50 tahun sudah usiamu. Bak seorang oma yang sedang menikmati masa pensiun sambil menghabiskan hari-hari bersama para cucu, kini SMPK KARTINI pun memiliki ribuan anak cucu yang sudah tersebar di berbagai daerah. Untuk mengenang kembali masa-masa indah selama menimba ilmu di almamater, saya mempersembahkan tulisan ini untuk para alumni KARTINI. Masa yang paling berbahagia yang pernah saya rasakan adalah semua yang terjadi dan yang saya alami selama di SMPK KARTINI.
Tulisan ini sebetulnya sudah pernah dimuat di mingguan DIAN saat SMPK KARTINI merayakan pesta pancawindu dan reuni tahun 1994. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada almamater, kini saya merevisi lagi sebagai kado ulang tahun ke-50 SMPK KARTINI. Terima kasih banyak kepada Tuhan YME atas pimpinan dan berkatnya sehingga saya bisa mengingat kembali semuanya ini untuk ditulis lagi. Juga untuk kedua orang tua saya (Bapa Guru Theodorus Samu dan Mama Ross da Lima Sina di Mbay) yang sudah menyekolahkan saya di SMPK KARTINI. Mama saya juga dulu sekolah di Kartini.. Untuk suami saya tercinta Vitalis da Pessa yang sudah mendukung saya untuk menulis lagi cerita ini. Mamanya juga dulu di asrama susteran Kartini. Untuk semuanya yang saya sebutkan namanya dalam tulisan ini, thanxz banget karena kalianlah yang bikin cerita saya jadi hidup.
Mohon maaf bila ada kata yang menyinggung perasaan pembaca, terutama para suster dan bapak ibu guru yang saya nilai galak. Semuanya jadi indah dalam kenangan saya. Terima kasih untuk semuanya. Peace n Luv…
Tentang Sekolah …
KARTINI, pahlawan wanita, tokoh emansipasi. Semua mengetahui sejarahnya, semua menghafal lagunya ;“. . . pendekar bangsa, pendekar kaumnya . . .. . . harum namanya . . .”
SMPK KARTINI. Sangat terkenal dan populer di daerah Nusa Tenggara Timur. Sebuah sekolah khusus wanita yang bernapaskan Katolik. Gedung tua peninggalan para biarawati ‘londo’ yang mengabdikan diri bagi perkembangan dan kemajuan gereja serta pendidikan Katolik di Flores. Terletak dalam sebuah kompleks yang cukup luas, dan aman, di bawah naungan Yayasan St. Gabriel, asuhan para Susteran SSpS di Mataloko yang berhawa sejuk nan romantis.
Tahun 1983 saya mengikuti tes masuk dan dinyatakan “diterima” menjadi salah satu siswi SMPK Kartini. Bahagia sudah pasti, bangga apalagi, berhasil masuk sekolah favorit dan terkenal seperti Kartini. Puji Tuhan dan terima kasih kepada orang tua saya yang mau menyekolahkan saya di sekolah Kartini yang saat itu biayanya sudah mahal, terutama dengan fasilitas asrama yang bagus, lingkungan yang aman, dan disiplin
Tentang Guru-guruku . . .(Pahlawan Tanpa Tanda Jasa)
Saya duduk di kelas I A. Teman-teman saya berasal dari berbagai daerah di kabupaten Ngada. Wali kelas saya Ibu Klara Anu sekaligus guru Bahasa Indonesia. Gaya mengajar beliau menarik sekali, dengan gerakan tangan yang khas seperti mengipas sate, apalagi saat menjelaskan tentang majas hiperbola. Saya perlu mengabsen para guruku dulu. Ibu Monika Leke yang pendek, kriting, dan suaranya melengking, asal Jerebu’u, mengajar Biologi. Teriakan maut beliau semakin keras jika mengingatkan siswi-siswi yang nilai ulangannya merah. Bapak Darius Laga dari Mauponggo yang jadi ganteng sendiri karena terpujilah dia di antara wanita, mengajar Olah Raga. Jika diingat-ingat lagi stylenya Bapak yang satu ini, saya baru sadar bahwa guru olah raga paling aneh adalah beliau. Lulusan SMEA mengajar olah raga,dan setiap pelajaran praktek beliau memakai sepatu yang ujungnya runcing seperti sepatu Abunawas. Tapi kami bangga dengan keseriusan beliau mengabdikan diri di antara wanita. Paling sering (puas) menghukum saya dan Anas Puran berlutut di pojok kiri kanan kelas dekat tempat sampah. Saat saya sedang mengetik tentang Pak Darius, ada SMS dari Abang Marsel Lewa di Serang kabari bahwa Suster Roslin ada di rumahnya, mau ke Philipina. Nah, Suster Roslin ini dulu pacarnya Pak Darius waktu sekolah di Ende. Mereka sekampung dari Pusu. Saya ingat benar saat Pak Darius menyobek kertas ulangannya Merlin Bhari dengan penuh kesal, padahal kami semua tahu Merlin tak pernah bermasalah dengan beliau. Setelah diricek, ternyata beliau jengkel melihat Merlin ngobrol dengan Udis Aso, dan saat yang sama beliau sedang putus cinta dengan Suster Roslin yang kebetulan adalah kakak sepupunya Merlin. Guru PMP dan Sejarah, Ibu Brigita Rio. Gadis Riung ini sangat tegas dan galak sekali. Rambut selalu dipintal, penampilan rapi, baju kesayangannya blus warna pink lengan panjang dan rok biru sebetis. Guru paling galak yang saya jumpai di SMP. Kata-katanya pedas, dalam, dan nancap. Belum lagi soal ulangan, hampir seluruh isi buku jadi jawabannya. Makanya buku ulangan Sejarah dan PMP paling cepat diganti. Lima soal, tapi dari A sampai Z. Gila ! Kalau dapat nilai 6 saja sudah merasa bahagia sekali, apalagi 7 ke atas. Guru paling sedikit penggemar, tapi paling banyak dirumpiin. Sulit sekali memberi pujian pada murid, senyumnya pun tidak tulus. Paling suka menyindir. Jangan pernah salah menulis Bergita, beliau bisa marah besar. Harus ditulis benar, Brigita. Nasihatnya yang tak pernah saya lupakan, “Dunia akan menangis tersedu-sedu sepanjang masa bila seorang wanita jatuh, tetapi tetap terbahak-bahak walau seribu lelaki yang rusak.” Akhirnya ‘jatuh hati’ dan menjalin kasih dengan Bapak Darius Laga, disatukan dalam ikatan perkawinan. Rupanya mereka berjodoh ! Guru Geometri, Ibu Bibiana Padha. Siapa bilang guru matematika pasti killer dan dibenci murid ? Wow, sebaliknya dengan ibu guru asal Boawae ini. Kami sangat dekat dengan beliau karena keramahan beliau, dan sifat keibuan serta lemah lembutnya, juga penuh pengertian. Saya pernah berpikir, jika suatu saat menjadi guru, saya ingin seperti beliau. Kami merasa kehilangan tanpa kehadiran Ibu Bibi dalam sehari. Setiap istirahat pasti beliau dikerumuni anak-anak sambil bersenda gurau. Kalau ada teacher award saat itu, beliaulah idola kami. Ibu Maria Dhiu, guru Aljabar dan Aritmatika. Ini guru paling gaul dan heboh meskipun usia paling tua. Suasana kelas jadi seru walaupun belajar hitungan di siang bolong. Mungkin karena beliau adalah juga kepala TK sehingga bawaannya selalu ceria sepanjang hari seperti Peggy Melati Sukma, harum mewangi sepanjang hari. Meskipun bodynya jumbo tetapi energik dan lincah. Ibu Fransiska Rupak, Du’a bunga dari Maumere ini guru Kesenian yang paling cuek dan agak malas. Sering terlambat masuk kelas dengan alasan masih mengajar di SD belakang Kartini. Karena pacar dengan Om saya, beliau menyuruh saya menulis rapor muridnya di SD. Kebetulan tulisan saya lebih bagus dari beliau. Hahaha.. sorry banget Bu, ini semua nostalgia. Beliau menggantikan Bapak Silvester Dopo yang entah pindah ke mana waktu itu. Saya ingat Pak Sil melatih kami membentuk konfigurasi SMPK Kartini di lapangan tengah. Semua anak terlibat. Seru dan menyenangkan sekali. Suster Yosephine SSpS, guru PKK dan ibu asrama kami. Beliau juga adalah penasihat dan pembimbing bagi para siswi yang sudah mulai mengalami menstruasi. Dengan penuh kesabaran beliau mengajarkan bagaimana cara memakai pembalut. Ibu Bernadetha Wea, guru Bahasa Inggris yang baru lulus dari Undana Kupang ini cantik sekali. Kalau menyanyi syair lagunya Iwan Fals, “. . . guru Sirah bodi montok . . .” , saya terbayang Ibu Deth. Putih mulus, cantik, dan sexy, bikin mata segar kalau mengikuti pelajaran beliau. Dandanannya sederhana dan serasi sehingga enak dilihat. Meski sama-sama wanita tetapi kalau pemandangannya indah kan asyik juga, tidak bosan. Ada guru baru produk Jawa, namanya Bapak Bambang Kuswo asal Purwodadi, mengajar Aritmatika dan Menggambar. Tulisan beliau bagus sekali dan indah. Hanya anehnya, PR Aritmatika tidak pernah diperiksa atau dibahas. Kami sih senang-senang saja. Saya paling suka menggambar sehingga ‘tidak tega’ menyakiti hati Pak Bambang. Bapak Ignatius Sunar, guru Ekonomi dan Tata Buku, asal Klaten Jawa Tengah, menggantikan Bapak Petrus Mame Rabha yang menjadi pegawai tetap di Bajawa. Pak Sunar punya talenta di bidang seni tari, tetapi bicaranya kurang jelas. Aksen Jawanya yang kental membuat kami kadang bingung dan terbengong-bengong. Bapak Simon Ola Masan, guru Biologi pengganti Ibu Monika yang menjadi PNS dan ditempatkan di SMP Were. Bapak yang berkaca mata tebal ini asal Nagi, dan sangat berwibawa. Tampangnya agak seram tapi hatinya baik. Pegawai Tata Usaha kami Kakak Yuliana Ngora. Meskipun bekerja sendirian tetapi tak pernah mengeluh. Baik, rajin, dan teliti. Diomeli kepala sekolah pun tetap sabar. Dan yang tak mungkin terlupakan, Suster Pauly,SSps , sang Kepala Sekolah. Kecil mungil, pendek, tetapi galaknya seng ada lawan. Dengan logat Manggarai yang kental, selalu memulai omelannya dengan kata “potiwolo”. Kebiasaan beliau yang membekas di hati semua siswi Kartini saat itu adalah ‘kerajinan tangannya’ menarik kuping. Kalau saja kuping hanya di-lem/tempel saja, sudah berapa puluh, bahkan berapa ratus kuping yang terlepas. Tidak sedikit siswi yang merasa sakit hati atau mungkin juga dendam bila mengingat kebiasaan buruk sang kepala sekolah ini. Teman saya Ancella Wona, bahkan hingga kuliah di Yogya tak mau bersalaman dengan beliau ketika bertemu di gereja. Itulah para guru dan kepala sekolah saya, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka telah menjadikan semuanya jadi indah untuk dikenang.“ Trima kasihku… kuucapkan, pada guruku yang tulus…”
Tentang Asrama …
Di asrama yang persis bersebelahan dengan sekolah, kami hidup sebagai satu saudara, senasib dan seperjuangan di bawah satu atap, dengan ibu asrama yang sabar dan perhatian, Suster Yosephina. Kadang-kadang keras supaya kami disiplin, kadang-kadang galak supaya kami patuh dan tidak bandel, tetapi selalu penuh kasih dan kelembutan agar kami merasa betah dan damai seperti dengan orang tua di rumah. Memang susah menjadi seorang ibu bagi seratus lima puluhan anak dengan bermacam-macam karakter dan keunikannya masing-masing.
Bangun pagi jam 05.00. Udara Mataloko yang sangat dingin itu membuat kami kebal. Meski dengan ‘amat sangat’ terpaksa, setiap pagi buta kami harus ke gereja yang berjarak sekitar 300 meter dari asrama. Ada kapel suster tetapi tidak bisa menampung semua siswi Kartini. Yang boleh mengikuti misa di kapel suster hanya Ancella Wona, dan yang bertugas menyiapkan sarapan, karena harus membantu kakak-kakak KRT menyendok nasi jagung dari dandang sebesar drum untuk dibagi ke tempat nasi setiap meja. Kabut tebal, embun dingin, tidak peduli. Harus ! Ya, harus ke gereja, kecuali yang sakit dan yang non Katolik. Religius sekali !
Pulang dari gereja langsung ke kamar makan, menikmati hidangan istimewa, nasi jagung dan sup kacang buncis tanpa lauk. Kadang-kadang sup buncisnya dicampur tetelan daging uap yang sisa dari lauk para suster. Kami menikmatinya dengan sukacita. Mau protes ? Namanya juga hidup di asrama, ya identik dengan bersusah-susah dahulu. Apapun yang disiapkan oleh suster semuanya harus diterima dengan senang. Suasana makan ‘dimeriahkan’ oleh berbagai pengumuman untuk kegiatan sehari. Pernah juga terjadi insiden saat makan pagi, dipimpin oleh Kak Linda Benda (ketua OSIS), kami ramai-ramai demo karena nasi mentah. Sudah makannya nasi jagung, mentah pula. Untung Muder segera menenangkan sehingga tidak berkepanjangan.
Pukul 07.00 bel sekolah berbunyi. Pintu asrama dikunci oleh ibu asrama, semua menuju lapangan untuk senam pagi, lalu doa bersama, kemudian berbaris masuk ke kelas masing-masing dengan tertib. Selamat belajar anak-anak manis ! Selama jam sekolah tidak satu pun yang masuk ke kamar, kecuali yang tiba-tiba sakit atau menstruasi. Kunci pintu asrama dipegang oleh suster, sehingga tanpa seizin beliau tak boleh satu pun yang masuk kamar. Siswi yang sakit, jam 09.00 wajib ke poliklinik untuk berobat. Dengan demikian tidak ada istilah ‘pura-pura sakit’ karena takut dengan kewajiban tersebut.
Selama enam jam (waktu sekolah), kompleks sekolah dan asrama sangat sepi. Sayup-sayup hanya suara mesin las dari bengkel SVD yang terdengar, atau bunyi kendaraan yang masuk mengantar kiriman anak-anak asrama dari orang tuanya. Benar-benar situasi belajar yang ideal dan pantas didambakan oleh semua orang tua untuk putri-putrinya. Mau masuk kamar tidur selama jam sekolah tanpa ketahuan suster ? Gampang ! Lewat jendela pojok asrama ibu guru, kami dapat melompat dengan lincah karena posisinya yang agak rendah. Tapi bukan tanpa resiko, jika kedengaran suara mencurigakan, pasti ketahuan ibu asrama dan kepala sekolah yang kamarnya persis bersebelahan dengan kamar tidur kami. Selamatlah kalau beliau berdua sedang tidak masuk kamar dan mendengar bunyi lompatan. Jika lagi apes memang berat hukumannya.
Saat istirahat, kantin KRT dipenuhi para siswi. Sebutan KRT itu untuk kakak-kakak yang mengikuti kursus Ketrampilan Rumah Tangga dan sekaligus membantu para suster. Biasanya setelah lulus dari kursus KRT, mereka menjadi ‘rebutan’ para pemuda kampung masing-masing karena menganggap gadis-gadis ini sudah mahir memasak, menjahit, mencuci, menyetrika, siap menjadi ibu rumah tangga dan istri sejati. Di kantin itu tersedia bermacam-macam kue, juga es. Walau udaranya dingin tapi kami suka juga makan es. Ada juga ‘pasar kaget’ yang penjualnya adalah ‘uge-uge’ dari kampung sekitar asrama. Mereka menjual buah-buahan seperti alpukat, terung belanda, tomat, jeruk. Kami suka makan alpukat dicampur nasi jagung. Saat itu rasanya nikmat sekali. Ya, tak ada lauk alpukat pun jadi. Setiap awal bulan ada penukaran koin untuk jajan. Mobil BRI datang dan para siswi beramai-ramai menukar koin. Hal ini memudahkan transaksi jual beli di kantin yang harganya rata-rata Rp 50,00 – Rp 100,00
Pukul 13.40 WITA (kalau saya tak salah ingat), sekolah usai. Aturan lagi : tidak boleh ke mana-mana, langsung ke kamar makan, antri cuci tangan, ambil peralatan makan di rak masing-masing, lalu makan. Makan siang sudah ditakar di tempat nasi untuk enam orang semeja. Sayurannya pucuk labu ditumis tanpa bumbu lain, hanya garam. Kadang sawi yang daunnya sudah berlubang-lubang dimakan ulat. Lauknya ? Semuanya ada jadwal, hanya hari Selasa, Kamis, dan Minggu. Itu pun hanya ikan kering yang sudah lama menghuni gudang asrama. Dari bentuk dan aromanya sudah kelihatan lapuk dan kadaluwarsa. Tapi apa hendak dikata, itu saja yang didapat dan bisa dinikmati. Anehnya para orang tua, jika kami mengadu keadaan seperti itu mereka malah menasihati, “Anak, yang namanya tinggal di asrama memang begitu.” Kalah deh, seolah-olah para orang tua membenarkan kesalahan aturan gizi di asrama. Mereka terlalu yakin bahwa semua yang diberikan oleh para suster pasti yang terbaik buat kami. Orang tua tak pernah membela kami yang mengadu bahwa di dalam sayuran kami ada lintah atau ‘lema la’, atau setiap hari makan nasi jagung. Lagi-lagi dibilang siapa suruh masuk asrama ? Mau sendiri to !
Acara makan siang diselingi berbagai pengumuman yang seperti ‘litania’ hukuman bagi pelanggarnya. Ada yang lalai mengangkat jemuran, yang malas mencuci pakaian atau menumpuk-numpuk pakaian kotor di kamar mandi, yang ribut di kamar tidur, yang tidak mengikuti doa bersama, yang tidak ke gereja pagi, yang tidak melaksanakan tugas sore dengan serius, yang mencuri buah-buahan di kebun atau di kamar es, ah … banyaklah… (oya, susteran memiliki sebuah ruangan pendingin yang biasa disebut kamar es, tempat menyimpan semua persediaan makanan, daging, buah-buahan). Semua ‘dosa’ atau pelanggaran itu ditebus dengan hukuman tidak tidur siang, tapi mengangkut pupuk (kotoran) dari kandang babi dan ayam di belakang asrama ke kebun. Saya sering mendapat ‘kehormatan’ itu karena ribut di kamar tidur sehingga lama-lama menjadi kebal, dan rasa-rasanya lebih baik menjalankan ‘tugas mulia’ tersebut, daripada mendekam di kamar dan tidak bisa tidur. Hitung-hitung cuci matalah, lihat keramaian di jalanan. Kami seasrama pernah dihukum tidur siang di lapangan basket gara-gara tidak ada yang mengaku buka pintu tanpa kunci sehingga suster marah besar. Sumpah mati bukan saya lho !
Pukul 15.00 bangun dan laksanakan tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh ketua asrama setiap awal semester. Selama satu semester (setengah tahun) menjalankan tugas ; menyiram bunga di taman depan kamar mandi, di gua Maria belakang asrama, di taman rumah payung, taman Suster Almira, taman tengah asrama, menyapu dan mengepel kelas (tiga kelas), kamar tidur asrama, kamar makan, kamar mandi, memotong sayur di dapur, mencetak hosti, membantu Suster Wendelina di kandang, dan yang paling tersiksa adalah membersihkan beras dan jagung di gudang. Bayangkan, selama enam bulan bergumul dengan debu dan kutu beras. Letaknya sih strategis, bisa melihat siswa seminari yang lewat mengantar pakaian kotor para pastor ke kamar cuci. Tapi pemandangan berdebunya itu yang merusak penampilan. Tempat kerja yang paling ditunggu-tunggu semua anak asrama adalah kebun belakang biara dan got belakang gudang kayu. Kedua lokasi ini dekat jalan umum sehingga bisa sedikit ‘ngeceng’ di luar melihat orang-orang lewat.
Pukul 16.00 waktu untuk mandi dan bersih-bersih. Semua anak dengan ember dan peralatan mandi, ramai-ramai di kamar mandi. Pukul 16.30 mulai belajar sore sampai pukul 17.30. Selama jam belajar suasana sepi dan hening walau tak ada guru yang mengawasi. Jadi guru di Kartini sebetulnya menyenangkan dan tidak makan hati lho, karena tidak pusing mengurus ketertiban siswi. Para siswi sudah dengan sendirinya tertib dan disiplin dari asrama. Bila mendengar bunyi kunci, itu tandanya Suster Pauly akan lewat dari kantor ke kamarnya. Suasana makin sepi seperti di kuburan. Tak ada yang berani keluar, kebelet pipis sekalipun. Kebiasaan sang kepala sekolah yang suka menggoyang-goyangkan kunci ini sebetulnya sangat membantu kami, sebagai alarm bahwa ‘malapetaka’ akan datang. Segala aktifitas yang mengundang kemarahan beliau segera dihentikan agar lolos dari panggilan ‘potiwolo’ dan tarikan mautnya memelintir kuping. Bila ada tamu pada jam belajar, apa pun alasannya kadang-kadang ditolak dengan tegas oleh suster mungil ini, kecuali kematian.
Pukul 18.00 wajib doa rosario bersama di gua Maria belakang asrama, tempat pemakaman para suster. Biasanya setengah jam sebelumnya kami isi dengan bermain basket. Itu olahraga favorit anak Kartini. Semua anak menyukai olahraga tersebut karena sekaligus ajang balas dendam. Sengaja melempar bola dengan keras ke arah musuhnya, atau sengaja mencakar saat merebut bola, atau sengaja menjegal kakinya saat lari, itu semua bentuk balas dendam terhadap musuhnya di asrama yang paling jitu. Basket jugalah yang mengharumkan nama tim Kartini dalam setiap pertandingan antar sekolah di kecamatan Golewa. Ada Efra Longa dan alm. Yeni Benda yang paling jago saat itu, juga Tevi Wea.
Pukul 18.30 makan malam. Bicara lagi soal menu rasanya bosan dan sakit hati. Kalau kebetulan mendapat kiriman lauk dari orang tua sih makannya lahap, tapi kan tidak setiap hari dikirimi lauk. Beruntung sekali saya semeja makan dengan Mien Lawi yang rumahnya di kampung Lio, belakang asrama. Dapurnya saja kelihatan dari gua Maria. Setiap sore mamanya mengirim sambal, kadang-kadang ikan goreng sehingga menu kami semeja makan agak beda dengan yang lain. Anak asrama semuanya jago makan sambal karena satu-satunya pemancing napsu makan adalah sambal. Ada menu makan malam yang agak aneh adalah ‘uta tabha’. Ini sejenis makanan khas dari daerah Mataloko, Mangulewa, Bajawa, yang bahan pokoknya dari jagung giling dicampur kacang-kacangan, dimasak seperti bubur dan asli tawar. Ini menu spesial di masa puasa yang salah satu pantangannya adalah garam. Mungkin dengan pertimbangan itulah muncul ide para suster untuk menyajikan ‘uta tabha’, sekaligus melestarikan masakan khas daerah Bajawa. Namanya juga asrama, tanpa kecuali, tanpa pilihan lain, kami menikmatinya dengan lahap walau terpaksa. Uta tabha menyatukan lidah dan rasa dari berbagai kalangan ekonomi dan latar belakang keluarga. Dari anak pejabat, pengusaha Cina, guru dan pegawai, sampai anak petani, semuanya sama…menikmati hidangan lezat tersebut dari suster tercinta. Kami memang dididik untuk menjadi orang yang kelak bisa hidup sederhana, prihatin, dan sabar. Sesudah makan setiap anak mencuci piring masing-masing, merapikannya di rak piring. Yang bertugas mengambil ‘kan’ air wajib menyiapkan minuman untuk setiap meja, lalu mengembalikan ‘kan-kan’ air itu di dapur. Berat ‘kan’ air dua kali lipat berat air sehingga harus diangkat oleh dua orang. Kami senang melakukan semuanya. Ya, belajar saling melayani sesama.
Pukul 19.15 hingga 20.30 belajar malam di kelas masing-masing. Suasana kembali sepi dan hening. Teringat pernah ada orang iseng melempar jendela kelas, semuanya lari…berebutan keluar dari kelas menuju kamar tidur. Akibatnya Lien Mitang sampai terkilir tangannya karena terinjak saat rebutan keluar kelas. Akhir dari semua kegiatan seharian ditutupi dengan doa malam bersama di kelas III yang ruangannya paling besar. Masih teringat lagu wajib setiap doa malam ;“Dalam untung malangku… Engkaulah harapanku…” Kini lagu itu menjadi lagu wajib juga dalam doa malam keluarga saya. Pujian malam yang sangat berkesan.
Pukul 21.00, dengan tenang dan tertib semua antri menunggu pintu kamar tidur dibuka ibu asrama. Seperti domba masuk ke kandangnya, satu-persatu menuju tempat tidur masing-masing tanpa suara (tidak boleh membawa buku pelajaran ke kamar tidur) lalu ke kamar mandi sikat gigi dan cuci kaki. Asrama sengaja tidak menyediakan kasur agar anak tidak manja, tetapi ada beberapa siswi yang membawa kasur dari rumah, termasuk saya. Selimut tebal, kaos kaki, dan baju hangat, itu perlengkapan tidur di asrama. Tempat tidur besi dan tingkat disiapkan asrama.
Pukul 21.30 semua lampu dimatikan oleh ibu asrama, diiringi doa “Roh Kudus Allah, semuanya karena cintaku pada-Mu. Amin.” Selamat tidur anak-anak manis, bermimpilah yang indah-indah. Itulah rutinitas kami di asrama, berlangsung dari tahun ke tahun, turun-temurun.
Hiburan ?? Asrama memiliki TV 27 inchi yang diletakkan di kamar makan sekaligus ruang rekreasi. Untuk menonton, tergantung ‘mood’ para susternya. Lebih sering TV nganggur, sekedar pajangan di kamar makan, dengan antena luar yang sangat tinggi, pertanda asrama Kartini memiliki benda berharga yang masih jarang dimiliki penduduk sekitarnya saat itu. Tidaklah heran jika pengetahuan umum kami saat itu sangat minim, karena jangankan koran yang susah didapat, TV di depan mata saja susah juga mendapat izinan untuk menonton. Saya yakin adik-adik yang sekarang pengetahuan umunya tidak ‘semiskin’ kami dulu. Ruang baca kami dulu hanya disediakan buku-buku cerita zaman bahoela, cerita santo-santa. Ada juga cerita populer, tapi sedikit. Saya suka membaca Petualangan 5 Sekawan karya Ennid Blyton.
Acara malam minggu : renungan kitab suci. Kadang-kadang nonton film, berkat kebaikan dan kemurahan hati Pater Zezlaus SVD, si pembawa Kabar Gembira. Filmnya asyik-asyik, pas buat usia ABG. Ada film barat, ada film-film komedi Indonesia. Pater Zez punya beberapa anak angkat, salah satunya teman saya Relly Wele dari Mangulewa. Terima kasih Pater Zez ! Minggu malam baru rekreasi bersama, menyanyi, menari, main kartu, ngerumpi, pokoknya bersenang-senanglah. Belajarnya sudah di pagi hari setelah dari gereja, dan sore hari sebelum makan malam.
Semua acara di asrama memang tergantung selera ibu asramanya. Lain orang, lain maunya. Setelah Suster Yosephina pindah ke Hokeng, ibu asrama diganti Suster Monika. Mirip dengan Suster Pauly, kecil mungil, pendek, tapi tidak galak. Rupanya mereka memang sekampung dari Manggarai. Suster Pauly melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kepala sekolah diganti oleh Ibu Klara Anu. Suasana di sekolah jadi lebih asyik dan menyenangkan tanpa kehadiran Suster Pauly yang galak itu. Maaf ya Suster ! Sebagai ibu asrama merangkap ketua dapur, menu makan yang diatur oleh Suster Monika pun beda, sudah ada nilai gizinya. Beliau sangat perhatian, yang sakit disapa dengan lembut sambil memijit tangan atau kaki si sakit. Ini produk Manggarai yang eksklusif dibanding dengan mantan kepala sekolah kami. Boro-boro disayang-sayang, semua anak dipanggil potiwolo yang ternyata artinya setan dari gunung. Kira-kira dosa gak sih katain orang begitu ? Tapi karena beliau seorang pemimpin ya…manut sajalah. Oya, sebelum Suster Monika datang, ibu asrama sempat dijabat oleh Suster Paulista. Ini suster paling pilih kasih sehingga banyak siswi kurang suka. Saya termasuk yang dikasihi karena masih keluarga, tetapi pernah juga saya bermasalah dengan beliau. Gara-gara melawan, beliau mengadu ke Ibu Brigita yang waktu itu menjadi wali kelas saya. Habis deh, saya diomeli Ibu Gita sampai menangis tersedu-sedu lalu disuruh harus minta maaf pada Suster Paulista. Begitu saya ke kamar cuci tempat beliau bekerja, saya dipeluk dengan penuh kasih. Sejak itu kasih dan perhatiannya pada saya begitu besar. Ada juga kakak KRT yang baik sekali dengan saya, Kak Maria Na’u dan Kak Yasinta Meo.
Tentang Teman-teman …
Tadi cerita tentang sekolah,para guru dan para suster, dan asrama, sekarang saatnya saya mengabsen teman-teman, sahabat-sahabat, musuh-musuh, juga rival-rivalku semasa SMP. Halo semuanya… apa kabar ??Di asrama yang menampung sekitar 150-an siswi dari berbagai daerah membuat kita saling mengenal sifat dan tingkah laku. Ada yang pendiam, cerewet, munafik, bandel, ya…macam-macamlah. Teman-teman se-geng saya dulu ; Domitilla Fengi, Yohana Nelu, Siska Dhera, Onna Sakera, Im Nay Lado, Tevi Wea, Oce Go’o, di mana kalian berada sekarang ? Ada rindu untuk bertemu, bercerita lagi kisah-kisah gila kita dulu. Masih ingat waktu kita dirotani Suster Yosephina di gudang peti karena kita curi daging gorengnya Selly Mau dan Erry Edo ? Saat mengetik ini saya tertawa sendiri, membayangkan wajah kita meringis kesakitan melihat betis mulus jadi biru. Ternyata mamanya Selly Mau dan Erry Edo itu teman baik mama saya sejak di Kartini sampai di SGB Jopu. Masih ingat waktu kita rebutan beli pisang gorengnya Mien Lawi yang saya jual di kamar tidur saat lampu sudah dimatikan suster ? Lalu waktu kita sok jadi pendaki gunung, hari minggu ke Wolosasa gak jelas buat apa di sana, malah petik pisang di hutannya seminari ? Dan yang lebih seru saat kita bersaing menunjukkan surat-surat dari anak seminari. Kak Titus Puling bisa mengirim surat untuk beberapa orang, dan diam-diam kita menyimpan rasa yang sama buat dia. Sialan juga tuh orang, tapi sekarang sudah jadi pastor di Argentina. Pernah bertemu saya di Jakarta dan tanpa malu-malu dia cerita lagi pada suami saya. Ada lagi Tonny Retu si badung itu berapa kali mengirim surat untuk saya dan kalian ramai-ramai mengejek saya. Sebetulnya saya suka dengan badungnya Toni saat itu, keren…! Yang paling seru waktu saya terima surat dari Felix Djawa, dan Im terima surat dari Kak Yoseph Godho. Itu semua kenangan yang tak pernah terlupakan. Kapan ya kita bercerita lagi ???
Masih ada lagi teman-teman yang punya story lain yaitu Angela Wea, Merlyn Bhari, Vivi Mole, Udis Aso, Agus Milo, dan Eda Ngole. Kami dipercayakan untuk menjaga kamar Ibu Deth dan Ibu Gita saat beliau berdua penataran di Kupang dan Denpasar selama seminggu. Bukan hanya dengar lagu, tetapi tangan kami ‘rubu-raba’ di laci meja Ibu Gita dan menemukan catatan rahasia tentang hubungan cinta Ibu Gita dengan Pak Darius. Alamak, hal yang paling rahasia bagi Ibu Gita malah jadi ketahuan oleh kami bertujuh. Akibatnya ? Di rapor kami tertulis kelakuan “kurang”. Gara-gara dilapor Sin Goma yang masih saudaranya Ibu Gita. Kami dipanggil, disidangkan, tapi untung tidak dikeluarkan. Padahal kami sudah bela-belain mengantar kedua ibu guru kami itu ke bandara Padhamaleda sampai pulangnya dihukum suster ibu asrama. Ya, itu semua kenangan. Begitu kami lulus, Ibu Gita sedang hamil sehingga tidak lagi marah-marah, mungkin biar bayinya tidak galak.
EBTA/EBTANAS selesai. Angkatan kami lulus 100% dengan NEM tertinggi Angella Wea untuk se-NTT. Urutan keduanya juga dari Kartini, Sandy Djuang. Bravo Angella dan Sandy ! Kami semua bangga dengan kesuksesan mereka yang mengharumkan nama Kartini. Kami juga bahagia dengan kesuksesan kami 33 orang.
Kebahagiaan kami dirayakan dengan acara piknik bersama di pantai Aimere sebagai perpisahan dengan adik kelas dan bapak ibu guru. Naik truk ramai-ramai. Seru dan asyik karena lolos dari kronik yang dibuat oleh adik kelas. Salah satu kebiasaan pada malam perpisahan adalah pembacaan kronik yang membuat kita berdebar-debar menunggu penilaian adik kelas terhadap kakak-kakak selama kebersamaan di sekolah dan asrama. Yang baik-baik dan pendiam sih pasti tak perlu cemas, tapi yang bandel dan suka melawan pasti dikritik habis-habisan. Bagus juga sih, biar bisa memperbaiki diri bila sudah angkat kaki dari Kartini. Adik-adik yang cukup dekat dengan saya dulu itu Yuli Engo, Anny Boro, Aylin Laliwea, Onny Depa, dan Etty Separ. Lainnya biasa-biasa saja.
Lain-lain ...
KARTINI. Menyimpan banyak kenangan, banyak harapan, banyak cita-cita, dan banyak perasaan yang tak sempat terungkap. Di Kartini saya pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Bila diingat lagi, saya tertawa sendiri. Saat menulis baris ini tak sadar saya terbahak sendiri. Ceritanya, suatu hari minggu ada siswa seminari datang ke Kartini, dia yang pernah mengirim surat buat saya. Dia bersama temannya. Saya pura-pura keluar dari kamar makan (pas lagi makan pagi), dengan alasan ke dapur. Maksud hati mau lihat ‘pangeran’, eh…duluan ketahuan Suster Pauly. Saya dipanggil ke kelas I, dijewernya kuping saya (sambil ditarik-tarik lagi), lalu diceramahi selama satu jam, seolah-olah saya melakukan kesalahan terbesar di dunia. Sialan, gara-gara Tonny Retu nih. Saya menangis, saya benci pada Suster Pauly, saya dendam sekali padanya. Saya merasa antara kami berdua seperti musuh besar. Setiap tingkah laku, gerak-gerik dan perbuatan saya, rasa-rasanya tak ada yang beres di mata suster yang super galak itu. Mungkin itu hanya perasaan saya saja karena setibanya di Yogya tahun 1998, justru Suster Pauly yang pertama mencari saya. Waktu itu saya mengikuti tes di STFK Pradnyawidya yang juga kampus beliau. Melihat ada nama saya di daftar peserta yang lulus, beliau menunggu saya di gerbang kampus. Oh my God ! Kami berpelukan seperti teletubies, tanpa sungkan-sungkan, tanpa malu-malu, serasa lupa dengan semua rasa dendam yang pernah ada di hati. Yang ada saat itu hanya rasa rindu dan bahagia, bertemu dengan mantan kepala sekolah yang galaknya minta ampun. Lupalah rasa sakit yang pernah dialami semasa SMP. Meski aura galak dan sinisnya belum hilang tetapi setidaknya sudah agak ramah dan lembut. Mungkin lingkungan dan budaya Jawa yang mempengaruhi semuanya itu. Saya pun berbisik, “Suster, sekarang kita sama-sama mahasiswa lho !” Beliau hanya tersenyum (malu-malu) sambil terus menggenggam tangan saya. Kangen berat ni ye…
Berpisah dari Kartini baru saya sadar dan merasakan betapa beruntungnya saya bisa mendapatkan banyak hal dan pelajaran selama di sekolah dan di asrama. Rasa disiplin, tanggung jawab, toleransi, setia kawan, ah… banyaklah. Namun, tak ada gading yang tak retak. Ada ketimpangan dalam membina pergaulan siswi dengan lawan jenis. Ketahuan bersurat-suratan, apalagi sampai berpacaran, kita disidangkan seolah-olah melakukan tindakan kejahatan. Belum saatnya berpacaran, masih kecil, itu alasan utamanya. Tetapi arahkan dengan kata-kata yang bijak dan menyenangkan sehingga tidak membuat siswi yang bersangkutan sakit hati dan membuat luka di batinnya. Padahal apalah artinya sih pacaran masa itu yang hanya kirim-kirim surat (berawal dari April Mop), lalu bertemu setiap hari minggu pesiar, jalan bersama dari depan poliklinik sampai depan rumah Om Anton de Ornay, lalu balik lagi. Pegangan tangan saja tidak. Biasalah, hanya cerita-cerita sambil menghitung kerikil yang diinjak. Saat itu rasanya puas dan bahagia, pulang asrama bisa tidur bolak-balik, terbayang terus. Dasar cinta monyet ! Tapi ada lho yang langgeng sampai pelaminan, Sandy Djuang dan Kak Valen Dakiso’o, Quien Mole dan Kak Yust Djogo, Kak Abraham Runga dan Cici Dhone, Kak Aloysius Bhui dan Helen Muga. Itu seputar indahnya jatuh cinta di Kartini.
KARTINI. Sekolah yang punya acara turun-temurun “Malam Pertemuan”. Malam yang paling ditakuti. Bagaimana tidak, malam yang situasinya tegang seperti di hadapan pengadilan. Semua kesalahan terhadap siapa pun dalam perkataan dan perbuatan selama dalam kebersamaan sehari-hari, sebulan sekali disidangkan. Moderatornya adalah ketua OSIS. Tidak sedikit yang sampai menangis karena takut dan malu, terutama adik-adik kelas I yang masih baru di asrama. Tanpa mengenal usia atau tingkatan kelas, yang salah wajib meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan banyak orang. Ya, kita bisa belajar memaafkan, mengakui kesalahan, sabar, rendah hati, dan terutama saling menghargai dalam kehidupan bersama.
KARTINI. Entahlah seperti apa keadaannya sekarang, namun dalam ingatan saya, Kartini adalah sekolah favorit, sekolah impian orang tua bagi para putrinya, dan tetaplah sekolah khusus putri. Sayang, tidak ada dokumentasi atau foto-foto karena masa saya dulu bisa dihitung tukang foto yang ada di Mataloko, paling-paling di rumah Baba San yang fotonya hari ini baru jadi sebulan kemudian. Tapi tetap ada kenangan waktu foto di studio alam Baba San alias di depan rumahnya. Gara-gara pergi foto di sana, saya dapat surat cinta dari anak Ndao (saya lupa namanya) yang sedang berlibur dengan anaknya Baba San. Surat itu diantar Rini Supit via pagar belakang kelas III. Lucu juga kalau diingat-ingat.
KARTINI. Sekolah yang bersebelahan dengan kompleks pensiunan dan SD Mataloko. Dengan demikian kami pun bersahabat dengan para tetangga seperti keluarga Bapak Michael Remi, keluarga Bapak Felix Djawaria, keluarga Bapak Rofinus Longa, keluarga Bapak Yan Nai, keluarga Bapak Daud L. Bara, keluarga Ongko Leo, keluarga Bapak Agus Bay, keluarga si kembar Itho dan Boto, dan masih banyak lagi yang saya lupa namanya. Ada kios Aci Since yang menjadi langganan anak Kartini dan sering pula ‘dibohongi’ kalau sedang ramai-ramainya belanja. Ambil permen lima tapi ngakunya dua. Terlalu ko… Ternyata siswa seminari juga begitu la… (pengakuan dari Pian da Gomez. Pantas dia dicedok !). Sorry Aci ! Biarlah Tuhan yang mengampuni kami !
Teman-temanku Seangkatan. .
“Sahabat setiawan merupakan perlindungan yang kokoh, barangsiapa menemukan orang serupa itu sungguh mendapat harta.” Sirakh 6 :14
Tulisan ini sebetulnya sudah pernah dimuat di mingguan DIAN saat SMPK KARTINI merayakan pesta pancawindu dan reuni tahun 1994. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada almamater, kini saya merevisi lagi sebagai kado ulang tahun ke-50 SMPK KARTINI. Terima kasih banyak kepada Tuhan YME atas pimpinan dan berkatnya sehingga saya bisa mengingat kembali semuanya ini untuk ditulis lagi. Juga untuk kedua orang tua saya (Bapa Guru Theodorus Samu dan Mama Ross da Lima Sina di Mbay) yang sudah menyekolahkan saya di SMPK KARTINI. Mama saya juga dulu sekolah di Kartini.. Untuk suami saya tercinta Vitalis da Pessa yang sudah mendukung saya untuk menulis lagi cerita ini. Mamanya juga dulu di asrama susteran Kartini. Untuk semuanya yang saya sebutkan namanya dalam tulisan ini, thanxz banget karena kalianlah yang bikin cerita saya jadi hidup.
Mohon maaf bila ada kata yang menyinggung perasaan pembaca, terutama para suster dan bapak ibu guru yang saya nilai galak. Semuanya jadi indah dalam kenangan saya. Terima kasih untuk semuanya. Peace n Luv…
Tentang Sekolah …
KARTINI, pahlawan wanita, tokoh emansipasi. Semua mengetahui sejarahnya, semua menghafal lagunya ;“. . . pendekar bangsa, pendekar kaumnya . . .. . . harum namanya . . .”
SMPK KARTINI. Sangat terkenal dan populer di daerah Nusa Tenggara Timur. Sebuah sekolah khusus wanita yang bernapaskan Katolik. Gedung tua peninggalan para biarawati ‘londo’ yang mengabdikan diri bagi perkembangan dan kemajuan gereja serta pendidikan Katolik di Flores. Terletak dalam sebuah kompleks yang cukup luas, dan aman, di bawah naungan Yayasan St. Gabriel, asuhan para Susteran SSpS di Mataloko yang berhawa sejuk nan romantis.
Tahun 1983 saya mengikuti tes masuk dan dinyatakan “diterima” menjadi salah satu siswi SMPK Kartini. Bahagia sudah pasti, bangga apalagi, berhasil masuk sekolah favorit dan terkenal seperti Kartini. Puji Tuhan dan terima kasih kepada orang tua saya yang mau menyekolahkan saya di sekolah Kartini yang saat itu biayanya sudah mahal, terutama dengan fasilitas asrama yang bagus, lingkungan yang aman, dan disiplin
Tentang Guru-guruku . . .(Pahlawan Tanpa Tanda Jasa)
Saya duduk di kelas I A. Teman-teman saya berasal dari berbagai daerah di kabupaten Ngada. Wali kelas saya Ibu Klara Anu sekaligus guru Bahasa Indonesia. Gaya mengajar beliau menarik sekali, dengan gerakan tangan yang khas seperti mengipas sate, apalagi saat menjelaskan tentang majas hiperbola. Saya perlu mengabsen para guruku dulu. Ibu Monika Leke yang pendek, kriting, dan suaranya melengking, asal Jerebu’u, mengajar Biologi. Teriakan maut beliau semakin keras jika mengingatkan siswi-siswi yang nilai ulangannya merah. Bapak Darius Laga dari Mauponggo yang jadi ganteng sendiri karena terpujilah dia di antara wanita, mengajar Olah Raga. Jika diingat-ingat lagi stylenya Bapak yang satu ini, saya baru sadar bahwa guru olah raga paling aneh adalah beliau. Lulusan SMEA mengajar olah raga,dan setiap pelajaran praktek beliau memakai sepatu yang ujungnya runcing seperti sepatu Abunawas. Tapi kami bangga dengan keseriusan beliau mengabdikan diri di antara wanita. Paling sering (puas) menghukum saya dan Anas Puran berlutut di pojok kiri kanan kelas dekat tempat sampah. Saat saya sedang mengetik tentang Pak Darius, ada SMS dari Abang Marsel Lewa di Serang kabari bahwa Suster Roslin ada di rumahnya, mau ke Philipina. Nah, Suster Roslin ini dulu pacarnya Pak Darius waktu sekolah di Ende. Mereka sekampung dari Pusu. Saya ingat benar saat Pak Darius menyobek kertas ulangannya Merlin Bhari dengan penuh kesal, padahal kami semua tahu Merlin tak pernah bermasalah dengan beliau. Setelah diricek, ternyata beliau jengkel melihat Merlin ngobrol dengan Udis Aso, dan saat yang sama beliau sedang putus cinta dengan Suster Roslin yang kebetulan adalah kakak sepupunya Merlin. Guru PMP dan Sejarah, Ibu Brigita Rio. Gadis Riung ini sangat tegas dan galak sekali. Rambut selalu dipintal, penampilan rapi, baju kesayangannya blus warna pink lengan panjang dan rok biru sebetis. Guru paling galak yang saya jumpai di SMP. Kata-katanya pedas, dalam, dan nancap. Belum lagi soal ulangan, hampir seluruh isi buku jadi jawabannya. Makanya buku ulangan Sejarah dan PMP paling cepat diganti. Lima soal, tapi dari A sampai Z. Gila ! Kalau dapat nilai 6 saja sudah merasa bahagia sekali, apalagi 7 ke atas. Guru paling sedikit penggemar, tapi paling banyak dirumpiin. Sulit sekali memberi pujian pada murid, senyumnya pun tidak tulus. Paling suka menyindir. Jangan pernah salah menulis Bergita, beliau bisa marah besar. Harus ditulis benar, Brigita. Nasihatnya yang tak pernah saya lupakan, “Dunia akan menangis tersedu-sedu sepanjang masa bila seorang wanita jatuh, tetapi tetap terbahak-bahak walau seribu lelaki yang rusak.” Akhirnya ‘jatuh hati’ dan menjalin kasih dengan Bapak Darius Laga, disatukan dalam ikatan perkawinan. Rupanya mereka berjodoh ! Guru Geometri, Ibu Bibiana Padha. Siapa bilang guru matematika pasti killer dan dibenci murid ? Wow, sebaliknya dengan ibu guru asal Boawae ini. Kami sangat dekat dengan beliau karena keramahan beliau, dan sifat keibuan serta lemah lembutnya, juga penuh pengertian. Saya pernah berpikir, jika suatu saat menjadi guru, saya ingin seperti beliau. Kami merasa kehilangan tanpa kehadiran Ibu Bibi dalam sehari. Setiap istirahat pasti beliau dikerumuni anak-anak sambil bersenda gurau. Kalau ada teacher award saat itu, beliaulah idola kami. Ibu Maria Dhiu, guru Aljabar dan Aritmatika. Ini guru paling gaul dan heboh meskipun usia paling tua. Suasana kelas jadi seru walaupun belajar hitungan di siang bolong. Mungkin karena beliau adalah juga kepala TK sehingga bawaannya selalu ceria sepanjang hari seperti Peggy Melati Sukma, harum mewangi sepanjang hari. Meskipun bodynya jumbo tetapi energik dan lincah. Ibu Fransiska Rupak, Du’a bunga dari Maumere ini guru Kesenian yang paling cuek dan agak malas. Sering terlambat masuk kelas dengan alasan masih mengajar di SD belakang Kartini. Karena pacar dengan Om saya, beliau menyuruh saya menulis rapor muridnya di SD. Kebetulan tulisan saya lebih bagus dari beliau. Hahaha.. sorry banget Bu, ini semua nostalgia. Beliau menggantikan Bapak Silvester Dopo yang entah pindah ke mana waktu itu. Saya ingat Pak Sil melatih kami membentuk konfigurasi SMPK Kartini di lapangan tengah. Semua anak terlibat. Seru dan menyenangkan sekali. Suster Yosephine SSpS, guru PKK dan ibu asrama kami. Beliau juga adalah penasihat dan pembimbing bagi para siswi yang sudah mulai mengalami menstruasi. Dengan penuh kesabaran beliau mengajarkan bagaimana cara memakai pembalut. Ibu Bernadetha Wea, guru Bahasa Inggris yang baru lulus dari Undana Kupang ini cantik sekali. Kalau menyanyi syair lagunya Iwan Fals, “. . . guru Sirah bodi montok . . .” , saya terbayang Ibu Deth. Putih mulus, cantik, dan sexy, bikin mata segar kalau mengikuti pelajaran beliau. Dandanannya sederhana dan serasi sehingga enak dilihat. Meski sama-sama wanita tetapi kalau pemandangannya indah kan asyik juga, tidak bosan. Ada guru baru produk Jawa, namanya Bapak Bambang Kuswo asal Purwodadi, mengajar Aritmatika dan Menggambar. Tulisan beliau bagus sekali dan indah. Hanya anehnya, PR Aritmatika tidak pernah diperiksa atau dibahas. Kami sih senang-senang saja. Saya paling suka menggambar sehingga ‘tidak tega’ menyakiti hati Pak Bambang. Bapak Ignatius Sunar, guru Ekonomi dan Tata Buku, asal Klaten Jawa Tengah, menggantikan Bapak Petrus Mame Rabha yang menjadi pegawai tetap di Bajawa. Pak Sunar punya talenta di bidang seni tari, tetapi bicaranya kurang jelas. Aksen Jawanya yang kental membuat kami kadang bingung dan terbengong-bengong. Bapak Simon Ola Masan, guru Biologi pengganti Ibu Monika yang menjadi PNS dan ditempatkan di SMP Were. Bapak yang berkaca mata tebal ini asal Nagi, dan sangat berwibawa. Tampangnya agak seram tapi hatinya baik. Pegawai Tata Usaha kami Kakak Yuliana Ngora. Meskipun bekerja sendirian tetapi tak pernah mengeluh. Baik, rajin, dan teliti. Diomeli kepala sekolah pun tetap sabar. Dan yang tak mungkin terlupakan, Suster Pauly,SSps , sang Kepala Sekolah. Kecil mungil, pendek, tetapi galaknya seng ada lawan. Dengan logat Manggarai yang kental, selalu memulai omelannya dengan kata “potiwolo”. Kebiasaan beliau yang membekas di hati semua siswi Kartini saat itu adalah ‘kerajinan tangannya’ menarik kuping. Kalau saja kuping hanya di-lem/tempel saja, sudah berapa puluh, bahkan berapa ratus kuping yang terlepas. Tidak sedikit siswi yang merasa sakit hati atau mungkin juga dendam bila mengingat kebiasaan buruk sang kepala sekolah ini. Teman saya Ancella Wona, bahkan hingga kuliah di Yogya tak mau bersalaman dengan beliau ketika bertemu di gereja. Itulah para guru dan kepala sekolah saya, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka telah menjadikan semuanya jadi indah untuk dikenang.“ Trima kasihku… kuucapkan, pada guruku yang tulus…”
Tentang Asrama …
Di asrama yang persis bersebelahan dengan sekolah, kami hidup sebagai satu saudara, senasib dan seperjuangan di bawah satu atap, dengan ibu asrama yang sabar dan perhatian, Suster Yosephina. Kadang-kadang keras supaya kami disiplin, kadang-kadang galak supaya kami patuh dan tidak bandel, tetapi selalu penuh kasih dan kelembutan agar kami merasa betah dan damai seperti dengan orang tua di rumah. Memang susah menjadi seorang ibu bagi seratus lima puluhan anak dengan bermacam-macam karakter dan keunikannya masing-masing.
Bangun pagi jam 05.00. Udara Mataloko yang sangat dingin itu membuat kami kebal. Meski dengan ‘amat sangat’ terpaksa, setiap pagi buta kami harus ke gereja yang berjarak sekitar 300 meter dari asrama. Ada kapel suster tetapi tidak bisa menampung semua siswi Kartini. Yang boleh mengikuti misa di kapel suster hanya Ancella Wona, dan yang bertugas menyiapkan sarapan, karena harus membantu kakak-kakak KRT menyendok nasi jagung dari dandang sebesar drum untuk dibagi ke tempat nasi setiap meja. Kabut tebal, embun dingin, tidak peduli. Harus ! Ya, harus ke gereja, kecuali yang sakit dan yang non Katolik. Religius sekali !
Pulang dari gereja langsung ke kamar makan, menikmati hidangan istimewa, nasi jagung dan sup kacang buncis tanpa lauk. Kadang-kadang sup buncisnya dicampur tetelan daging uap yang sisa dari lauk para suster. Kami menikmatinya dengan sukacita. Mau protes ? Namanya juga hidup di asrama, ya identik dengan bersusah-susah dahulu. Apapun yang disiapkan oleh suster semuanya harus diterima dengan senang. Suasana makan ‘dimeriahkan’ oleh berbagai pengumuman untuk kegiatan sehari. Pernah juga terjadi insiden saat makan pagi, dipimpin oleh Kak Linda Benda (ketua OSIS), kami ramai-ramai demo karena nasi mentah. Sudah makannya nasi jagung, mentah pula. Untung Muder segera menenangkan sehingga tidak berkepanjangan.
Pukul 07.00 bel sekolah berbunyi. Pintu asrama dikunci oleh ibu asrama, semua menuju lapangan untuk senam pagi, lalu doa bersama, kemudian berbaris masuk ke kelas masing-masing dengan tertib. Selamat belajar anak-anak manis ! Selama jam sekolah tidak satu pun yang masuk ke kamar, kecuali yang tiba-tiba sakit atau menstruasi. Kunci pintu asrama dipegang oleh suster, sehingga tanpa seizin beliau tak boleh satu pun yang masuk kamar. Siswi yang sakit, jam 09.00 wajib ke poliklinik untuk berobat. Dengan demikian tidak ada istilah ‘pura-pura sakit’ karena takut dengan kewajiban tersebut.
Selama enam jam (waktu sekolah), kompleks sekolah dan asrama sangat sepi. Sayup-sayup hanya suara mesin las dari bengkel SVD yang terdengar, atau bunyi kendaraan yang masuk mengantar kiriman anak-anak asrama dari orang tuanya. Benar-benar situasi belajar yang ideal dan pantas didambakan oleh semua orang tua untuk putri-putrinya. Mau masuk kamar tidur selama jam sekolah tanpa ketahuan suster ? Gampang ! Lewat jendela pojok asrama ibu guru, kami dapat melompat dengan lincah karena posisinya yang agak rendah. Tapi bukan tanpa resiko, jika kedengaran suara mencurigakan, pasti ketahuan ibu asrama dan kepala sekolah yang kamarnya persis bersebelahan dengan kamar tidur kami. Selamatlah kalau beliau berdua sedang tidak masuk kamar dan mendengar bunyi lompatan. Jika lagi apes memang berat hukumannya.
Saat istirahat, kantin KRT dipenuhi para siswi. Sebutan KRT itu untuk kakak-kakak yang mengikuti kursus Ketrampilan Rumah Tangga dan sekaligus membantu para suster. Biasanya setelah lulus dari kursus KRT, mereka menjadi ‘rebutan’ para pemuda kampung masing-masing karena menganggap gadis-gadis ini sudah mahir memasak, menjahit, mencuci, menyetrika, siap menjadi ibu rumah tangga dan istri sejati. Di kantin itu tersedia bermacam-macam kue, juga es. Walau udaranya dingin tapi kami suka juga makan es. Ada juga ‘pasar kaget’ yang penjualnya adalah ‘uge-uge’ dari kampung sekitar asrama. Mereka menjual buah-buahan seperti alpukat, terung belanda, tomat, jeruk. Kami suka makan alpukat dicampur nasi jagung. Saat itu rasanya nikmat sekali. Ya, tak ada lauk alpukat pun jadi. Setiap awal bulan ada penukaran koin untuk jajan. Mobil BRI datang dan para siswi beramai-ramai menukar koin. Hal ini memudahkan transaksi jual beli di kantin yang harganya rata-rata Rp 50,00 – Rp 100,00
Pukul 13.40 WITA (kalau saya tak salah ingat), sekolah usai. Aturan lagi : tidak boleh ke mana-mana, langsung ke kamar makan, antri cuci tangan, ambil peralatan makan di rak masing-masing, lalu makan. Makan siang sudah ditakar di tempat nasi untuk enam orang semeja. Sayurannya pucuk labu ditumis tanpa bumbu lain, hanya garam. Kadang sawi yang daunnya sudah berlubang-lubang dimakan ulat. Lauknya ? Semuanya ada jadwal, hanya hari Selasa, Kamis, dan Minggu. Itu pun hanya ikan kering yang sudah lama menghuni gudang asrama. Dari bentuk dan aromanya sudah kelihatan lapuk dan kadaluwarsa. Tapi apa hendak dikata, itu saja yang didapat dan bisa dinikmati. Anehnya para orang tua, jika kami mengadu keadaan seperti itu mereka malah menasihati, “Anak, yang namanya tinggal di asrama memang begitu.” Kalah deh, seolah-olah para orang tua membenarkan kesalahan aturan gizi di asrama. Mereka terlalu yakin bahwa semua yang diberikan oleh para suster pasti yang terbaik buat kami. Orang tua tak pernah membela kami yang mengadu bahwa di dalam sayuran kami ada lintah atau ‘lema la’, atau setiap hari makan nasi jagung. Lagi-lagi dibilang siapa suruh masuk asrama ? Mau sendiri to !
Acara makan siang diselingi berbagai pengumuman yang seperti ‘litania’ hukuman bagi pelanggarnya. Ada yang lalai mengangkat jemuran, yang malas mencuci pakaian atau menumpuk-numpuk pakaian kotor di kamar mandi, yang ribut di kamar tidur, yang tidak mengikuti doa bersama, yang tidak ke gereja pagi, yang tidak melaksanakan tugas sore dengan serius, yang mencuri buah-buahan di kebun atau di kamar es, ah … banyaklah… (oya, susteran memiliki sebuah ruangan pendingin yang biasa disebut kamar es, tempat menyimpan semua persediaan makanan, daging, buah-buahan). Semua ‘dosa’ atau pelanggaran itu ditebus dengan hukuman tidak tidur siang, tapi mengangkut pupuk (kotoran) dari kandang babi dan ayam di belakang asrama ke kebun. Saya sering mendapat ‘kehormatan’ itu karena ribut di kamar tidur sehingga lama-lama menjadi kebal, dan rasa-rasanya lebih baik menjalankan ‘tugas mulia’ tersebut, daripada mendekam di kamar dan tidak bisa tidur. Hitung-hitung cuci matalah, lihat keramaian di jalanan. Kami seasrama pernah dihukum tidur siang di lapangan basket gara-gara tidak ada yang mengaku buka pintu tanpa kunci sehingga suster marah besar. Sumpah mati bukan saya lho !
Pukul 15.00 bangun dan laksanakan tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh ketua asrama setiap awal semester. Selama satu semester (setengah tahun) menjalankan tugas ; menyiram bunga di taman depan kamar mandi, di gua Maria belakang asrama, di taman rumah payung, taman Suster Almira, taman tengah asrama, menyapu dan mengepel kelas (tiga kelas), kamar tidur asrama, kamar makan, kamar mandi, memotong sayur di dapur, mencetak hosti, membantu Suster Wendelina di kandang, dan yang paling tersiksa adalah membersihkan beras dan jagung di gudang. Bayangkan, selama enam bulan bergumul dengan debu dan kutu beras. Letaknya sih strategis, bisa melihat siswa seminari yang lewat mengantar pakaian kotor para pastor ke kamar cuci. Tapi pemandangan berdebunya itu yang merusak penampilan. Tempat kerja yang paling ditunggu-tunggu semua anak asrama adalah kebun belakang biara dan got belakang gudang kayu. Kedua lokasi ini dekat jalan umum sehingga bisa sedikit ‘ngeceng’ di luar melihat orang-orang lewat.
Pukul 16.00 waktu untuk mandi dan bersih-bersih. Semua anak dengan ember dan peralatan mandi, ramai-ramai di kamar mandi. Pukul 16.30 mulai belajar sore sampai pukul 17.30. Selama jam belajar suasana sepi dan hening walau tak ada guru yang mengawasi. Jadi guru di Kartini sebetulnya menyenangkan dan tidak makan hati lho, karena tidak pusing mengurus ketertiban siswi. Para siswi sudah dengan sendirinya tertib dan disiplin dari asrama. Bila mendengar bunyi kunci, itu tandanya Suster Pauly akan lewat dari kantor ke kamarnya. Suasana makin sepi seperti di kuburan. Tak ada yang berani keluar, kebelet pipis sekalipun. Kebiasaan sang kepala sekolah yang suka menggoyang-goyangkan kunci ini sebetulnya sangat membantu kami, sebagai alarm bahwa ‘malapetaka’ akan datang. Segala aktifitas yang mengundang kemarahan beliau segera dihentikan agar lolos dari panggilan ‘potiwolo’ dan tarikan mautnya memelintir kuping. Bila ada tamu pada jam belajar, apa pun alasannya kadang-kadang ditolak dengan tegas oleh suster mungil ini, kecuali kematian.
Pukul 18.00 wajib doa rosario bersama di gua Maria belakang asrama, tempat pemakaman para suster. Biasanya setengah jam sebelumnya kami isi dengan bermain basket. Itu olahraga favorit anak Kartini. Semua anak menyukai olahraga tersebut karena sekaligus ajang balas dendam. Sengaja melempar bola dengan keras ke arah musuhnya, atau sengaja mencakar saat merebut bola, atau sengaja menjegal kakinya saat lari, itu semua bentuk balas dendam terhadap musuhnya di asrama yang paling jitu. Basket jugalah yang mengharumkan nama tim Kartini dalam setiap pertandingan antar sekolah di kecamatan Golewa. Ada Efra Longa dan alm. Yeni Benda yang paling jago saat itu, juga Tevi Wea.
Pukul 18.30 makan malam. Bicara lagi soal menu rasanya bosan dan sakit hati. Kalau kebetulan mendapat kiriman lauk dari orang tua sih makannya lahap, tapi kan tidak setiap hari dikirimi lauk. Beruntung sekali saya semeja makan dengan Mien Lawi yang rumahnya di kampung Lio, belakang asrama. Dapurnya saja kelihatan dari gua Maria. Setiap sore mamanya mengirim sambal, kadang-kadang ikan goreng sehingga menu kami semeja makan agak beda dengan yang lain. Anak asrama semuanya jago makan sambal karena satu-satunya pemancing napsu makan adalah sambal. Ada menu makan malam yang agak aneh adalah ‘uta tabha’. Ini sejenis makanan khas dari daerah Mataloko, Mangulewa, Bajawa, yang bahan pokoknya dari jagung giling dicampur kacang-kacangan, dimasak seperti bubur dan asli tawar. Ini menu spesial di masa puasa yang salah satu pantangannya adalah garam. Mungkin dengan pertimbangan itulah muncul ide para suster untuk menyajikan ‘uta tabha’, sekaligus melestarikan masakan khas daerah Bajawa. Namanya juga asrama, tanpa kecuali, tanpa pilihan lain, kami menikmatinya dengan lahap walau terpaksa. Uta tabha menyatukan lidah dan rasa dari berbagai kalangan ekonomi dan latar belakang keluarga. Dari anak pejabat, pengusaha Cina, guru dan pegawai, sampai anak petani, semuanya sama…menikmati hidangan lezat tersebut dari suster tercinta. Kami memang dididik untuk menjadi orang yang kelak bisa hidup sederhana, prihatin, dan sabar. Sesudah makan setiap anak mencuci piring masing-masing, merapikannya di rak piring. Yang bertugas mengambil ‘kan’ air wajib menyiapkan minuman untuk setiap meja, lalu mengembalikan ‘kan-kan’ air itu di dapur. Berat ‘kan’ air dua kali lipat berat air sehingga harus diangkat oleh dua orang. Kami senang melakukan semuanya. Ya, belajar saling melayani sesama.
Pukul 19.15 hingga 20.30 belajar malam di kelas masing-masing. Suasana kembali sepi dan hening. Teringat pernah ada orang iseng melempar jendela kelas, semuanya lari…berebutan keluar dari kelas menuju kamar tidur. Akibatnya Lien Mitang sampai terkilir tangannya karena terinjak saat rebutan keluar kelas. Akhir dari semua kegiatan seharian ditutupi dengan doa malam bersama di kelas III yang ruangannya paling besar. Masih teringat lagu wajib setiap doa malam ;“Dalam untung malangku… Engkaulah harapanku…” Kini lagu itu menjadi lagu wajib juga dalam doa malam keluarga saya. Pujian malam yang sangat berkesan.
Pukul 21.00, dengan tenang dan tertib semua antri menunggu pintu kamar tidur dibuka ibu asrama. Seperti domba masuk ke kandangnya, satu-persatu menuju tempat tidur masing-masing tanpa suara (tidak boleh membawa buku pelajaran ke kamar tidur) lalu ke kamar mandi sikat gigi dan cuci kaki. Asrama sengaja tidak menyediakan kasur agar anak tidak manja, tetapi ada beberapa siswi yang membawa kasur dari rumah, termasuk saya. Selimut tebal, kaos kaki, dan baju hangat, itu perlengkapan tidur di asrama. Tempat tidur besi dan tingkat disiapkan asrama.
Pukul 21.30 semua lampu dimatikan oleh ibu asrama, diiringi doa “Roh Kudus Allah, semuanya karena cintaku pada-Mu. Amin.” Selamat tidur anak-anak manis, bermimpilah yang indah-indah. Itulah rutinitas kami di asrama, berlangsung dari tahun ke tahun, turun-temurun.
Hiburan ?? Asrama memiliki TV 27 inchi yang diletakkan di kamar makan sekaligus ruang rekreasi. Untuk menonton, tergantung ‘mood’ para susternya. Lebih sering TV nganggur, sekedar pajangan di kamar makan, dengan antena luar yang sangat tinggi, pertanda asrama Kartini memiliki benda berharga yang masih jarang dimiliki penduduk sekitarnya saat itu. Tidaklah heran jika pengetahuan umum kami saat itu sangat minim, karena jangankan koran yang susah didapat, TV di depan mata saja susah juga mendapat izinan untuk menonton. Saya yakin adik-adik yang sekarang pengetahuan umunya tidak ‘semiskin’ kami dulu. Ruang baca kami dulu hanya disediakan buku-buku cerita zaman bahoela, cerita santo-santa. Ada juga cerita populer, tapi sedikit. Saya suka membaca Petualangan 5 Sekawan karya Ennid Blyton.
Acara malam minggu : renungan kitab suci. Kadang-kadang nonton film, berkat kebaikan dan kemurahan hati Pater Zezlaus SVD, si pembawa Kabar Gembira. Filmnya asyik-asyik, pas buat usia ABG. Ada film barat, ada film-film komedi Indonesia. Pater Zez punya beberapa anak angkat, salah satunya teman saya Relly Wele dari Mangulewa. Terima kasih Pater Zez ! Minggu malam baru rekreasi bersama, menyanyi, menari, main kartu, ngerumpi, pokoknya bersenang-senanglah. Belajarnya sudah di pagi hari setelah dari gereja, dan sore hari sebelum makan malam.
Semua acara di asrama memang tergantung selera ibu asramanya. Lain orang, lain maunya. Setelah Suster Yosephina pindah ke Hokeng, ibu asrama diganti Suster Monika. Mirip dengan Suster Pauly, kecil mungil, pendek, tapi tidak galak. Rupanya mereka memang sekampung dari Manggarai. Suster Pauly melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kepala sekolah diganti oleh Ibu Klara Anu. Suasana di sekolah jadi lebih asyik dan menyenangkan tanpa kehadiran Suster Pauly yang galak itu. Maaf ya Suster ! Sebagai ibu asrama merangkap ketua dapur, menu makan yang diatur oleh Suster Monika pun beda, sudah ada nilai gizinya. Beliau sangat perhatian, yang sakit disapa dengan lembut sambil memijit tangan atau kaki si sakit. Ini produk Manggarai yang eksklusif dibanding dengan mantan kepala sekolah kami. Boro-boro disayang-sayang, semua anak dipanggil potiwolo yang ternyata artinya setan dari gunung. Kira-kira dosa gak sih katain orang begitu ? Tapi karena beliau seorang pemimpin ya…manut sajalah. Oya, sebelum Suster Monika datang, ibu asrama sempat dijabat oleh Suster Paulista. Ini suster paling pilih kasih sehingga banyak siswi kurang suka. Saya termasuk yang dikasihi karena masih keluarga, tetapi pernah juga saya bermasalah dengan beliau. Gara-gara melawan, beliau mengadu ke Ibu Brigita yang waktu itu menjadi wali kelas saya. Habis deh, saya diomeli Ibu Gita sampai menangis tersedu-sedu lalu disuruh harus minta maaf pada Suster Paulista. Begitu saya ke kamar cuci tempat beliau bekerja, saya dipeluk dengan penuh kasih. Sejak itu kasih dan perhatiannya pada saya begitu besar. Ada juga kakak KRT yang baik sekali dengan saya, Kak Maria Na’u dan Kak Yasinta Meo.
Tentang Teman-teman …
Tadi cerita tentang sekolah,para guru dan para suster, dan asrama, sekarang saatnya saya mengabsen teman-teman, sahabat-sahabat, musuh-musuh, juga rival-rivalku semasa SMP. Halo semuanya… apa kabar ??Di asrama yang menampung sekitar 150-an siswi dari berbagai daerah membuat kita saling mengenal sifat dan tingkah laku. Ada yang pendiam, cerewet, munafik, bandel, ya…macam-macamlah. Teman-teman se-geng saya dulu ; Domitilla Fengi, Yohana Nelu, Siska Dhera, Onna Sakera, Im Nay Lado, Tevi Wea, Oce Go’o, di mana kalian berada sekarang ? Ada rindu untuk bertemu, bercerita lagi kisah-kisah gila kita dulu. Masih ingat waktu kita dirotani Suster Yosephina di gudang peti karena kita curi daging gorengnya Selly Mau dan Erry Edo ? Saat mengetik ini saya tertawa sendiri, membayangkan wajah kita meringis kesakitan melihat betis mulus jadi biru. Ternyata mamanya Selly Mau dan Erry Edo itu teman baik mama saya sejak di Kartini sampai di SGB Jopu. Masih ingat waktu kita rebutan beli pisang gorengnya Mien Lawi yang saya jual di kamar tidur saat lampu sudah dimatikan suster ? Lalu waktu kita sok jadi pendaki gunung, hari minggu ke Wolosasa gak jelas buat apa di sana, malah petik pisang di hutannya seminari ? Dan yang lebih seru saat kita bersaing menunjukkan surat-surat dari anak seminari. Kak Titus Puling bisa mengirim surat untuk beberapa orang, dan diam-diam kita menyimpan rasa yang sama buat dia. Sialan juga tuh orang, tapi sekarang sudah jadi pastor di Argentina. Pernah bertemu saya di Jakarta dan tanpa malu-malu dia cerita lagi pada suami saya. Ada lagi Tonny Retu si badung itu berapa kali mengirim surat untuk saya dan kalian ramai-ramai mengejek saya. Sebetulnya saya suka dengan badungnya Toni saat itu, keren…! Yang paling seru waktu saya terima surat dari Felix Djawa, dan Im terima surat dari Kak Yoseph Godho. Itu semua kenangan yang tak pernah terlupakan. Kapan ya kita bercerita lagi ???
Masih ada lagi teman-teman yang punya story lain yaitu Angela Wea, Merlyn Bhari, Vivi Mole, Udis Aso, Agus Milo, dan Eda Ngole. Kami dipercayakan untuk menjaga kamar Ibu Deth dan Ibu Gita saat beliau berdua penataran di Kupang dan Denpasar selama seminggu. Bukan hanya dengar lagu, tetapi tangan kami ‘rubu-raba’ di laci meja Ibu Gita dan menemukan catatan rahasia tentang hubungan cinta Ibu Gita dengan Pak Darius. Alamak, hal yang paling rahasia bagi Ibu Gita malah jadi ketahuan oleh kami bertujuh. Akibatnya ? Di rapor kami tertulis kelakuan “kurang”. Gara-gara dilapor Sin Goma yang masih saudaranya Ibu Gita. Kami dipanggil, disidangkan, tapi untung tidak dikeluarkan. Padahal kami sudah bela-belain mengantar kedua ibu guru kami itu ke bandara Padhamaleda sampai pulangnya dihukum suster ibu asrama. Ya, itu semua kenangan. Begitu kami lulus, Ibu Gita sedang hamil sehingga tidak lagi marah-marah, mungkin biar bayinya tidak galak.
EBTA/EBTANAS selesai. Angkatan kami lulus 100% dengan NEM tertinggi Angella Wea untuk se-NTT. Urutan keduanya juga dari Kartini, Sandy Djuang. Bravo Angella dan Sandy ! Kami semua bangga dengan kesuksesan mereka yang mengharumkan nama Kartini. Kami juga bahagia dengan kesuksesan kami 33 orang.
Kebahagiaan kami dirayakan dengan acara piknik bersama di pantai Aimere sebagai perpisahan dengan adik kelas dan bapak ibu guru. Naik truk ramai-ramai. Seru dan asyik karena lolos dari kronik yang dibuat oleh adik kelas. Salah satu kebiasaan pada malam perpisahan adalah pembacaan kronik yang membuat kita berdebar-debar menunggu penilaian adik kelas terhadap kakak-kakak selama kebersamaan di sekolah dan asrama. Yang baik-baik dan pendiam sih pasti tak perlu cemas, tapi yang bandel dan suka melawan pasti dikritik habis-habisan. Bagus juga sih, biar bisa memperbaiki diri bila sudah angkat kaki dari Kartini. Adik-adik yang cukup dekat dengan saya dulu itu Yuli Engo, Anny Boro, Aylin Laliwea, Onny Depa, dan Etty Separ. Lainnya biasa-biasa saja.
Lain-lain ...
KARTINI. Menyimpan banyak kenangan, banyak harapan, banyak cita-cita, dan banyak perasaan yang tak sempat terungkap. Di Kartini saya pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Bila diingat lagi, saya tertawa sendiri. Saat menulis baris ini tak sadar saya terbahak sendiri. Ceritanya, suatu hari minggu ada siswa seminari datang ke Kartini, dia yang pernah mengirim surat buat saya. Dia bersama temannya. Saya pura-pura keluar dari kamar makan (pas lagi makan pagi), dengan alasan ke dapur. Maksud hati mau lihat ‘pangeran’, eh…duluan ketahuan Suster Pauly. Saya dipanggil ke kelas I, dijewernya kuping saya (sambil ditarik-tarik lagi), lalu diceramahi selama satu jam, seolah-olah saya melakukan kesalahan terbesar di dunia. Sialan, gara-gara Tonny Retu nih. Saya menangis, saya benci pada Suster Pauly, saya dendam sekali padanya. Saya merasa antara kami berdua seperti musuh besar. Setiap tingkah laku, gerak-gerik dan perbuatan saya, rasa-rasanya tak ada yang beres di mata suster yang super galak itu. Mungkin itu hanya perasaan saya saja karena setibanya di Yogya tahun 1998, justru Suster Pauly yang pertama mencari saya. Waktu itu saya mengikuti tes di STFK Pradnyawidya yang juga kampus beliau. Melihat ada nama saya di daftar peserta yang lulus, beliau menunggu saya di gerbang kampus. Oh my God ! Kami berpelukan seperti teletubies, tanpa sungkan-sungkan, tanpa malu-malu, serasa lupa dengan semua rasa dendam yang pernah ada di hati. Yang ada saat itu hanya rasa rindu dan bahagia, bertemu dengan mantan kepala sekolah yang galaknya minta ampun. Lupalah rasa sakit yang pernah dialami semasa SMP. Meski aura galak dan sinisnya belum hilang tetapi setidaknya sudah agak ramah dan lembut. Mungkin lingkungan dan budaya Jawa yang mempengaruhi semuanya itu. Saya pun berbisik, “Suster, sekarang kita sama-sama mahasiswa lho !” Beliau hanya tersenyum (malu-malu) sambil terus menggenggam tangan saya. Kangen berat ni ye…
Berpisah dari Kartini baru saya sadar dan merasakan betapa beruntungnya saya bisa mendapatkan banyak hal dan pelajaran selama di sekolah dan di asrama. Rasa disiplin, tanggung jawab, toleransi, setia kawan, ah… banyaklah. Namun, tak ada gading yang tak retak. Ada ketimpangan dalam membina pergaulan siswi dengan lawan jenis. Ketahuan bersurat-suratan, apalagi sampai berpacaran, kita disidangkan seolah-olah melakukan tindakan kejahatan. Belum saatnya berpacaran, masih kecil, itu alasan utamanya. Tetapi arahkan dengan kata-kata yang bijak dan menyenangkan sehingga tidak membuat siswi yang bersangkutan sakit hati dan membuat luka di batinnya. Padahal apalah artinya sih pacaran masa itu yang hanya kirim-kirim surat (berawal dari April Mop), lalu bertemu setiap hari minggu pesiar, jalan bersama dari depan poliklinik sampai depan rumah Om Anton de Ornay, lalu balik lagi. Pegangan tangan saja tidak. Biasalah, hanya cerita-cerita sambil menghitung kerikil yang diinjak. Saat itu rasanya puas dan bahagia, pulang asrama bisa tidur bolak-balik, terbayang terus. Dasar cinta monyet ! Tapi ada lho yang langgeng sampai pelaminan, Sandy Djuang dan Kak Valen Dakiso’o, Quien Mole dan Kak Yust Djogo, Kak Abraham Runga dan Cici Dhone, Kak Aloysius Bhui dan Helen Muga. Itu seputar indahnya jatuh cinta di Kartini.
KARTINI. Sekolah yang punya acara turun-temurun “Malam Pertemuan”. Malam yang paling ditakuti. Bagaimana tidak, malam yang situasinya tegang seperti di hadapan pengadilan. Semua kesalahan terhadap siapa pun dalam perkataan dan perbuatan selama dalam kebersamaan sehari-hari, sebulan sekali disidangkan. Moderatornya adalah ketua OSIS. Tidak sedikit yang sampai menangis karena takut dan malu, terutama adik-adik kelas I yang masih baru di asrama. Tanpa mengenal usia atau tingkatan kelas, yang salah wajib meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan banyak orang. Ya, kita bisa belajar memaafkan, mengakui kesalahan, sabar, rendah hati, dan terutama saling menghargai dalam kehidupan bersama.
KARTINI. Entahlah seperti apa keadaannya sekarang, namun dalam ingatan saya, Kartini adalah sekolah favorit, sekolah impian orang tua bagi para putrinya, dan tetaplah sekolah khusus putri. Sayang, tidak ada dokumentasi atau foto-foto karena masa saya dulu bisa dihitung tukang foto yang ada di Mataloko, paling-paling di rumah Baba San yang fotonya hari ini baru jadi sebulan kemudian. Tapi tetap ada kenangan waktu foto di studio alam Baba San alias di depan rumahnya. Gara-gara pergi foto di sana, saya dapat surat cinta dari anak Ndao (saya lupa namanya) yang sedang berlibur dengan anaknya Baba San. Surat itu diantar Rini Supit via pagar belakang kelas III. Lucu juga kalau diingat-ingat.
KARTINI. Sekolah yang bersebelahan dengan kompleks pensiunan dan SD Mataloko. Dengan demikian kami pun bersahabat dengan para tetangga seperti keluarga Bapak Michael Remi, keluarga Bapak Felix Djawaria, keluarga Bapak Rofinus Longa, keluarga Bapak Yan Nai, keluarga Bapak Daud L. Bara, keluarga Ongko Leo, keluarga Bapak Agus Bay, keluarga si kembar Itho dan Boto, dan masih banyak lagi yang saya lupa namanya. Ada kios Aci Since yang menjadi langganan anak Kartini dan sering pula ‘dibohongi’ kalau sedang ramai-ramainya belanja. Ambil permen lima tapi ngakunya dua. Terlalu ko… Ternyata siswa seminari juga begitu la… (pengakuan dari Pian da Gomez. Pantas dia dicedok !). Sorry Aci ! Biarlah Tuhan yang mengampuni kami !
Teman-temanku Seangkatan. .
“Sahabat setiawan merupakan perlindungan yang kokoh, barangsiapa menemukan orang serupa itu sungguh mendapat harta.” Sirakh 6 :14
Kebersamaan kita menyimpan banyak kenangan dalam hidup. Ada tawa, ada tangis, ada permusuhan, ada persaingan, ada rindu, ada benci, ada suka, ada duka, terutama ada cinta kasih.
Anna Diki dari Jerebu’u
Agustina Milo Bate / Agus dari Watujaji
Angela Uge Riwu / Nesty dari Jerebuu
Angela Luang / Enjel dari Riung
Angela Regina Maria Wea Lagho / Anjel dari Kelewae
Bernadetha Maria Lourdes Go’o Ma’u / Oce dari Nangaroro
Bernadetha Yosefina Wea / Tevi dari Boawae
Christina Maria Wona / Nona dari Were
Edel Mary Quien Mole / Quien dari Bajawa
Edeltrudis Ngole Molo / Eda dari Jerebuu
Fransiska Dhera / Sisi dari Watuapi
Getrudis Aso Bupu / Udis dari Mauponggo
Genoveva Nei / Geni dari Nangaroro
Kornelia Aneng / Koni dari Manggarai
Lidvina Ia Bay Lado Una / in dari Wudu
Marselina Bo’a / Ona dari So’a
Maria Aurelia Bhari / Merlin dari Danga
Maria Yasintha Lado / Sintha dari Radja
Maria Asumpta Ngani / Ristha dari Jerebuu
Maria Gaudensia Apong / Densi dari Manggarai
Maria Magdalena Alexandra Djuang / Sandy dari Boawae
Maria Florida Nginu / Merry dari Maumere
Maria Dafrosa Longa / Efra dari Mataloko
Maria Yasintha Goma / Sin dari Riung
Maria Florentina Wara Killa / Loni dari Bajawa
Maria Immaculata Bebhe / Imma dari So’a
Maria Immaculata Bhubhu / Merry dari Were
Maria Immaculata Nay Lado / Imm dari Watugase
Paulina Ina Bunga Mitang / Lin dari Boawae
Theresia Dhone / Thres dari Aimere
Wilhelmina Lawi / Mien dari Ende Lio
Yovila Maria Venancia Mole Ladjajawa / Vivi dari Bajawa
Ketua OSIS Angela dan ketua kelas Eda Ngole
20 tahun kemudian … Saat liburan sekolah, saya dari Jakarta kembali ke Flores dan tanggal 5 Juli 2006, bersama adik saya Tilla, kami berkunjung ke SMPK Kartini. Karena kami datang saat liburan, kami hanya bertemu Bapak Sunar dan beberapa pegawai TU yang sedang sibuk melayani pendaftaran murid baru. Ada rasa rindu yang mendalam ketika menginjakkan kaki di kompleks susteran SSpS Mataloko. Setelah bertemu Pak Sunar (masih awet lho), saya berkeliling mengambil gambar di tempat yang sudah sangat berbeda dengan masa saya 20 tahun yang silam. Taman tengah yang menjadi tempat kami bermain kini sudah menjadi ruangan kelas bertingkat, ruangan komputer dan kolam mungil. Kamar tidur entah sudah menjadi apa karena saya tak sempat menengok ke dalam. Sedangkan yang dulu gudang kini sudah menjadi kamar tidur dan kamar mandi yang bagus. Tempat tidur besi bercat hijau mengisi ruangan itu dengan rapi. Rak sepatu berjejer di depannya. Saya jadi iri dengan keadaan yang sekarang, tapi tetap merindukan suasana yang dulu. Saya berkunjung juga ke makam para suster di dekat gua Maria belakang asrama, dekat gudang kayu. Tidak ada lagi bau kotoran ayam dan babi karena semuanya sudah dibangun kamar. Yang masih kelihatan asli dan tua hanya kamar makan, kamar roti, dan kamar cuci. Di kamar roti saya bertemu dengan Suster Alfonsa. Masih ada Suster Antonilda yang saya kenal. Lainnya sudah pindah, bahkan ada yang sudah almarhumah. Akhir dari kunjungan saya berdoa di gua Maria, mengunjungi makam Suster Almira, makan roti dari Suster Alfonsa, lalu kembali ke Bajawa. Thanx Suster !
Liburan kali ini saya sempat bertemu dengan teman seangkatan saya OCE GO’O dalam perjalanan dari Nangaroro ke Mbay. Kami se-bis dan kembali cerita nostalgia masa-masa di asrama. Putri pertamanya akan dikirim sekolah di SMPK Kartini juga. Hidup Oce Junior ! Jangan nakal ya kayaknya Maknya !
Ucapan terima kasih kepada :
Tuhan YME, Putra-Nya, dan Bunda Maria
Kedua orang tua yang sudah menyekolahkan saya di SMPK Kartini sehingga sekarang saya bisa menceritakan semuanya.
Para Suster, Ibu, dan Bapak Guru di SMPK Kartini yang telah mengajar, mendidik, membimbing, dan mendampingi saya selama di SMPK Kartini.
Teman-teman seangkatan, kakak dan adik kelas yang sudah bersama-sama hidup dan bersahabat di asrama.
Kakak-kakak KRT dan Om-om tukang yang sudah membantu, menunjang kelancaran belajar dan kegiatan asrama.
Para tetangga dan kenalan di Mataloko (Kel.Bapak Rofinus Longa) yang turut membantu dalam bersosialisasi selama menjalani masa-masa di asrama dan SMP.
Uge-uge yang setiap pagi menjual alpukat di asrama sehingga kami menjadi anak yang sehat karena makan buah yang bergizi. Nasi campur alpukat, aneh banget…
Saudara-saudara di Seminari yang membantu perkembangan masa remaja saya dengan lirikan-lirikan dan surat-surat cinta monyetnya. Hahaha… Tonny Retu, di mana kau berada ? Pater Titus Puling, tulisannya bagus juga. Gombal !!!
Suamiku Abang Vitalis tercinta yang selalu mendorong saya untuk meneruskan bakat menulis dengan menghadiahkan seperangkat komputer dan memasang speedy.
Ibu Hilde Bhoko (kakak iparku) sekeluarga di Lekosoro Bajawa (penginapan gratis selama 3 malam)
Adik TILLa, Kak Dorty Mo’i (anggota DPRD Ngada) dan suami Kak Dorty yang sudah menemani saya berkunjung ke SMPK Kartini dengan mobilnya.
Bapak Sunar beserta staf di kantor SMP Kartini yang sudah bersedia diganggu oleh kedatangan saya dan Tilla.
Ibu Hesty Rodja (pegawai AJB Bajawa) yang rela mencuri waktu kerjanya untuk menemani saya makan siang di warung pojok lapangan Lebijaga. Ma’e naji pai !
Mama Bibi Dhongo yang saya ganggu waktu istirahatnya buat ngobrol sambil nunggu ayam bakar di warung makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar