Selasa, 25 November 2008

REUNI


‘massage … massage … massage …’
Nada pesan dari hp-ku berteriak minta segera dibaca. Segera kubuka, eh … dari Febriyanti, teman kuliahku dulu.
Undangan : Temu alumni Sadhar, 24 Agustus 2008 di Kanisius Menteng. Jam 09.00 registarsi, jam 10.00 misa. Daftarkan ke Martono 0813…. Atau via email usd.com.

Reuni ? Ada perasaan rindu ingin bertemu teman-teman kuliah, terutama yang sekelas, namun terselip rasa cemas bertemu mantan kekasihku. Sejak kami putus hubungan, jika dia juga datang pada reuni nanti, inilah pertama kami bertemu lagi, setelah 12 tahun berpisah.
Iyeng. Dia teman seangkatanku tetapi kami beda kelas. Kami hanya bertemu saat mengambil mata kuliah umum. Dia cakep namun kurang popular karena pendiam. Mungkin di kelasnya dia didekati banyak cewek, tapi di kelasku nama itu tak pernah dibicarakan. Aku pun mengenal dia ‘sambil lalu’ saja karena bagiku tak penting. Masih banyak teman cowok di kelasku yang asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda seperti Nunung, Bardoyo, Nursalim, Lumbantoruan (si Batak jelek itu), Susmana, Surya, Sugeng, Tukan, Rudi, Widi. Pokoknya teman sekelasku is the best-lah.

September 1991 di Asrama Retnowulan Tukangan.
Iyeng dan temannya datang bertemu Yuli, teman se-asramaku yang berasal dari Kal-Bar. Karena letak kamarku paling depan, persis bersebelahan dengan ruang tamu, praktis saja setiap bunyi bel, kepalaku yang nongol duluan ke luar, melihat siapa tamu yang datang, dan berbasa-basi, layaknya seorang penerima tamu.
“Eh, mau bertemu siapa ?” sapaku.
“Kamu tinggal di sini juga ?” tanyanya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Iya. Emang kenapa ?” balasku cuek.
“Gak apa-apa. Yuli dan Anna ada ?” tanyanya.
“Ada. Masuklah, ntar aku panggilin,” jawabku sambil mempersilahkan mereka duduk, lalu berlari ke belakang memanggil Yuli dan Anna.Setelah itu aku kembali ke kamarku, asyik mendengarkan musik dan tertidur.
“On, bukain. Yuli !” teriak Yuli dari luar sambil menggedor-gedor pintu mengagetkanku. “Eh, kau kenal sama si Iyeng ? Katanya kalian seangkatan ya ? “ tanya Yuli dengan semangat 45.
“Iya, seangkatan tapi beda kelas,” jawabku tak bergairah.
“Tadi dia cerita kalo sering ketemu di kampus tapi gak tahu kalo kamu tinggal di asrama sini juga. Dia mau ngajak kita ikut presentasi Forever Young di hotel Santika minggu depan. Ikut yuk !” jelas Yuli dengan bawelnya yang mana tahan.
Aku kurang menyukai hal-hal yang berbau MLM (Multilevel Marketing) atau presentasi bisnis apa pun. Menurutku buang-buang waktu dan tenaga saja. Dikirim untuk kuliah kok malah berbisnis yang gak jelas.
“On, hari Jumat ada acara nggak ?” tanya Iyeng setelah kami mengikuti kuliah Seminar Sastra. Aku tak langsung menjawab karena masih terperangah, angin apa yang membawa dia melangkah ke tempat dudukku, sementara sebelumnya kami tak pernah akrab. Apa dia mulai sok akrab dalam rangka mengajakku berbisnis ?
“Kata Yuli coba tanya kamu, barangkali mau diajak ikut,” jelasnya.
“Enak aja, emangnya aku cewek apaan ?” balasku bercanda. Dia lalu duduk di sampingku dan menjelaskan bisnis yang sedang diikutinya itu dengan penuh antusias. Aku diberi sample produk bisnis tersebut. Ada balsam, juga madu. Nah, ini yang aku suka. Ikut gak ikut, yang penting dapat gratis produknya. Lumayan, untuk persediaan.
“Kalau rame-rame aku mau ikutan,” kataku sambil menatapnya.
“Iya, nanti bareng Yuli, Anna, dan teman kosku,” balasnya.
“Ok. Trus berangkatnya gimana dong ?” tanyaku.
“Nanti aku samperin ke asrama kalian, deh !” jawabnya dengan nada yang sangat meyakinkan. Aku membayangkan, betapa niatnya orang ini berbisnis. Apa hidupnya terlalu susah atau ikut trend saja. Kos-nya dekat kampus, sedangkan asrama kami di dekat Malioboro, hotel Santika di jantung kota, yang berarti dia harus mengeluarkan ongkos ke tempat kami, kemudian ke hotel Santika. Ah, biarin, kan dia yang membutuhkan kami. Resiko orang berbisnis adalah siap rugi, dan buang ongkos.

Awal yang mendekatkan hubungan kami. Yuli dan Anna mendadak ada kegiatan di kampus. Maklum, mereka berdua anggota MENWA di kampus. Akhirnya aku berangkat berdua Iyeng. Dua jam mengikuti acara presentasi yang membosankan, membuatku ingin cepat pulang saja. Dia mengantarku pulang naik becak. Ternyata dia asyik juga untuk ngobrol. Sepanjang jalan kami bercerita tentang hobi, teman kampus, daerah asal, macam-macamlah.

Kedekatan kami semakin terjalin setelah beberapa kali aku diajak ikut acara perkumpulan keluarga mahasiswa Kal-Bar. Dia menjadi sahabat, saudara, dan kakak bagiku. Ke mana pun, kami selalu bersama. Dengan teman-teman kos-nya pun akrab dan kami merasa saudara senasib di perantauan. Ada Bang Luther, Gory, Yakob. Robin, Nomen, Seno, Louis, dan Lodji. Aku merasa nyaman bersamanya. Nonton konser musik di PML Kotabaru, ke gereja minggu pagi, ke kampus, ke perpustakaan, ah … pokoknya selalu berdua. Bahkan kami sepakat untuk menulis kegiatan kami masing-masing di buku diary kecil yang sama bentuknya, untuk kemudian saling tukar membacanya saat kami bertemu. Rasanya indah sekali persahabatan kami. Anas, teman sekelasnya yang jatuh cinta mati dengannya begitu geram dan cemburu melihat kedekatan kami. Aku tak merasa menyakiti Anas karena menurut pengakuan Iyeng, antara mereka tidak ada hubungan khusus, hanya teman biasa. Hubunganku dengan Iyeng pun sahabat, ya sahabat. Kami saling mendukung, saling mengingatkan. Kami sama-sama suka menulis. Bedanya, dia suka menulis resensi, sedangkan aku suka menulis cerpen atau hal-hal ringan.

Setahun sudah persahabatan kami. Tiba-tiba …
“On, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” katanya suatu sore saat kami duduk di teras rumah kontrakanku.
Oya, aku pindah dari asrama karena mengontrak rumah bersama kedua adikku.
“Mau ngomong apa, sih ?” tanyaku.
Tak biasanya dia bersikap seperti itu. Duduk tak tenang, resah, dan gelisah. Pikirku, mungkin ada masalah penting yang akan diceritakannya, tentang keadaan keluarganya ; ayahnya yang sedang sakit-sakitan, atau adiknya Seno yang sedang sensitif gara-gara belum bisa kuliah, atau abangnya Ius yang mau menikah.
“Sini, deh !” sambil menarik tanganku dan masuk ke ruang tamu.
Aku semakin bingung. Kami duduk bersebelahan.
“Mungkin ini hanya perasaanku, On. Tapi kedekatan dan kebersamaan kita selama ini membuatkau merasa bahwa aku sudah mulai menyanyangimu lebih dari sahabat. Aku jatuh cinta padamu, dan aku tak dapat menahan perasaan ini, ingin segera mengungkapkannya padamu,” jelasnya sambil memeluk dan menggenggam erat tanganku. Aku terhenyak, kok seperti di sinetron sih. Aku diam, tunduk, kemudian menjatuhkan kepalaku di pangkuannya.
“Ini yang aku takutkan, Yeng ! Aku ingin kita bersahabat saja. Aku takut kita saling jatuh cinta karena aku takut putus cinta,” keluhku.
“Ini manusiawi, On. Kedekatan dua manusia berlawanan jenis bisa menimbulkan perasaan lain di luar persahabatan. Aku tak dapat membohongi perasaanku. Kita jalani saja sambil belajar,” tegasnya.
Pelukan hangatnya menyadarkanku bahwa mungkin betul juga apa katanya, ‘kita belajar’. Belajar mencintai, belajar menyayangi lebih dari sahabat.

Kami menjalani hari-hari dengan penuh sukacita setiap bertemu. Adik-adikku mulai akrab dengannya, begitu pun adiknya. Kegiatan kuliah pun kami ikuti dengan semangat karena satu niat, ingin segera lulus. Banyak hal positif yang aku belajar dari kebersamaan kami, salah satunya masalah tidur. Aku bukan seorang yang mengidap insomnia tetapi kadang-kadang sulit memejamkan mata mekipun sudah berjam-jam di tempat tidur.“Saat kamu memejamkan mata, pikirkan satu hal saja; ‘aku mau tidur’, pasti kamu bisa langsung nyenyak, di mana dan kapan pun, “ katanya.Kalimat itu selalu terngiang ketika aku ingin tidur sehingga bukan hanya di tempat tidur empuk aku bisa dengan mudahnya nyenyak, tetapi di bus umum yang ramai dengan suara pengamen pun aku bisa tidur dengan nyenyak, damai, dan nyaman sampai termimpi-mimpi.

Masih seperti saat kami sebagai sahabat, aku selalu apa adanya dan tak pernah munafik dengannya. Aku bisa benar-benar marah, tidak berbasa-basi, atau berpura-pura.
“On, kamu itu apa adanya ya,”katanya.
“Maksudmu ?” tanyaku.“Kalau marah, ya marah. Kalau gak suka, ya kelihatan, tetapi perhatian,” jelasnya.
“Ah, gombal,” jawabku.
Memang itulah sifatku. Kami terus belajar saling memahami pribadi masing-masing.

KKN tiba. Kali ini Iyeng yang duluan mengikuti program KKN. Aku mendukungnya dengan ikut bantu membuatkan topi rajutan pesanan orang-orang di dusun tempat KKN-nya, setelah mereka melihat contoh topi yang dipakainya. Seminggu di lokasi KKN, aku mengunjunginya, tiga hari setelah ulang tahunnya dengan membawa kado Alkitab. Religius bo ! Tapi kulihat tatapannya beda. Ah, mungkin dia sedang lelah, pikirku positif.
“On, ada cewek yang suka denganku,” ceritanya sambil tersenyum. “Waktu ulang tahunku dia datang, khusus bawakan kue ulang tahun. Sama-sama teman KKN, tapi dia di dusun lain,” lanjutnya.
“Terus Abang suka gak dengan dia ?” tanyaku.
“Gak-lah. Biasa… teman aja. Mungkin dia ngefans denganku,” jawabnya.
“Kalau Abang juga suka, gak apa-apa. Kita bisa jadi sahabat kembali kok,” tegasku.
“Gak-lah. Jangan dipikirin !” balasnya sambil membelai kepalaku.
Hari mulai sore, dia mengantarku pulang.
“Sejak kapan Abang bisa naik motor ?” tanyaku heran.
“Ya, seminggu inilah aku belajar,” jawabnya.
“Hati-hati ya Bang, aku gak mau mati tidak terhormat di pinggiran hutan begini,” kataku dengan nada bercanda.
Hebat juga orang ini, seminggu langsung lancar. Teringat waktu kami champing di Kali Kuning, betap susahnya mencari cowok yang bisa memboncengi, karena salah satunya, Iyeng yang berbadan tegap ternyata tak bisa mengendarai motor. Terpaksa kami boncengan bertiga dengan Lodji. Untung badan Lodji mungil sehingga agak nyaman selama perjalanan.

Aku kembali menjalani hari-hari dengan penuh kegiatan. Harusnya dua minggu sekali mahasiswa KKN boleh pulang ke rumah atau kos, tapi Iyeng kok tak pernah pulang. Aku masih tetap berpikir positif tentang dia dan kegiatannya.
“On, si Iyeng gak mampir ke rumahmu ?” tanya Bang Luther ketika aku mampir ke kos mereka sepulang dari perpustakaan kampus. “Kemarin seharian dia pulang, katanya sama teman. Aku kira dia mampir ke rumahmu,” lanjut Bang Luther.
Aku tak menjawab, hanya terus berpikir, jangan-jangan benar dia sudah jadian dengan teman di KKN itu lalu sama-sama pulang ke Yogya, nontonlah, apalah, dan cuek denganku. Tapi apa iya sih dia setega itu denganku ?
“On, kamu masih sama Iyeng ?” tanya Retno, teman selokasinya saat kami bertemu di perpustakaan kampus.Belum sempat kujawab, “Dia udah jadian sama Ika lho, sudah sering pulang berdua dari lokasi ke Yogya,” lanjut Retno.
Aku hanya terdiam, setengah tidak percaya. Haru biru perasaanku. Inilah yang aku takutkan, punya pacar lalu disukai cewek lain. Retno masih dengan semangat menceritakan semua yang dilihatnya di lokasi KKN tentang Iyeng dan Ika, seolah-olah tak memikirkan perasaanku. Aku masih menghibur diri, ah .. boleh jadi Retno cemburu, iri, dan hanya memanas-manasi aku karena Iyeng pernah cerita bahwa Retno juga suka dengannya. Aduh pusing juga ! Aku ingin mendengar sendiri pengakuan dari mulut Iyeng. Tapi mana ada maling yang mau mengaku, penjara bisa penuh dong !

Sabtu siang, ketika melintasi gang Argulo hendak menuju rumahku, kulihat Iyeng duduk di teras rumah orang. Rumah siapa itu ? Untuk apa dia ke situ ? Bukankah tugas kelompoknya sudah dikerjakan di ruang tamu kosnya hari minggu lalu ? Aku belok ke arah sungai menuju rumah binatu-ku dulu yang persis di sebelah rumah itu dan menanyakan siapa pemilik rumah yang sedang ditongkrongi pacarku itu.
“Oh, itu rumahnya Mbak Ika, yang kuliah di Sadhar,” jawab si ibu.
Darahku serasa mendidih. Tanpa banyak bertanya lagi aku kembali ke kos Iyeng dan menunggunya di sana. Aku ingin tahu kejujurannya. Bila berbohong, bagiku lebih baik putus sekarang daripada makan hati berkepanjangan.
Beberapa jam kemudian, pulanglah dia ke kos. Dia tak menyangka bahwa aku sedang menunggunya di ruang tamu kosnya.
“Bang, aku mau bicara,” kataku sambil menarik tangannya, setengah memaksa, mengajak ke kamarnya. Di sana ada Seno, adiknya. Mungkin merasa tak enak, Seno keluar, tetapi kutarik tangan Seno.
“No, jangan pergi ! Aku ingin bicara di depanmu juga,” tegasku.
“Ada apa sih, On. Kita minum es teh saja, yuk. Panas banget nih,” kata Iyeng.
“Gak ! Aku hanya mau tahu,apa betul Abang sudah jadian dengan si Ika,” tanyaku.
“Bicara apa kamu, On ? Pasti kamu dengar semua dari si Retno ya. Dia itu cemburu dan iri sama kamu. Dia tak suka dengan hubungan kita,” jelas Iyeng sambil duduk di kursi yang membelakangiku.
“Semua cerita Retno itu benar. Barusan dari mana kamu ? Ngapain kamu nongkrong di teras rumah si Ika ?” tanyaku sambil menarik wajahnya agar berhadapan. Dia kaget. Wajahnya merah. Kutantang matanya. Ada kebohongan di matanya, dan itu sangat kelihatan. Niatku, jika dia berbohong akan kutampar mulutnya.
“Gak, On …”
Plakkk ! Spontan tanganku melayang ke mulutnya. Ampun, aku benar-benar sudah menampar mulutnya ! Mulut seorang pembohong ! Dia berdiri, mungkin hendak membalas tetapi segera dicegat Seno.
“Kalau kau jujur itu lebih terhormat. Aku sudah siap untuk memutuskan hubungan kita. Kau boleh melanjutkan hubunganmu dengan Ika. Tapi ingat, jangan permainkan anak orang ! Jangan sok playboy deh ! Bangga ya, banyak cewek yang suka sama kamu,” kataku sambil menatap tajam ke matanya.
“On, ibuku saja belum pernah menamparku,” katanya.
“Ya, iyalah, karena ibumu tak pernah tahu tingkah lakumu di sini,” balasku.
“Sudah. Sudah ! Kalian ini gimana sih ? Kenapa harus jadi begini ?” sela Seno.
“Abangmu ini yang kelewatan. Aku diminta bantu kerja tugasnya, sementara dia enak-enakan pergi pacaran sama cewek lain,” jelasku geram dan dengan nada sinis.
Iyeng diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkannya, aku tak mau tahu, dan keluar, lalu kembali ke rumahku. Aku tidak menangis saat itu, tidak juga menyesal telah menamparnya. Aku justru merasa puas, sudah membongkar kebohongannya. Dalam perjalanan pulang aku teringat sebuah kalimat nasihat dari cerita yang pernah kubaca, “Jika ingin melupakan seseorang yang dicintai, ingatlah semua hal buruk yang pernah dilakukannya, atau sifat-sifat buruk yang dimilikinya. Daftarkan semuanya !” Mungkin ini yang sangat membantuku melupakan semua kenangan tentang Iyeng. Kesimpulannya, kami memang tidak berjodoh !

Hari ini, di reuni, apakah Iyeng juga datang ? Minggu, 24 Agustus 2008, pukul 08.00, berdua suamiku, kami naik taksi menuju sekolah Kanisius Menteng. Pukul 09.00 setelah registrasi, ngobrol dengan teman seangkatan ; Febriyanti yang datang dengan putrinya karena suaminya bukan dari Sadhar, Sugeng sendirian karena istrinya meskipun dari Sadhar tetapi tinggal di Yogya, dan banyak teman dari jurusan lainnya. Pukul 10.00 misa di aula Kanisius. Usai misa dilanjutkan dengan acara makan siang. Berdua suami memilih berdiri sambil bersandar pada tembok di samping meja prasmanan. Masih ramai juga yang berdatangan.
“Itu si Iyeng datang,” kata suamiku mengagetkanku. “Gimana perasaanmu, takut ketemu dia ?” tanyanya menggodaku.
“Ah, biasa aja lagi,” jawabku sambil tertawa.
Tak lama kemudian ada seseorang yang mengulurkan tangan ke arahku setelah bersalaman dengan suamiku. Kuangkat wajahku, dia … Iyeng.
“Hai, apa kabar ?” sapanya tersenyum sambil menyalami tanganku dengan erat.
Belum sempat kujawab, istrinya – Ika – menyusul menyalamiku dengan ramah. Mereka terus berlalu untuk mengambil makanan bersama kedua anaknya.
Aku dan suami pun meninggalkan tempat itu, berpindah untuk mengambil buah, minuman, dan pudding. Setelah itu kami masuk kembali ke aula untuk melanjutkan acara lepas kangen.
“Tinggal di mana ?” tanya Iyeng yang ternyata sudah duduk di dekat kami berdua Febriyanti.
“Di Bekasi,” jawabku singkat.
“Aku juga di Bekasi, Harapan Indah. Kamu di Bekasi mana ?”
“Taman Kebalen Indah, Bekasi Utara.”
“Trus ngajar di mana ?”
“Di SMPK IPEKA Puri, Jakarta Barat.”
“Wah, jam berapa berangkat dari rumah ?”
“Jam lima.”
“Duh, jauh juga ya.”
“Ya, gitu deh. Namanya juga cari makan.”
Obrolan, lebih tepatnya tanya jawab kami terpotong karena ada seorang alumnus yang bertanya, dan dia berdiri untuk memotretnya.

Di luar sudah ramai. Banyak yang keluar mengambil minum dan snack. Suamiku ke toilet. Aku masih ngobrol dengan Ibu Sumaryati, teman guru semasa di sekolah Kanaan. Begitu aku ikut keluar, kulihat suamiku sedang berdiri ngobrol dengan Iyeng. Hah ? Aku tak langsung bergabung dengan mereka berdua tetapi memilih ngobrol dengan Nunung, Sugeng, dan Mas Basuki. Iyeng mendekatiku dan menanyakan teman lainnya.

Pukul 15.00 berdua suami pulang. Sepanjang perjalanan kami sama-sama diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku membayangkan saat kuliah Ilmu Sastra di kelas Pak Sudewo, aku duduk diapiti Iyeng dan lelaki yang kini menjadi suamiku. Teringat mereka berdua ngobrol tadi, aku tersenyum sendiri. Dulu, mereka berdua mengapitiku ; yang satu pacarku, yang satu temanku seasal. Kini, yang dulu teman seasal menjadi suamiku, sedangkan yang dulu pacarku, kuputuskan menjadi saudaraku. Iyeng, you are my brother !

Reuni yang berkesan. Aku berdamai dengan perasaanku, menghapus segala kebencian dengan senyuman persahabatan. Sanata Dharma yang mempertemukan kami, memisahkan kami, dan kini menyatukan kami kembali dalam kasih persaudaraan. Oh, indahnya sebuah reuni. Kapan lagi ya ?

“Kita tidak dapat memaafkan bila kita tidak menyadari bahwa kita butuh pengampunan, dan pengampunan adalah permulaan dari cinta."

Chairil Anwar Room, 25 Agustus 2008

Tidak ada komentar: