi bel, kepalaku yang nongol duluan ke luar, melihat siapa tamu yang datang, dan berbasa-basi, layaknya seorang penerima tamu.
“Eh, mau bertemu siapa ?” sapaku.
“Kamu tinggal di sini juga ?” tanyanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Iya. Emang kenapa ?” balasku cuek.
“Gak apa-apa. Yuli dan Anna ada ?” tanyanya.
“Ada. Masuklah, ntar aku panggilin,” jawabku sambil mempersilahkan mereka duduk, lalu berlari ke belakang memanggil Yuli dan Anna.Setelah itu aku kembali ke kamarku, asyik mendengarkan musik dan tertidur.
“On, bukain. Yuli !” teriak Yuli dari luar sambil menggedor-gedor pintu mengagetkanku. “Eh, kau kenal sama si Iyeng ? Katanya kalian seangkatan ya ? “ tanya Yuli dengan semangat 45.
“Iya, seangkatan tapi beda kelas,” jawabku tak bergairah.
“Tadi dia cerita kalo sering ketemu di kampus tapi gak tahu kalo kamu tinggal di asrama sini juga. Dia mau ngajak kita ikut presentasi Forever Young di hotel Santika minggu depan. Ikut yuk !” jelas Yuli dengan bawelnya yang mana tahan.
Aku kurang menyukai hal-hal yang berbau MLM (Multilevel Marketing) atau presentasi bisnis apa pun. Menurutku buang-buang waktu dan tenaga saja. Dikirim untuk kuliah kok malah berbisnis yang gak jelas.
“On, hari Jumat ada acara nggak ?” tanya Iyeng setelah kami mengikuti kuliah Seminar Sastra. Aku tak langsung menjawab karena masih terperangah, angin apa yang membawa dia melangkah ke tempat dudukku, sementara sebelumnya kami tak pernah akrab. Apa dia mulai sok akrab dalam rangka mengajakku berbisnis ?
“Kata Yuli coba tanya kamu, barangkali mau diajak ikut,” jelasnya.
“Enak aja, emangnya aku cewek apaan ?” balasku bercanda. Dia lalu duduk di sampingku dan menjelaskan bisnis yang sedang diikutinya itu dengan penuh antusias. Aku diberi sample produk bisnis tersebut. Ada balsam, juga madu. Nah, ini yang aku suka. Ikut gak ikut, yang penting dapat gratis produknya. Lumayan, untuk persediaan.
“Kalau rame-rame aku mau ikutan,” kataku sambil menatapnya.
“Iya, nanti bareng Yuli, Anna, dan teman kosku,” balasnya.
“Ok. Trus berangkatnya gimana dong ?” tanyaku.
“Nanti aku samperin ke asrama kalian, deh !” jawabnya dengan nada yang sangat meyakinkan. Aku membayangkan, betapa niatnya orang ini berbisnis. Apa hidupnya terlalu susah atau ikut trend saja. Kos-nya dekat kampus, sedangkan asrama kami di dekat Malioboro, hotel Santika di jantung kota, yang berarti dia harus mengeluarkan ongkos ke tempat kami, kemudian ke hotel Santika. Ah, biarin, kan dia yang membutuhkan kami. Resiko orang berbisnis adalah siap rugi, dan buang ongkos.

Awal yang mendekatkan hubungan kami. Yuli dan Anna mendadak ada kegiatan di kampus. Maklum, mereka berdua anggota MENWA di kampus. Akhirnya aku berangkat berdua Iyeng. Dua jam mengikuti acara presentasi yang membosankan, membuatku ingin cepat pulang saja. Dia mengantarku pulang naik becak. Ternyata dia asyik juga untuk ngobrol. Sepanjang jalan kami bercerita tentang hobi, teman kampus, daerah asal, macam-macamlah.

Kedekatan kami semakin terjalin setelah beberapa kali aku diajak ikut acara perkumpulan keluarga mahasiswa Kal-Bar. Dia menjadi sahabat, saudara, dan kakak bagiku. Ke mana pun, kami selalu bersama. Dengan teman-teman kos-nya pun akrab dan kami merasa saudara senasib di perantauan. Ada Bang Luther, Gory, Yakob. Robin, Nomen, Seno, Louis, dan Lodji. Aku merasa nyaman bersamanya. Nonton konser musik di PML Kotabaru, ke gereja minggu pagi, ke kampus, ke perpustakaan, ah … pokoknya selalu berdua. Bahkan kami sepakat untuk menulis kegiatan kami masing-masing di buku diary kecil yang sama bentuknya, untuk kemudian saling tukar membacanya saat kami bertemu. Rasanya indah sekali persahabatan kami. Anas, teman sekelasnya yang jatuh cinta mati dengannya begitu geram dan cemburu melihat kedekatan kami. Aku tak merasa menyakiti Anas karena menurut pengakuan Iyeng, antara mereka tidak ada hubungan khusus, hanya teman biasa. Hubunganku dengan Iyeng pun sahabat, ya sahabat. Kami saling mendukung, saling mengingatkan. Kami sama-sama suka menulis. Bedanya, dia suka menulis resensi, sedangkan aku suka menulis cerpen atau hal-hal ringan.

Setahun sudah persahabatan kami. Tiba-tiba …
“On, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” katanya suatu sore saat kami duduk di teras rumah kontrakanku.
Oya, aku pindah dari asrama karena mengontrak rumah bersama kedua adikku.
“Mau ngomong apa, sih ?” tanyaku.
Tak biasanya dia bersikap seperti itu. Duduk tak tenang, resah, dan gelisah. Pikirku, mungkin ada masalah penting yang akan diceritakannya, tentang keadaan keluarganya ; ayahnya yang sedang sakit-sakitan, atau adiknya Seno yang sedang sensitif gara-gara belum bisa kuliah, atau abangnya Ius yang mau menikah.
“Sini, deh !” sambil menarik tanganku dan masuk ke ruang tamu.
Aku semakin bingung. Kami duduk bersebelahan.
“Mungkin ini hanya perasaanku, On. Tapi kedekatan dan kebersamaan kita selama ini membuatkau merasa bahwa aku sudah mulai menyanyangimu lebih dari sahabat. Aku jatuh cinta padamu, dan aku tak dapat menahan perasaan ini, ingin segera mengungkapkannya padamu,” jelasnya sambil memeluk dan menggenggam erat tanganku. Aku terhenyak, kok seperti di sinetron sih. Aku diam, tunduk, kemudian menjatuhkan kepalaku di pangkuannya.
“Ini yang aku takutkan, Yeng ! Aku ingin kita bersahabat saja. Aku takut kita saling jatuh cinta karena aku takut putus cinta,” keluhku.
“Ini manusiawi, On. Kedekatan dua manusia berlawanan jenis bisa menimbulkan perasaan lain di luar persahabatan. Aku tak dapat membohongi perasaanku. Kita jalani saja sambil belajar,” tegasnya.
Pelukan hangatnya menyadarkanku bahwa mungkin betul juga apa katanya, ‘kita belajar’. Belajar mencintai, belajar menyayangi lebih dari sahabat.

Kami menjalani hari-hari dengan penuh sukacita setiap bertemu. Adik-adikku mulai akrab dengannya, begitu pun adiknya. Kegiatan kuliah pun kami ikuti dengan semangat karena satu niat, ingin segera lulus. Banyak hal positif yang aku belajar dari kebersamaan kami, salah satunya masalah tidur. Aku bukan seorang yang mengidap insomnia tetapi kadang-kadang sulit memejamkan mata mekipun sudah berjam-jam di tempat tidur.“Saat kamu memejamkan mata, pikirkan satu hal saja; ‘aku mau tidur’, pasti kamu bisa langsung nyenyak, di mana dan kapan pun, “ katanya.Kalimat itu selalu terngiang ketika aku ingin tidur sehingga bukan hanya di tempat tidur empuk aku bisa dengan mudahnya nyenyak, tetapi di bus umum yang ramai dengan suara pengamen pun aku bisa tidur dengan nyenyak, damai, dan nyaman sampai termimpi-mimpi.

Masih seperti saat kami sebagai sahabat, aku selalu apa adanya dan tak pernah munafik dengannya. Aku bisa benar-benar marah, tidak berbasa-basi, atau berpura-pura.
“On, kamu itu apa adanya ya,”katanya.
“Maksudmu ?” tanyaku.“Kalau marah, ya marah. Kalau gak suka, ya kelihatan, tetapi perhatian,” jelasnya.
“Ah, gombal,” jawabku.
Memang itulah sifatku. Kami terus belajar saling memahami pribadi masing-masing.

KKN tiba. Kali ini Iyeng yang duluan mengikuti program KKN. Aku mendukungnya dengan ikut bantu membuatkan topi rajutan pesanan orang-orang di dusun tempat KKN-nya, setelah mereka melihat contoh topi yang dipakainya. Seminggu di lokasi KKN, aku mengunjunginya, tiga hari setelah ulang tahunnya dengan membawa kado Alkitab. Religius bo ! Tapi kulihat tatapannya beda. Ah, mungkin dia sedang lelah, pikirku positif.
“On, ada cewek yang suka denganku,” ceritanya sambil tersenyum. “Waktu ulang tahunku dia datang, khusus bawakan kue ulang tahun. Sama-sama teman KKN, tapi dia di dusun lain,” lanjutnya.
“Terus Abang suka gak dengan dia ?” tanyaku.
“Gak-lah. Biasa… teman aja. Mungkin dia ngefans denganku,” jawabnya.
“Kalau Abang juga suka, gak apa-apa. Kita bisa jadi sahabat kembali kok,” tegasku.
“Gak-lah. Jangan dipikirin !” balasnya sambil membelai kepalaku.
Hari mulai sore, dia mengantarku pulang.
“Sejak kapan Abang bisa naik motor ?” tanyaku heran.
“Ya, seminggu inilah aku belajar,” jawabnya.
“Hati-hati ya Bang, aku gak mau mati tidak terhormat di pinggiran hutan begini,” kataku dengan nada bercanda.
Hebat juga orang ini, seminggu langsung lancar. Teringat waktu kami champing di Kali Kuning, betap susahnya mencari cowok yang bisa memboncengi, karena salah satunya, Iyeng yang berbadan tegap ternyata tak bisa mengendarai motor. Terpaksa kami boncengan bertiga dengan Lodji. Untung badan Lodji mungil sehingga agak nyaman selama perjalanan.

Aku kembali menjalani hari-hari dengan penuh kegiatan. Harusnya dua minggu sekali mahasiswa KKN boleh pulang ke rumah atau kos, tapi Iyeng kok tak pernah pulang. Aku masih tetap berpikir positif tentang dia dan kegiatannya.
“On, si Iyeng gak mampir ke rumahmu ?” tanya Bang Luther ketika aku mampir ke kos mereka sepulang dari perpustakaan kampus. “Kemarin seharian dia pulang, katanya sama teman. Aku kira dia mampir ke rumahmu,” lanjut Bang Luther.
Aku tak menjawab, hanya terus berpikir, jangan-jangan benar dia sudah jadian dengan teman di KKN itu lalu sama-sama pulang ke Yogya, nontonlah, apalah, dan cuek denganku. Tapi apa iya sih dia setega itu denganku ?
“On, kamu masih sama Iyeng ?” tanya Retno, teman selokasinya saat kami bertemu di perpustakaan kampus.Belum sempat kujawab, “Dia udah jadian sama Ika lho, sudah sering pulang berdua dari lokasi ke Yogya,” lanjut Retno.
Aku hanya terdiam, setengah tidak percaya. Haru biru perasaanku. Inilah yang aku takutkan, punya pacar lalu disukai cewek lain. Retno masih dengan semangat menceritakan semua yang dilihatnya di lokasi KKN tentang Iyeng dan Ika, seolah-olah tak memikirkan perasaanku. Aku masih menghibur diri, ah .. boleh jadi Retno cemburu, iri, dan hanya memanas-manasi aku karena Iyeng pernah cerita bahwa Retno juga suka dengannya. Aduh pusing juga ! Aku ingin mendengar sendiri pengakuan dari mulut Iyeng. Tapi mana ada maling yang mau mengaku, penjara bisa penuh dong !

Sabtu siang, ketika melintasi gang Argulo hendak menuju rumahku, kulihat Iyeng duduk di teras rumah orang. Rumah siapa itu ? Untuk apa dia ke situ ? Bukankah tugas kelompoknya sudah dikerjakan di ruang tamu kosnya hari minggu lalu ? Aku belok ke arah sungai menuju rumah binatu-ku dulu yang persis di sebelah rumah itu dan menanyakan siapa pemilik rumah yang sedang ditongkrongi pacarku itu.
“Oh, itu rumahnya Mbak Ika, yang kuliah di Sadhar,” jawab si ibu.
Darahku serasa mendidih. Tanpa banyak bertanya lagi aku kembali ke kos Iyeng dan menunggunya di sana. Aku ingin tahu kejujurannya. Bila berbohong, bagiku lebih baik putus sekarang daripada makan hati berkepanjangan.
Beberapa jam kemudian, pulanglah dia ke kos. Dia tak menyangka bahwa aku sedang menunggunya di ruang tamu kosnya.
“Bang, aku mau bicara,” kataku sambil menarik tangannya, setengah memaksa, mengajak ke kamarnya. Di sana ada Seno, adiknya. Mungkin merasa tak enak, Seno keluar, tetapi kutarik tangan Seno.
“No, jangan pergi ! Aku ingin bicara di depanmu juga,” tegasku.
“Ada apa sih, On. Kita minum es teh saja, yuk. Panas banget nih,” kata Iyeng.
“Gak ! Aku hanya mau tahu,apa betul Abang sudah jadian dengan si Ika,” tanyaku.
“Bicara apa kamu, On ? Pasti kamu dengar semua dari si Retno ya. Dia itu cemburu dan iri sama kamu. Dia tak suka dengan hubungan kita,” jelas Iyeng sambil duduk di kursi yang membelakangiku.
“Semua cerita Retno itu benar. Barusan dari mana kamu ? Ngapain kamu nongkrong di teras rumah si Ika ?” tanyaku sambil menarik wajahnya agar berhadapan. Dia kaget. Wajahnya merah. Kutantang matanya. Ada kebohongan di matanya, dan itu sangat kelihatan. Niatku, jika dia berbohong akan kutampar mulutnya.
“Gak, On …”
Plakkk ! Spontan tanganku melayang ke mulutnya. Ampun, aku benar-benar sudah menampar mulutnya ! Mulut seorang pembohong ! Dia berdiri, mungkin hendak membalas tetapi segera dicegat Seno.
“Kalau kau jujur itu lebih terhormat. Aku sudah siap untuk memutuskan hubungan kita. Kau boleh melanjutkan hubunganmu dengan Ika. Tapi ingat, jangan permainkan anak orang ! Jangan sok playboy deh ! Bangga ya, banyak cewek yang suka sama kamu,” kataku sambil menatap tajam ke matanya.
“On, ibuku saja belum pernah menamparku,” katanya.
“Ya, iyalah, karena ibumu tak pernah tahu tingkah lakumu di sini,” balasku.
“Sudah. Sudah ! Kalian ini gimana sih ? Kenapa harus jadi begini ?” sela Seno.
“Abangmu ini yang kelewatan. Aku diminta bantu kerja tugasnya, sementara dia enak-enakan pergi pacaran sama cewek lain,” jelasku geram dan dengan nada sinis.
Iyeng diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkannya, aku tak mau tahu, dan keluar, lalu kembali ke rumahku. Aku tidak menangis saat itu, tidak juga menyesal telah menamparnya. Aku justru merasa puas, sudah membongkar kebohongannya. Dalam perjalanan pulang aku teringat sebuah kalimat nasihat dari cerita yang pernah kubaca, “Jika ingin melupakan seseorang yang dicintai, ingatlah semua hal buruk yang pernah dilakukannya, atau sifat-sifat buruk yang dimilikinya. Daftarkan semuanya !” Mungkin ini yang sangat membantuku melupakan semua kenangan tentang Iyeng. Kesimpulannya, kami memang tidak berjodoh !

Hari ini, di reuni, apakah Iyeng juga datang ? Minggu, 24 Agustus 2008, pukul 08.00, berdua suamiku, kami naik taksi menuju sekolah Kanisius Menteng. Pukul 09.00 setelah registrasi, ngobrol dengan teman seangkatan ; Febriyanti yang datang dengan putrinya karena suaminya bukan dari Sadhar, Sugeng sendirian karena istrinya meskipun dari Sadhar tetapi tinggal di Yogya, dan banyak teman dari jurusan lainnya. Pukul 10.00 misa di aula Kanisius. Usai misa dilanjutkan dengan acara makan siang. Berdua suami memilih berdiri sambil bersandar pada tembok di samping meja prasmanan. Masih ramai juga yang berdatangan.
“Itu si Iyeng datang,” kata suamiku mengagetkanku. “Gimana perasaanmu, takut ketemu dia ?” tanyanya menggodaku.
“Ah, biasa aja lagi,” jawabku sambil tertawa.
Tak lama kemudian ada seseorang yang mengulurkan tangan ke arahku setelah bersalaman dengan suamiku. Kuangkat wajahku, dia … Iyeng.
“Hai, apa kabar ?” sapanya tersenyum sambil menyalami tanganku dengan erat.
Belum sempat kujawab, istrinya – Ika – menyusul menyalamiku dengan ramah. Mereka terus berlalu untuk mengambil makanan bersama kedua anaknya.
Aku dan suami pun meninggalkan tempat itu, berpindah untuk mengambil buah, minuman, dan pudding. Setelah itu kami masuk kembali ke aula untuk melanjutkan acara lepas kangen.
“Tinggal di mana ?” tanya Iyeng yang ternyata sudah duduk di dekat kami berdua Febriyanti.
“Di Bekasi,” jawabku singkat.
“Aku juga di Bekasi, Harapan Indah. Kamu di Bekasi mana ?”
“Taman Kebalen Indah, Bekasi Utara.”
“Trus ngajar di mana ?”
“Di SMPK IPEKA Puri, Jakarta Barat.”
“Wah, jam berapa berangkat dari rumah ?”
“Jam lima.”
“Duh, jauh juga ya.”
“Ya, gitu deh. Namanya juga cari makan.”
Obrolan, lebih tepatnya tanya jawab kami terpotong karena ada seorang alumnus yang bertanya, dan dia berdiri untuk memotretnya.

Di luar sudah ramai. Banyak yang keluar mengambil minum dan snack. Suamiku ke toilet. Aku masih ngobrol dengan Ibu Sumaryati, teman guru semasa di sekolah Kanaan. Begitu aku ikut keluar, kulihat suamiku sedang berdiri ngobrol dengan Iyeng. Hah ? Aku tak langsung bergabung dengan mereka berdua tetapi memilih ngobrol dengan Nunung, Sugeng, dan Mas Basuki. Iyeng mendekatiku dan menanyakan teman lainnya.

Pukul 15.00 berdua suami pulang. Sepanjang perjalanan kami sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku membayangkan saat kuliah Ilmu Sastra di kelas Pak Sudewo, aku duduk diapiti Iyeng dan lelaki yang kini menjadi suamiku. Teringat mereka berdua ngobrol tadi, aku tersenyum sendiri. Dulu, mereka berdua mengapitiku ; yang satu pacarku, yang satu temanku seasal. Kini, yang dulu teman seasal menjadi suamiku, sedangkan yang dulu pacarku, kuputuskan menjadi saudaraku. Iyeng, you are my brother !

Reuni yang berkesan. Aku berdamai dengan perasaanku, menghapus segala kebencian dengan senyuman persahabatan. Sanata Dharma yang mempertemukan kami, memisahkan kami, dan kini menyatukan kami kembali dalam kasih persaudaraan. Oh, indahnya sebuah reuni. Kapan lagi ya ?

“Kita tidak dapat memaafkan bila kita tidak menyadari bahwa kita butuh pengampunan, dan pengampunan adalah permulaan dari cinta."

Chairil Anwar Room, 25 Agustus 2008