Nama lengkapnya Rahmawaty Chichi Padmasari, asli Jawa, dari Klaten Jawa Tengah. Awal perkenalan kami di asrama Retnowulan, tempat kos kami. Setelah ibunya kembali ke Klaten, dia mulai bergabung dengan kami, nonton TV di lorong tengah asrama. Aku lihat dia malu-malu mau keluar dari kamarnya, kudekati dia, berkenalan, dan mengajaknya bergabung, berkenalan dengan teman lainnya. Biasa … orang barulah. Ternyata dia bisa bersahabat dengan siapa saja. Karena hanya kami berdua yang kampusnya beda dengan teman-teman seasrama, jadi kami lebih sering berdua di kos saat mereka masuk kuliah jam 07.00. Dari berbagi cerita, berbagi pengalaman, kami menjadi akrab, dan selera makan kami pun mulai sama. Dia adik tingkat jauh dariku, tapi bisa menjadi teman kalau cerita soal cowok dan gaya hidup. Setiap sore kami beli jamu di pojok pasar Lempuyangan atau es campur di ‘mulut’ gang Tukangan.
Setahun tinggal sekos banyak suka duka yang kami alami bersama. Setiap sore sehabis mandi, kami beli ‘nasi kucing’, sambil menyusuri jalan sepanjang Malioboro (kos kami dekat dengan Malioboro). Menu akhir bulan kami ’sate balung’. Meski hanya tulang ayam dan bumbu kacang tapi nikmatnya luar biasa. Apalagi makannya rame-rame saling rebutan. Kalau awal bulan sedang berduit, kami beli makan di warung Ibu Turut dengan menu ayam goreng. Pelanggan warung Bu Turut kebanyakan cowok cakep dan keren, jadi tunggu awal bulan baru kami beli makan di sana. Kalau lagi pas-pasan, kami belanja di warung Ibu Bambang lalu masak sendiri. Belanjanya urunan bersama Vessia dan Yuli yang belakangan menjadi akrab dengan kami.
9 April 1994, ulang tahun Chichi yang ke-20, kami camping di Bebeng, bakar ikan bersama ’sahabat-sahabat’ kami dari STM 07 Mrican. Ada Bang Luther ‘ompong’, Bang Iyeng, Gorry, Yacob, Nomensen, Loji, Seno, Robin, dan Boy. Dari Retnowulan selain kami berdua, ada Vessia, Yuli, Tiominar, Sitho, dan Tetty. Suasana begitu akrab dan mesra. Kenangan yang tak terlupakan saat motor Yacob dan Vessia terjun bebas ke sawah karena remnya blong. Vessia teriak histeris, “Abang…!” lalu diam. Gawat ! Kami mengira mereka berdua tewas. Motornya masuk selokan, mereka berdua ‘terbang’ dan mendarat di sawah. Untung sawahnya berair lho, kalau kering… bisa luluh lantak tulang mereka. Rame-rame kami mengangkat tubuh gendut Vessia dari lumpur sawah yang dalam keadaan pingsan (tapi kayaknya sih pura-pura, hahaha…). Yacob sudah ngibrit duluan melihat kondisi motor. Maklum, motor pinjaman (pacaran tak modal). Setelah Vessia benar-benar sadar, kami pun iring-iringan konvoi pulang ke Yogya. Benar-benar ulang tahun yang sangat berkesan. Sebetulnya Vessia juga ulang tahun di tanggal 8.
Tak jera dari kejadian itu, kami camping lagi di Kali Kuning. Idenya Bang Luther semua nih. Kali ini lebih seru karena rame-rame menginap di hutan, bakar jagung dan panggang ayam. Dengan menumpang bus Baker, kami menuju Kaliurang. Memasuki tanjakan Kaliurang, kami turun lalu berjalan kaki menyusuri perbukitan menuju Kali Kuning. Di bawah guyuran hujan kami terus berjalan sambil sesekali berpose di depan kamera. Genit, centil, heboh…! Bang Luther sampai puyeng. Beriring-iringan kami melintasi sungai sambil memikul ransel dan peralatan masak. Begitu tiba di Kali Kuning, kami langsung mencari tempat yang nyaman alias PW dan segera memasang tenda. Rame-rame menimba air untuk masak, mandi di pancuran, lalu bakar jagung dan panggang ayam. Asyik banget… dan enak tenan… ! Malam tiba rebutan tikar dan tempat untuk berbaring. Semuanya gembira dan seru dengan cerita-cerita lucu. Esoknya pulang naik bus Baker lagi dan turun di Mrican. Dari STM 07 kami jalan kaki alias long march ke asrama dengan memikul ransel serta peralatan masak. Seru dan heboh…!
Sisa dari camping adalah kenangan dan getar-getar cinta. Kebersamaanlah yang menciptakan semua rasa itu. Vessia semakin ‘nempel’ dengan Yacob, Sitho ‘malu-malu kucing’ dengan Robin, Tetty ‘panas dingin’ dengan Gorry, Tiominar nyaris ‘bermain api’ dengan Nomen, Chichi mulai ‘ada rasa’ dengan Boy, dan aku ‘bingung’ antara dua pilihan : Bang Iyeng atau Loji. Hahaha… Hanya Yuli yang bertahan dengan kesendiriannya karena semua itu adalah teman dan saudara seasalnya. Terpaksa dia selalu berpasangan dengan Bang Luther yang sudah berkeluarga. Ya, begitulah kami, selalu rame-rame, selalu heboh.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak peristiwa yang dialami dan dilalui. Chichi akhirnya berpacaran dengan Boy yang NB masih SMA, dan bertahan sampai setahun. Setamatnya Boy dari SMA, tamat pula riwayat cinta mereka. Boy pulang ke Medan dan gak ada kabar berita. Chichi pun mengisi ‘kekosongan’ hatinya dengan menerima cinta teman sekampusnya Yudhie, asal Kalimantan. Yudhie baik juga, mudah bergaul, tapi bodinya yang kecil kayaknya kurang cocok dengan Chichi yang tinggi. Tapi dasar gak berjodoh, setelah berjalan sekitar satu setengah tahun, Yudhie pindah ke lain hati, dengan teman KKN-nya. Selesailah sudah kisah asmara Chichi dan Yudhie bersamaan dengan larisnya lagu pop berjudul “Yudhie” yang dinyanyikan Elma Theana. Makanya Elson suka godain Chichi kalau dia sedang bermurung ria. Cinta oh…cinta…
Bertahan jomblo sekitar tiga bulan, dibukalah lembaran baru, tetapi kisahnya dengan orang lama, Harmoko alias Koko. Cowok jangkung berkepala plontos (maklum mahasiswa pelayaran), bertampang tidak mengecewakan, tetangga sebelah asrama kami. Berawal dari ketidaksengajaan bertemu di warung makan Ibu Turut (karena Koko,cs sudah pindah kos) , kembali membuka cerita lama. Koko ini sudah lama dikenal tetapi sempat dilupakan karena Chichi sibuk dengan para penggemar lainnya, yang akhirnya kandas semua ditelan dusta. Awal perkenalan kami dengan tetangga sebelah (anak Bangka), kami sudah mulai menjodohkan Chichi dan Koko menjadi Chi-Ko. Perjodohan itu sebetulnya sudah mulai ditanggapi Koko dengan mengirim surat cinta untuk Chichi dari “Harmoko”. Salah duga dikira menteri Harmoko, kami sempat menertawakan Chichi. Tanggapan Chichi ? Masih ragu-ragu. Tiba-tiba Seno mulai melancarkan usaha dengan kiriman puisi-puisi romantis yang dikirim melalui siapa saja yang datang dari STM 07. Tak cukup dengan surat dan puisi, Seno nekat ‘tatap muka’, datang ke asrama malam-malam, pinjam motor teman. Ini yang membuat Chichi kebingungan. Untuk menghindari pertemuan dengan Seno, Koko-lah yang menjadi pahlawan tengah malam. Dasar dia agak lugu, bersedialah dia menemani Chichi nonton TV tapi di kos mereka. Aneh ya, lugu banget, mau-maunya dimanfaatkan. Hahaha… Rupanya itu hanya sesaat karena setelah kejadian itu Koko sepertinya ‘dilupakan’. Apalagi satu-persatu personil meninggalkan asrama alias pindah kos, rasanya seolah-olah sudah ‘goodbye’ semua dengan kenangan tentang Koko.
Kalau memang berjodoh, ke mana pun melanglang buana, baliknya ke situ-situ juga. Dan ini terjadi pada dua anak manusia ini. Entahlah dengan Koko, kalau Chichi, aku tahu benar siapa saja yang pernah tertambat di hatinya. Kami selalu berbagi cerita tentang apa saja yang terjadi dalam kebersamaan kami. Semua yang pernah dekat itu pergi …dan menghilang. Tak disangka, saat hati sedang perih ditinggal Yudhie, bertemulah si Koko di warung Ibu Turut lagi (pas kami berdua Chichi main ke kos Yuli). Tanpa banyak alasan, Koko juga mau waktu kami ajak main ke kos Yuli. Chichi pura-pura malu. Biasa, malu-malu mau. Cerita-cerita lepas kangen lalu berdua Chichi pamit kembali ke Mrican. Mau naik motor, kok tiba-tiba tak mau hidup-hidup mesinnya. Nah, tenaga Koko dimanfaatkan lagi untuk bongkar-bongkar. Karena hanya busi yang terganggu, langsung cepat hidup lagi. Dengan bangga Koko tersenyum-senyum saat kami pura-pura memujinya (emang enak dikerjain…). Tapi justru itu awal yang mengesankan sehingga selanjutnya…tanpa perantara, tahu-tahu mereka sudah jadian. Jarak Babarsari - Tukangan yang lumayan jauh tak masalah. Semua terasa jadi lebih indah dan berarti karena sama-sama sudah saling tertambat hatinya. Tapi bagaimana dengan komentar orang tua di Klaten ? “Sabar dulu sayang, kamu harus selesai kuliah dulu, dan Koko harus bekerja dulu.” Ah, itu kan nasihat, cinta jalan terus. Orang Papua bilang, mau lawan cintakah ?
Tahun berganti, kami asyik dengan kehidupan masing-masing, bertemu dengan banyak hal istimewa. Terakhir kami ke pesta bersama tahun 1995, aku curhat dengan Chichi tentang seseorang yang sedang pdkt denganku, dan menunjuk orang tersebut yang kebetulan hadir juga dalam pesta itu. Betapa kagetnya aku dengan komentarnya yang tanpa basa-basi, “Orangnya dekil,Kak !” Namun dengan sedikit promosi aku mencoba meyakinkan Chichi tentang kepribadian si dekil itu - kini jadi suamiku- bahwa biar hitam kulitnya tapi putih hatinya. Jawaban Chichi, “Kalau Kakak suka, coba jalani aja dulu.” Setelah itu kami sibuk dengan rutinitas sendiri, tahu-tahu beritanya mereka berdua sudah bekerja di Solo sebagai pramugara dan pramugari di kereta api. Kami tak pernah bertemu, tak ada berita, seolah-olah hilang dan tenggelam,padahal jarak Yogya-Klaten-Solo sangat dekat. Sama-sama tak ingin mengganggu. Sampai selesai kuliah dan wisuda, aku kehilangan jejak Chihi. Ya sudahlah, jauh di mata tetapi semua kenangan saat bersama selalu ada di hati, tak akan pernah hilang walau ditelan waktu.
Tahun 1989 aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Melalui Elson, aku minta menanyakan alamat Chichi pada Yuli yang waktu itu masih bertahan di Yogya. Dari situ aku mencoba menulis surat untuk Chichi tanpa mengharapkan balasan karena Yuli juga ragu-ragu dengan alamat yang diberikannya itu. Rupanya Tuhan masih menghendaki agar kami tetap bersahabat. Chichi membalas suratku. Sejak itu terjalin kembali hubungan persahabatan kami melalui surat-menyurat.
Tanggal 8 Juni 2000 aku mendapat telepon dari seseorang. Begitu sapaan ‘ube’ yang terucap, aku langsung berteriak nama Chichi karena hanya dia yang biasa menyebutku dengan sapaan itu gara-gara aku suka mendengar lagu-lagu UB 40. Ternyata dia di Jakarta dan kami langsung janjian. Sepulang sekolah aku naik metromini 47 dari Senen ke Klender,tepatnya di rumah susun karena dia tinggal di sana dengan kakaknya Mas Pri. Pertemuan yang menyedihkan karena melihat keadaan Chichi yang kurus, kering, dan hitam pula. Kami kembali bercerita nostalgia di Yogya, terutama peristiwa 9 April. Pertemuan di Klender itu juga menjadi awal perkenalanku dengan lingkungan rumah susun. Saat itu aku sedang mencari rumah kontrakan. Ternyata ada yang kosong di Blok 66/lt.4/15. Aku dan Chichi langsung survei dan tanggal 10 Juli 2000 aku pindah ke rumah susun Klender. Atas persetujuan Mas Pri, Chichi menemaniku selama belum menikah.
Tanggal 3 Juni 2001 aku menikah. Di luar dugaan, saat acara pelemparan bunga, justru pasangan Chi-Ko yang mendapatkannya. Padahal aku lemparnya membelakangi,dan pasangan ini berdiri paling belakang. Dengan bahagia kutatap rangkaian bunga anggrek yang sudah ada di tangan Chi-Ko. Bukannya menyesal tetapi yang kupikir, kapan ya mereka menyusul ? Kata orang, jika orang yang belum menikah mendapat bunga yang dilempar pengantin, pasti tak lama lagi akan menyusul. Ternyata tidak selamanya benar. Chi-Ko gagal melangkah ke pelaminan karena cinta mereka kandas di kereta. Koko berpaling dari Chichi karena mendapatkan wanita lain, kenalan di kereta. Ya,berarti mereka tidak berjodoh. Chichi sedih, tapi aku bilang itu tandanya tak berjodoh.
Beberapa bulan kemudian, ada sms dari Agus,teman kuliahnya. Aku sempat berseloroh, “Jangan-jangan dia jodohmu,Chi.” Chichi hanya tertawa, lalu kami sempat cerita lagi tentang masa-masa kuliah dulu, terutama tentang peran Agus yang selalu menjadi pengantar jemput kami kalau mau jalan-jalan. Chichi sama sekali tak tertarik saat itu. Mereka masih saling kontak, dan aku pun mendukung dengan doa. Ceile… Ternyata mereka berjodoh lho. Tanggal 18 Juli 2004 mereka menikah. Setahun kemudian lahirlah putranya LEVIN. Mereka memang berjodoh. Kini mereka tinggal di Yogya. Kami masih saling kontak. Kami masih tetap bersahabat, bahkan keluarga kami sudah saling mengenal. Terima kasih Tuhan untuk persahabatan yang indah ini.
Setahun tinggal sekos banyak suka duka yang kami alami bersama. Setiap sore sehabis mandi, kami beli ‘nasi kucing’, sambil menyusuri jalan sepanjang Malioboro (kos kami dekat dengan Malioboro). Menu akhir bulan kami ’sate balung’. Meski hanya tulang ayam dan bumbu kacang tapi nikmatnya luar biasa. Apalagi makannya rame-rame saling rebutan. Kalau awal bulan sedang berduit, kami beli makan di warung Ibu Turut dengan menu ayam goreng. Pelanggan warung Bu Turut kebanyakan cowok cakep dan keren, jadi tunggu awal bulan baru kami beli makan di sana. Kalau lagi pas-pasan, kami belanja di warung Ibu Bambang lalu masak sendiri. Belanjanya urunan bersama Vessia dan Yuli yang belakangan menjadi akrab dengan kami.
9 April 1994, ulang tahun Chichi yang ke-20, kami camping di Bebeng, bakar ikan bersama ’sahabat-sahabat’ kami dari STM 07 Mrican. Ada Bang Luther ‘ompong’, Bang Iyeng, Gorry, Yacob, Nomensen, Loji, Seno, Robin, dan Boy. Dari Retnowulan selain kami berdua, ada Vessia, Yuli, Tiominar, Sitho, dan Tetty. Suasana begitu akrab dan mesra. Kenangan yang tak terlupakan saat motor Yacob dan Vessia terjun bebas ke sawah karena remnya blong. Vessia teriak histeris, “Abang…!” lalu diam. Gawat ! Kami mengira mereka berdua tewas. Motornya masuk selokan, mereka berdua ‘terbang’ dan mendarat di sawah. Untung sawahnya berair lho, kalau kering… bisa luluh lantak tulang mereka. Rame-rame kami mengangkat tubuh gendut Vessia dari lumpur sawah yang dalam keadaan pingsan (tapi kayaknya sih pura-pura, hahaha…). Yacob sudah ngibrit duluan melihat kondisi motor. Maklum, motor pinjaman (pacaran tak modal). Setelah Vessia benar-benar sadar, kami pun iring-iringan konvoi pulang ke Yogya. Benar-benar ulang tahun yang sangat berkesan. Sebetulnya Vessia juga ulang tahun di tanggal 8.
Tak jera dari kejadian itu, kami camping lagi di Kali Kuning. Idenya Bang Luther semua nih. Kali ini lebih seru karena rame-rame menginap di hutan, bakar jagung dan panggang ayam. Dengan menumpang bus Baker, kami menuju Kaliurang. Memasuki tanjakan Kaliurang, kami turun lalu berjalan kaki menyusuri perbukitan menuju Kali Kuning. Di bawah guyuran hujan kami terus berjalan sambil sesekali berpose di depan kamera. Genit, centil, heboh…! Bang Luther sampai puyeng. Beriring-iringan kami melintasi sungai sambil memikul ransel dan peralatan masak. Begitu tiba di Kali Kuning, kami langsung mencari tempat yang nyaman alias PW dan segera memasang tenda. Rame-rame menimba air untuk masak, mandi di pancuran, lalu bakar jagung dan panggang ayam. Asyik banget… dan enak tenan… ! Malam tiba rebutan tikar dan tempat untuk berbaring. Semuanya gembira dan seru dengan cerita-cerita lucu. Esoknya pulang naik bus Baker lagi dan turun di Mrican. Dari STM 07 kami jalan kaki alias long march ke asrama dengan memikul ransel serta peralatan masak. Seru dan heboh…!
Sisa dari camping adalah kenangan dan getar-getar cinta. Kebersamaanlah yang menciptakan semua rasa itu. Vessia semakin ‘nempel’ dengan Yacob, Sitho ‘malu-malu kucing’ dengan Robin, Tetty ‘panas dingin’ dengan Gorry, Tiominar nyaris ‘bermain api’ dengan Nomen, Chichi mulai ‘ada rasa’ dengan Boy, dan aku ‘bingung’ antara dua pilihan : Bang Iyeng atau Loji. Hahaha… Hanya Yuli yang bertahan dengan kesendiriannya karena semua itu adalah teman dan saudara seasalnya. Terpaksa dia selalu berpasangan dengan Bang Luther yang sudah berkeluarga. Ya, begitulah kami, selalu rame-rame, selalu heboh.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak peristiwa yang dialami dan dilalui. Chichi akhirnya berpacaran dengan Boy yang NB masih SMA, dan bertahan sampai setahun. Setamatnya Boy dari SMA, tamat pula riwayat cinta mereka. Boy pulang ke Medan dan gak ada kabar berita. Chichi pun mengisi ‘kekosongan’ hatinya dengan menerima cinta teman sekampusnya Yudhie, asal Kalimantan. Yudhie baik juga, mudah bergaul, tapi bodinya yang kecil kayaknya kurang cocok dengan Chichi yang tinggi. Tapi dasar gak berjodoh, setelah berjalan sekitar satu setengah tahun, Yudhie pindah ke lain hati, dengan teman KKN-nya. Selesailah sudah kisah asmara Chichi dan Yudhie bersamaan dengan larisnya lagu pop berjudul “Yudhie” yang dinyanyikan Elma Theana. Makanya Elson suka godain Chichi kalau dia sedang bermurung ria. Cinta oh…cinta…
Bertahan jomblo sekitar tiga bulan, dibukalah lembaran baru, tetapi kisahnya dengan orang lama, Harmoko alias Koko. Cowok jangkung berkepala plontos (maklum mahasiswa pelayaran), bertampang tidak mengecewakan, tetangga sebelah asrama kami. Berawal dari ketidaksengajaan bertemu di warung makan Ibu Turut (karena Koko,cs sudah pindah kos) , kembali membuka cerita lama. Koko ini sudah lama dikenal tetapi sempat dilupakan karena Chichi sibuk dengan para penggemar lainnya, yang akhirnya kandas semua ditelan dusta. Awal perkenalan kami dengan tetangga sebelah (anak Bangka), kami sudah mulai menjodohkan Chichi dan Koko menjadi Chi-Ko. Perjodohan itu sebetulnya sudah mulai ditanggapi Koko dengan mengirim surat cinta untuk Chichi dari “Harmoko”. Salah duga dikira menteri Harmoko, kami sempat menertawakan Chichi. Tanggapan Chichi ? Masih ragu-ragu. Tiba-tiba Seno mulai melancarkan usaha dengan kiriman puisi-puisi romantis yang dikirim melalui siapa saja yang datang dari STM 07. Tak cukup dengan surat dan puisi, Seno nekat ‘tatap muka’, datang ke asrama malam-malam, pinjam motor teman. Ini yang membuat Chichi kebingungan. Untuk menghindari pertemuan dengan Seno, Koko-lah yang menjadi pahlawan tengah malam. Dasar dia agak lugu, bersedialah dia menemani Chichi nonton TV tapi di kos mereka. Aneh ya, lugu banget, mau-maunya dimanfaatkan. Hahaha… Rupanya itu hanya sesaat karena setelah kejadian itu Koko sepertinya ‘dilupakan’. Apalagi satu-persatu personil meninggalkan asrama alias pindah kos, rasanya seolah-olah sudah ‘goodbye’ semua dengan kenangan tentang Koko.
Kalau memang berjodoh, ke mana pun melanglang buana, baliknya ke situ-situ juga. Dan ini terjadi pada dua anak manusia ini. Entahlah dengan Koko, kalau Chichi, aku tahu benar siapa saja yang pernah tertambat di hatinya. Kami selalu berbagi cerita tentang apa saja yang terjadi dalam kebersamaan kami. Semua yang pernah dekat itu pergi …dan menghilang. Tak disangka, saat hati sedang perih ditinggal Yudhie, bertemulah si Koko di warung Ibu Turut lagi (pas kami berdua Chichi main ke kos Yuli). Tanpa banyak alasan, Koko juga mau waktu kami ajak main ke kos Yuli. Chichi pura-pura malu. Biasa, malu-malu mau. Cerita-cerita lepas kangen lalu berdua Chichi pamit kembali ke Mrican. Mau naik motor, kok tiba-tiba tak mau hidup-hidup mesinnya. Nah, tenaga Koko dimanfaatkan lagi untuk bongkar-bongkar. Karena hanya busi yang terganggu, langsung cepat hidup lagi. Dengan bangga Koko tersenyum-senyum saat kami pura-pura memujinya (emang enak dikerjain…). Tapi justru itu awal yang mengesankan sehingga selanjutnya…tanpa perantara, tahu-tahu mereka sudah jadian. Jarak Babarsari - Tukangan yang lumayan jauh tak masalah. Semua terasa jadi lebih indah dan berarti karena sama-sama sudah saling tertambat hatinya. Tapi bagaimana dengan komentar orang tua di Klaten ? “Sabar dulu sayang, kamu harus selesai kuliah dulu, dan Koko harus bekerja dulu.” Ah, itu kan nasihat, cinta jalan terus. Orang Papua bilang, mau lawan cintakah ?
Tahun berganti, kami asyik dengan kehidupan masing-masing, bertemu dengan banyak hal istimewa. Terakhir kami ke pesta bersama tahun 1995, aku curhat dengan Chichi tentang seseorang yang sedang pdkt denganku, dan menunjuk orang tersebut yang kebetulan hadir juga dalam pesta itu. Betapa kagetnya aku dengan komentarnya yang tanpa basa-basi, “Orangnya dekil,Kak !” Namun dengan sedikit promosi aku mencoba meyakinkan Chichi tentang kepribadian si dekil itu - kini jadi suamiku- bahwa biar hitam kulitnya tapi putih hatinya. Jawaban Chichi, “Kalau Kakak suka, coba jalani aja dulu.” Setelah itu kami sibuk dengan rutinitas sendiri, tahu-tahu beritanya mereka berdua sudah bekerja di Solo sebagai pramugara dan pramugari di kereta api. Kami tak pernah bertemu, tak ada berita, seolah-olah hilang dan tenggelam,padahal jarak Yogya-Klaten-Solo sangat dekat. Sama-sama tak ingin mengganggu. Sampai selesai kuliah dan wisuda, aku kehilangan jejak Chihi. Ya sudahlah, jauh di mata tetapi semua kenangan saat bersama selalu ada di hati, tak akan pernah hilang walau ditelan waktu.
Tahun 1989 aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Melalui Elson, aku minta menanyakan alamat Chichi pada Yuli yang waktu itu masih bertahan di Yogya. Dari situ aku mencoba menulis surat untuk Chichi tanpa mengharapkan balasan karena Yuli juga ragu-ragu dengan alamat yang diberikannya itu. Rupanya Tuhan masih menghendaki agar kami tetap bersahabat. Chichi membalas suratku. Sejak itu terjalin kembali hubungan persahabatan kami melalui surat-menyurat.
Tanggal 8 Juni 2000 aku mendapat telepon dari seseorang. Begitu sapaan ‘ube’ yang terucap, aku langsung berteriak nama Chichi karena hanya dia yang biasa menyebutku dengan sapaan itu gara-gara aku suka mendengar lagu-lagu UB 40. Ternyata dia di Jakarta dan kami langsung janjian. Sepulang sekolah aku naik metromini 47 dari Senen ke Klender,tepatnya di rumah susun karena dia tinggal di sana dengan kakaknya Mas Pri. Pertemuan yang menyedihkan karena melihat keadaan Chichi yang kurus, kering, dan hitam pula. Kami kembali bercerita nostalgia di Yogya, terutama peristiwa 9 April. Pertemuan di Klender itu juga menjadi awal perkenalanku dengan lingkungan rumah susun. Saat itu aku sedang mencari rumah kontrakan. Ternyata ada yang kosong di Blok 66/lt.4/15. Aku dan Chichi langsung survei dan tanggal 10 Juli 2000 aku pindah ke rumah susun Klender. Atas persetujuan Mas Pri, Chichi menemaniku selama belum menikah.
Tanggal 3 Juni 2001 aku menikah. Di luar dugaan, saat acara pelemparan bunga, justru pasangan Chi-Ko yang mendapatkannya. Padahal aku lemparnya membelakangi,dan pasangan ini berdiri paling belakang. Dengan bahagia kutatap rangkaian bunga anggrek yang sudah ada di tangan Chi-Ko. Bukannya menyesal tetapi yang kupikir, kapan ya mereka menyusul ? Kata orang, jika orang yang belum menikah mendapat bunga yang dilempar pengantin, pasti tak lama lagi akan menyusul. Ternyata tidak selamanya benar. Chi-Ko gagal melangkah ke pelaminan karena cinta mereka kandas di kereta. Koko berpaling dari Chichi karena mendapatkan wanita lain, kenalan di kereta. Ya,berarti mereka tidak berjodoh. Chichi sedih, tapi aku bilang itu tandanya tak berjodoh.
Beberapa bulan kemudian, ada sms dari Agus,teman kuliahnya. Aku sempat berseloroh, “Jangan-jangan dia jodohmu,Chi.” Chichi hanya tertawa, lalu kami sempat cerita lagi tentang masa-masa kuliah dulu, terutama tentang peran Agus yang selalu menjadi pengantar jemput kami kalau mau jalan-jalan. Chichi sama sekali tak tertarik saat itu. Mereka masih saling kontak, dan aku pun mendukung dengan doa. Ceile… Ternyata mereka berjodoh lho. Tanggal 18 Juli 2004 mereka menikah. Setahun kemudian lahirlah putranya LEVIN. Mereka memang berjodoh. Kini mereka tinggal di Yogya. Kami masih saling kontak. Kami masih tetap bersahabat, bahkan keluarga kami sudah saling mengenal. Terima kasih Tuhan untuk persahabatan yang indah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar