”Kalau Bapak tahu merokok itu tidak baik, Bapak jangan merokok to, supaya saya juga tidak merokok.”
Menegur dan melarang itu lebih mudah daripada memberi contoh. Itu yang aku rasakan. Aku terlahir sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara. Bapakku PNS dan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kata orang-orang, ‘bakat’ nakalku sudah kelihatan sejak kecil. Dengan kakak laki-laki yang tertua, kami selalu kompak. Dalam kegiatan apa pun, dia otaknya, dan aku pelakunya. Asal tahu saja, di mana-mana, dalam kasus apa pun, pasti pelakunyalah yang selalu kebagian sialnya. Itulah yang aku alami. Nasib…nasib !
Bapak sangat keras dalam mendidik kami. Beliau sepertinya benar-benar melaksanakan apa yang tertulis dalam Amsal 19 :18, “Hajarlah anakmu selama ada harapan,tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” Akulah yang selalu menjadi sasaran, sampai-sampai aku pernah berpikir, jangan-jangan aku bukan anak kandung mereka. Mama meski kadang-kadang mengompori Bapak yang sedang memarahiku, tetapi diam-diam beliau menangisi nasibku.
“Pian, kau merokok ko ?” tanya Bapak.
“Eee, siapa yang rokok la,” jawabku berkelit.
“Lalu puntung rokok yang barusan Bapak lihat di kamar mandi setelah kau keluar itu siapa punya ?”
Aku kaget setengah mati. Betapa bodohnya diriku menjawab tidak, sementara Bapak baru menemukan puntung rokok dan mencium bau rokok di kamar mandi persis setelah aku keluar. Alamak ! Akhirnya dengan sedikit malu dan ketakutan aku pun mengakui, dengan harapan jika mengakui begitu tidak bakal dihajar. Rupanya dugaanku meleset. Aku dihajar. Mama membela tapi Bapak tetap dengan gaya otoriternya, menganggap dirinya paling berkuasa sejagat.
“Pian, kau masih kecil lo’o sudah merokok. Macam kek kau sudah punya doi ee… ”
Kalimat itu tersimpan dalam-dalam di otakku. Itu artinya jika suatu saat aku sudah punya uang sendiri, boleh dong merokok, pikirku.
Di SMA, sekeluarnya dari seminari Mataloko, aku mencoba bekerja, membantu orang di bengkel sepulang sekolah. Uang yang kudapat untuk apa lagi kalau bukan untuk beli rokok dan minum dengan teman-teman. Aku mau buktikan bahwa setelah punya uang sendiri aku boleh merokok, karena bukan anak kecil lagi. Sepulang sekolah jalan-jalan bersama teman, merokok dengan bebas. Aku pikir jika merokok sambil nongkrong di pasar pasti tidak bakal ketahuan Bapak, karena sepanjang hidupku aku tahu Bapak itu tidak pernah mau ke pasar. Rupanya hari itu sial bagiku. Sedang asyik-asyiknya merokok, Bapak lewat dan melihat jelas gayaku merokok. Aku diam seribu bahasa dan sangat gugup. Mati aku !
Sepulang ke rumah aku masih diam sambil menanti saat ‘diadili’ Bapak. Mungkin terlalu sibuk, beliau lupa. Aku bisa bersorak malam itu. Esoknya juga belum dipanggil. Nah, malam berikutnya kami diabsen satu-persatu sambil menyindir.
“Bagus e, sudah besar o sekarang, sudah ada doi sendiri, sudah bisa beli rokok. Hebat sekali saya pu anak,” kata Bapak dengan nada yang sangat tidak enak didengar.
“Eh, jangan hanya omong anak, lihat diri sendiri dulu tuh,” timpal Mama membelaku.
Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba aku tantang Bapak. “Kalau Bapak merasa merokok itu tidak baik, Bapak jangan rokok to, supaya saya juga tidak rokok.”
Bapak kaget, terpana, dan langsung diam.
“Lihat, itu anak su pintar. Jangan lagi hanya tahu larang anak. Bapak juga kasih teladan to,” Mama mengingatkan Bapak yang terdiam bisu sejak tadi.
Perkara kami pun selesai tanpa hajaran dan kekerasan fisik. Lalu beberapa bulan kemudian di tengah malam, ‘tok,tok,tok’ suara ketukan di pintu kamarku.
“Masuk sajalah …,” jawabku.
“Walah Pian, minta satu batang la…” bisik seseorang dari balik pintu kamarku. Aku tahu itu suara Bapak.
“Sei kena ?” tanyaku berpura-pura.
“Ale, kau terlalu la. Ini kau pu Bapak la…!” bisiknya.
Hahaha… akhirnya kami jadi ‘teman’ dalam menikmati asyiknya merokok. Bapak tidak pernah marah lagi soal rokok karena selain aku sudah bisa beli dengan uang sendiri, Bapak juga bisa minta jatahnya. Tetapi soal kenakalan yang lain, dan urusan kayu bakar, Bapak masih tetap galak. Setiap sore kami harus mencari kayu bakar. Kadang aku pikir orang tuaku seperti zaman VOC, kerja paksa. Kalau kayu bakar di dapur sudah habis, Mama akan ‘memerintah’ dengan halus melalui keluhan.
“Ole, malam ini kita tidak bias makan le. Mau masak pake apa, tidak ada kayu bakar satu batang pun,” kata Mama.
“Pian, dengar tidak apa yang kau pu Mama bilang ?” teriak Bapak sambil menurunkan kacamatanya.
Tanpa bantahan, aku langsung pergi cari kayu bakar. Itu rutinitas sejak SD hingga SMA. Sempat bebas satu tahun ketika aku sekolah di seminari. Tapi karena aku memang berjodoh dengan urusan kayu bakar sehingga hanya bertahan satu tahun di seminari, kembalilah aku ke alam yang penuh derita. Nasib !
Dalam keluarga aku merasa dirikulah yang paling sial, yang selalu dijadikan kambing hitam. Kulitku memang hitam, dan ternyata hitam pula citraku. Itulah aku, PIAN da GOMEZ.
Kini, setelah aku dewasa dan mulai tua, aku sadar bahwa semua yang pernah aku alami menjadi kenangan yang paling kejam dalam hidupku. Lho kok ? Niatku, aku ingin menjadi orang baik, hidup bahagia bersama istriku Ida yang ayu, dan biarlah anak-anakku nanti tidak mewarisi luka batinku. Tapi… kapan aku menikah ? May…
Cerita ini dari kisah hidup Saudaraku Pian da Gomez yang diceritanya dalam perjalanan dari Purwakarta, Sabtu, 28 Januari 2006, pulang dari acara ijab kabul Sumir dan Triyani.
Menegur dan melarang itu lebih mudah daripada memberi contoh. Itu yang aku rasakan. Aku terlahir sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara. Bapakku PNS dan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kata orang-orang, ‘bakat’ nakalku sudah kelihatan sejak kecil. Dengan kakak laki-laki yang tertua, kami selalu kompak. Dalam kegiatan apa pun, dia otaknya, dan aku pelakunya. Asal tahu saja, di mana-mana, dalam kasus apa pun, pasti pelakunyalah yang selalu kebagian sialnya. Itulah yang aku alami. Nasib…nasib !
Bapak sangat keras dalam mendidik kami. Beliau sepertinya benar-benar melaksanakan apa yang tertulis dalam Amsal 19 :18, “Hajarlah anakmu selama ada harapan,tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” Akulah yang selalu menjadi sasaran, sampai-sampai aku pernah berpikir, jangan-jangan aku bukan anak kandung mereka. Mama meski kadang-kadang mengompori Bapak yang sedang memarahiku, tetapi diam-diam beliau menangisi nasibku.
“Pian, kau merokok ko ?” tanya Bapak.
“Eee, siapa yang rokok la,” jawabku berkelit.
“Lalu puntung rokok yang barusan Bapak lihat di kamar mandi setelah kau keluar itu siapa punya ?”
Aku kaget setengah mati. Betapa bodohnya diriku menjawab tidak, sementara Bapak baru menemukan puntung rokok dan mencium bau rokok di kamar mandi persis setelah aku keluar. Alamak ! Akhirnya dengan sedikit malu dan ketakutan aku pun mengakui, dengan harapan jika mengakui begitu tidak bakal dihajar. Rupanya dugaanku meleset. Aku dihajar. Mama membela tapi Bapak tetap dengan gaya otoriternya, menganggap dirinya paling berkuasa sejagat.
“Pian, kau masih kecil lo’o sudah merokok. Macam kek kau sudah punya doi ee… ”
Kalimat itu tersimpan dalam-dalam di otakku. Itu artinya jika suatu saat aku sudah punya uang sendiri, boleh dong merokok, pikirku.
Di SMA, sekeluarnya dari seminari Mataloko, aku mencoba bekerja, membantu orang di bengkel sepulang sekolah. Uang yang kudapat untuk apa lagi kalau bukan untuk beli rokok dan minum dengan teman-teman. Aku mau buktikan bahwa setelah punya uang sendiri aku boleh merokok, karena bukan anak kecil lagi. Sepulang sekolah jalan-jalan bersama teman, merokok dengan bebas. Aku pikir jika merokok sambil nongkrong di pasar pasti tidak bakal ketahuan Bapak, karena sepanjang hidupku aku tahu Bapak itu tidak pernah mau ke pasar. Rupanya hari itu sial bagiku. Sedang asyik-asyiknya merokok, Bapak lewat dan melihat jelas gayaku merokok. Aku diam seribu bahasa dan sangat gugup. Mati aku !
Sepulang ke rumah aku masih diam sambil menanti saat ‘diadili’ Bapak. Mungkin terlalu sibuk, beliau lupa. Aku bisa bersorak malam itu. Esoknya juga belum dipanggil. Nah, malam berikutnya kami diabsen satu-persatu sambil menyindir.
“Bagus e, sudah besar o sekarang, sudah ada doi sendiri, sudah bisa beli rokok. Hebat sekali saya pu anak,” kata Bapak dengan nada yang sangat tidak enak didengar.
“Eh, jangan hanya omong anak, lihat diri sendiri dulu tuh,” timpal Mama membelaku.
Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba aku tantang Bapak. “Kalau Bapak merasa merokok itu tidak baik, Bapak jangan rokok to, supaya saya juga tidak rokok.”
Bapak kaget, terpana, dan langsung diam.
“Lihat, itu anak su pintar. Jangan lagi hanya tahu larang anak. Bapak juga kasih teladan to,” Mama mengingatkan Bapak yang terdiam bisu sejak tadi.
Perkara kami pun selesai tanpa hajaran dan kekerasan fisik. Lalu beberapa bulan kemudian di tengah malam, ‘tok,tok,tok’ suara ketukan di pintu kamarku.
“Masuk sajalah …,” jawabku.
“Walah Pian, minta satu batang la…” bisik seseorang dari balik pintu kamarku. Aku tahu itu suara Bapak.
“Sei kena ?” tanyaku berpura-pura.
“Ale, kau terlalu la. Ini kau pu Bapak la…!” bisiknya.
Hahaha… akhirnya kami jadi ‘teman’ dalam menikmati asyiknya merokok. Bapak tidak pernah marah lagi soal rokok karena selain aku sudah bisa beli dengan uang sendiri, Bapak juga bisa minta jatahnya. Tetapi soal kenakalan yang lain, dan urusan kayu bakar, Bapak masih tetap galak. Setiap sore kami harus mencari kayu bakar. Kadang aku pikir orang tuaku seperti zaman VOC, kerja paksa. Kalau kayu bakar di dapur sudah habis, Mama akan ‘memerintah’ dengan halus melalui keluhan.
“Ole, malam ini kita tidak bias makan le. Mau masak pake apa, tidak ada kayu bakar satu batang pun,” kata Mama.
“Pian, dengar tidak apa yang kau pu Mama bilang ?” teriak Bapak sambil menurunkan kacamatanya.
Tanpa bantahan, aku langsung pergi cari kayu bakar. Itu rutinitas sejak SD hingga SMA. Sempat bebas satu tahun ketika aku sekolah di seminari. Tapi karena aku memang berjodoh dengan urusan kayu bakar sehingga hanya bertahan satu tahun di seminari, kembalilah aku ke alam yang penuh derita. Nasib !
Dalam keluarga aku merasa dirikulah yang paling sial, yang selalu dijadikan kambing hitam. Kulitku memang hitam, dan ternyata hitam pula citraku. Itulah aku, PIAN da GOMEZ.
Kini, setelah aku dewasa dan mulai tua, aku sadar bahwa semua yang pernah aku alami menjadi kenangan yang paling kejam dalam hidupku. Lho kok ? Niatku, aku ingin menjadi orang baik, hidup bahagia bersama istriku Ida yang ayu, dan biarlah anak-anakku nanti tidak mewarisi luka batinku. Tapi… kapan aku menikah ? May…
Cerita ini dari kisah hidup Saudaraku Pian da Gomez yang diceritanya dalam perjalanan dari Purwakarta, Sabtu, 28 Januari 2006, pulang dari acara ijab kabul Sumir dan Triyani.