Selasa, 25 November 2008

Sahabatku : LILY dan FRINZ ...


23 April 2007,pukul 12.00 WIB, hari penuh kejutan


Bunyi ponselku berdering. Irama musik soundtrack sinetron Gengsi Gede-gedean nyaring mengganggu kuping. Serta merta kuangkat, tertera nomor 021 599…..
“Halo…!” jawabku.
“Ini Fransisca ?” tanya si penelpon.
“Iya betul,” balasku sambil mengingat suara siapa gerangan. Dari aksennya, aku langsung tahu dan berteriak, “Hei, Enu Lily !” Selanjutnya…. banyak sekali ‘kata seru’ yang lancar keluar dari bibir kami. Rasa rindu, dan penasaran semuanya menyatu. Aku jadi lupa dengan masalah kerjaan yang baru saja kualami. Tak perlu berpikir lama-lama dari siapa Lily tahu nomor HP-ku, karena dua minggu yang lalu aku mengirim surat pembaca ke redaksi Flores Pos Jakarta. Puji Tuhan dimuat sehingga akhirnya kami bisa saling kontak. Terima kasih banyak kepada saudara-saudaraku di redaksi Flores Pos Jakarta. Walau kami belum bertemu muka, tetapi sudah ada titik terang. Terima kasih Tuhan !


24 April 2007, hari penuh cerita


Hari pertama Ujian Nasional tingkat SMP. Sebagai guru Bahasa Indonesia, aku tidak dikirim untuk menjadi pengawas ujian. Asyik…bisa libur deh. Tiba-tiba muncul rencana untuk ke rumah Lily di Tangerang. Aku sengaja minta izin pada suamiku via SMS, karena kalau bicara langsung, pasti tidak diperbolehkan. Alasannya banyak…sekali. “Kamu gak boleh capek, Sayang,” atau “Kamu gak boleh jalan sendirian Sayang.” Ya, banyaklah pertimbangannya seolah-olah aku tidak bisa menjaga diriku sendiri. Makanya aku kirim SMS saja. Ternyata… ”Boleh, tapi hati-hati ya Sayang. HP harus selalu diaktifkan ya.” Masih banyak pesan sponsor lainnya yang berhubungan dengan kebiasaanku tidur di bis. Soal tidur di bis emang aku jagonya. Teman-teman sampai memberi julukan si PELOR alias nemPEL langsung moLOR. Ini yang membuat suamiku khawatir jika aku kemana-mana sendirian.


Jam 12.00 WIB, siang bolong dan panas terik, aku ke terminal Bekasi. Demi mengobati rasa rindu pada sahabat, aku rela berpanas-panas naik bis AJA yang non AC karena jurusan Bekasi – Balaraja memang tidak ada yang AC. Kacian…! Sebelumnya aku sudah menelpon Lily menanyakan rute kendaraan menuju ke rumahnya, sudah kucatat dengan rapi di kartu nama, dan kuselipkan di kantong tas. Aku sengaja tidak pastikan pada Lily bahwa hari ini aku akan ke rumahnya. Maksudku, tiba-tiba aku sudah tiba di rumahnya, itu baru surprise namanya. Bis baru keluar dari terminal jam 13.00. Kubuka jendela lebar-lebar biar terasa AC alamnya. Penumpangnya tidak banyak. Duduk di barisan sebelahku, seorang ibu yang sibuk membaca tabloid Hidayah. Aku berbasa-basi menanyakan alamat yang akan kutuju. Rupanya si ibu juga satu tujuan denganku, ke Tiga Raksa, turun di Jalan Baru. Aku merasa aman untuk mulai dengan kebiasaanku…PELOR ! Aku yakin bahwa si ibu pasti akan membangunkanku jika sudah dekat alamat yang kami tujui.


Air hujan merembes di jendela dan membasahi lenganku. Aku terbangun dan langsung kutengok ke arah ibu. Si ibu juga tertidur dengan lelap, hingga kepalanya miring ke kiri, miring ke kanan. Kulanjutkan tidurku. Aku kaget, seorang bapak duduk di sebelahku. Rupanya beliau pindah karena tempat duduknya di belakang bocor. Aku lanjutkan lagi tidurku. Zzzzz….. ! Eh, sudah sampai Citra Raya. Aku terbangun, si ibu juga sudah mulai bersiap-siap, tandanya sudah dekat. “Siap-siap, jalan baru !” teriak kondektur. Hujan masih rintik-rintik. Aku dan si ibu pun turun, jalan masuk ke gerbang Tiga Raksa. Sambil menunggu angkot, aku bertanya pada preman-preman yang nongkrong untuk pastikan alamat AKUN yang diberi Lily itu nama toko atau nama gang. Ternyata nama toko kelontong. Angkot datang, aku memilih duduk di depan agar lebih mudah melihat-lihat dan membaca setiap nama toko yang dilewati karena sopir yang kutanya pun ragu-ragu dengan alamat yang kusebut. Mungkin dia pura-pura karena tahu aku orang baru yang sedang mencari-cari alamat. Tapi jangan salah, soal berapa ongkosnya, aku sudah diberitahu Lily bahwa sampai di toko AKUN itu bayar Rp 2500,00. Sudah kusiapkan uang pas. Untung ada ibu-ibu yang tahu toko AKUN sehingga aku turun tepat di depan toko tersebut. Aku tengak-tengok kok tidak ada nama AKUN yang tertulis di depan toko itu, yang ada justru tulisan Toko SHERLY. Kutelpon Lily agar segera menjemputku. Tiba-tiba dari samping toko ada orang yang tertawa denganku. “Anchik…!” Begitu namaku disebut baru aku sadar bahwa itu Lily. Alamak….! Betapa kurusnya Lily yang sekarang sudah ada didepanku. Kami berpelukan tapi aku belum percaya melihat keadaannya sekarang. Lily yang di depanku berbeda 360 derajat dengan Lily teman sekolah dan teman asramaku dulu. Aku kaget melihat keadaan Lily. Masya ampun….kok bisa kurus kering begitu. Masih dengan keheranan kami ke rumahnya.
“Chik, aku ada masalah besar hari ini. Di rumah sekarang masih banyak saudara yang ngumpul. Nanti di rumah baru kita cerita,” kata Lily. Begitu masuk rumahnya, olala…semua orang duduk melingkar dengan wajah penuh ketegangan. Kusalami satu-persatu.
“Ini sudah obat rindukah ?” tanya Om Yus.
Aku hanya tersenyum, tak paham dengan istilah obat rindu. Rupanya itu adalah judul surat pembaca yang kukirim ke redaksi Flores Pos Jakarta. Setelah itu meluncurlah cerita tentang peristiwa yang baru saja terjadi dua jam yang lalu. Kasus penipuan lewat telepon. Lily ditelpon bahwa suaminya, Pak Robert Indrajaya Samur kecelakaan di jalan tol, sedang kritis di RSCM. Kakinya patah, matanya keluar, otak berceceran. Dengan panik Lily meraung-raung sehingga semua yang ada di situ pun panik. Pak Robert memang hari ini ada meeting di Carefour Cempaka Mas, sedang hari biasa di Carefour BSD. Pokoknya kacau balau, apalagi HP suaminya juga tak bisa dihubungi.
“Ole Chik, aku sudah bayangin kami pasti pulang Ruteng, tapi siapa yang mau beli rumah ini ? Orang pasti takut ta diganggu bapaknya Indri,” kata Lily.
Semua saudara yang berkumpul di rumah siang itu sudah yakin bahwa Pak Robert pasti meninggal, sesuai dengan telpon orang itu. Om Yus bahkan sudah nyaris pesan tenda untuk dipasang di depan rumah, menunggu jenazah. Lily masih sempat tawar-menawar dengan si penelpon untuk mentransfer uang 1 juta sambil menunggu kabar dari pihak Carefour, tempat Pak Robert bekerja. Beberapa orang yang diminta untuk mentransfer uang tersebut sudah berangkat mencari ATM terdekat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ditelpon Pak Robert. Mereka berteriak menyebut nama Yesus, karena ternyata Pak Robert masih hidup. Sadarlah mereka bahwa ini semua adalah penipuan. Mereka langsung menelpon ke rumah dan mengabari Lily. Happy ending !!


Wajah-wajah tegang berubah senyum dengan kedatanganku. Sambil makan duku yang kubawa, mengalirlah semua cerita, flashback ….sambil tertawa gembira menunggu kedatangan Pak Robert. Lily menyiapkan beras dan air untuk upacara pemulihan yang dilakukan oleh Om Yus. Setelah doa-doa diucapkan oleh Om Yus, Pak Robert diguyur dengan air, tak tanggung-tanggung satu ember besar. Benar-benar membersihkan diri. Kami semua gembira. Mengalirlah cerita dari Pak Robert, bergantian dengan Lily, dan semua yang ada di rumah. Aku pendengar setia.
“Ole Chik, kalau tidak aku sudah jadi janda. Aku ingat, baru kemarin kita saling telpon, hari ini kau datang bertemu jenazah bapaknya Indri,” ujar Lily.
Akhirnya terungkap hal-hal kecil yang aneh seperti pesan Pak Robert sebelum berangkat, “Enu, eme momang aku, telpon ga siang-siang pas rehat meeting.” Cerita belum berakhir, para tetangga dan saudara yang baru pulang kerja langsung berkumpul di rumah, mendengar cerita flashback. Lalu diputuskan bahwa malam ini harus doa bersama dan adakan upacara “Keti Manuk Miteng” artinya pemulihan tubuh melalui ‘potong ayam hitam’. Dibelilah anak ayam, kemudian setelah doa-doa didaraskan untuk keselamatan Pak Robert dan keluarga, Om Yus sebagai orang tertua mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa Lio sebagai penolak bala, kemudian anak ayam itu dilepas di jalan. Maksudnya, biarlah anak ayam itu yang hilang sebagai korban, pengganti tubuh Pak Robert yang siang tadi sudah ramai dibicarakan orang, yang sudah divonis mati oleh orang yang menipu. Aku senyam-senyum karena yang hadir di rumah Pak Robert semuanya orang Manggarai, tapi yang mengucapkan mantra justru orang Lio. Tak apalah, maksudnya sama kok. Ini menunjukkan betapa erat ikatan kekeluargaan Flobamora di wilayah Tangerang.


Pukul 23.00 bubar. Masih ada beberapa orang yang melanjutkan cerita di teras bersama Pak Robert. Aku dan Lily mengambil posisi yang nyaman alias PW di sofa, dan mulai bernostalgia. Ketiga anaknya sudah tidur. Ada George yang santun sekali, ada Batistuta yang sedikit cengeng, dan si bungsu Claudia yang imut dan centil. Sedangkan Indri dan Ika sekolah di Ruteng bersama Mama Ndo, kakaknya Lily. “Hebat benar kau Li, bisa punya anak sampai lima orang. Aku satu pun belum,” kataku mengawali cerita kami. Sejak aku tiba, anak-anaknya Lily mulai akrab denganku.
“Tante temannya Mama ya ?” tanya George.
Si bungsu Claudia pun tak ketinggalan, “Tante kok mirip Mama Ndo.”
Aku menjelaskan pada mereka bertiga tentang persahabatanku dengan Lily dan keluarga di Hombel.


Tahun 1989, setelah lulus dari SPG Setia Bakti dan keluar dari asrama Susteran, aku diajak Lily tinggal di rumahnya sambil menunggu ijazah. Bapak Thias dan Mama Pau kuanggap sebagai orang tua angkatku. Kak Din yang saat itu sedang cuti melahirkan anak keduanya seperti kakak angkatku, sedangkan Thres, Upi, dan Yulti seperti adik angkatku. Hanya Kak Ndo yang belum kenal karena tinggal di Denpasar. Aku cukup mengenal keluarga ini dan merasa sedih karena harus berpisah.
“Bagaimana keadaan Bapak Thias dan Mama Pau ko ?” tanyaku.
“Mereka sekarang tinggal di Lembor. Rumah di Hombel untuk Upi dan keluarganya, yang bagian depan untuk Kak Ndo dan anak asramanya. Thres dan keluarganya di Karot. Yulti juga sudah berkeluarga dan tinggal di Karot,” cerita Lily.
Aku teringat si bungsu Yulti yang waktu itu baru kelas IV SD dan bercita-cita jadi dokter gigi. Eh, rupanya sekarang sudah jadi perawat di RS Ruteng. Upi sudah PNS.
“Aduh, rasanya kita sudah tua bangka juga ya Li. Dulu waktu kita di asrama semua orang menilai kita bertiga dengan Frinz sombonglah, apalah. Teringat kita rebutan makan lemet dari Romo Aci yang dulu cinta mati dengan Frinz. Eh, tahunya dia keluar juga dan malah kawin dengan Ely Supartan,” aku mulai membuka buku lama.
“Pantas Chik, dulu kan dia pernah bilang kalo dia jadi pastor kontrak lima tahun,” ujar Lily.
Kami pun mulai ngerumpi tentang Frinz dengan kedua lelakinya “Made “ dan “Aci”. Frinz tidak punya pacar di SPG, begitu juga Lily, karena mereka berdua sebelum berteman denganku ternyata sudah saling berjanji untuk tidak berpacaran dengan sesama siswa SPG SB. Makan tuh janji Non, biar naksir juga tapi gak mau menjilat ludah sendiri. Simon Helmon yang lumayan cakep suka dengan Lily tapi terpaksa Lily menahan perasaan karena sudah terlanjur janji dengan Frinz, akhirnya gigit jari melihat si Helmon mesraan dengan Ros Tewung. Aku, meskipun pernah ‘dekat’ dengan beberapa kakak kelas, dan terakhir dengan teman sebangkuku Sil Jeharung, tapi tetap tak bisa memisahkan persahabatan kami bertiga. Aku mulai akrab dengan Lily dan Frinz ketika kelas III dan pindah ke asrama susteran. Aku mendapat kehormatan semeja makan dengan para pengurus asrama. Lin Soleman ketua asrama, Lily wakilnya, Frinz ketua kamar makan. Lainnya aku lupa, pokoknya semeja makan itu hanya aku yang tak punya jabatan. Di sekolah kami beda kelas tetapi selalu bertemu saat istirahat. Penggemar kami adalah si Ingguk alias Pius Endo Nggenggo. Ini laki-laki paling baik se-SPG, setidaknya buat kami bertiga. Dimarahi, gak balas marahi, dicueki gak balas cuekin, yang ada dalam pikirannya mungkin yang penting bersama kami bertiga itu hebat. Hahaha… agak narsis, tapi kami memang trio yang sangat PD saat itu. Untung pacarku Kak Arkadius Bahri sudah lulus - lulus juga cintaku - sehingga tidak mengganggu kebersamaan kami bertiga. Aku dan Lily jelas jomblo, tapi Frinz masih ada Made dan Aci yang sama-sama mengharu-birukan perasaannya. Made adalah mantan gurunya di SMPN 1 Ruteng, dan Aci itu pastor yang saat itu jadi idola di Ruteng. Orangnya gak cakep, - kribo dan pesek - hanya punya talenta dalam bermain bahasa sehingga menyenangkan. Aku tak banyak tahu tentang Made, tapi kalau Aci emang cinta mati ama Frinz. Kami berdua Lily pun memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa makan enak. Lumayan juga sih kalo ada kiriman makanan dari pastoran yang diantar Tanta Fien pemasak paroki.
Di asrama kami sangat kompak, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan pelanggaran. Saat itu rasanya bangga banget bisa bolos dari asrama. Pernah kami bertiga bolos, eh bertemu Suster Maga di depan Imaculata, kami tutup dengan payung. Begitu sampai di asrama kami bertiga cepat-cepat ganti baju biar tidak ketahuan. Benar, Suster Maga entah memang lupa atau memaafkan kami, beliau tidak mengungkit lagi. Yang pasti beberapa kali kami mengulang tetap gak ketahuan sampai kami tamat. Bahkan kebiasaanku bersembunyi di kolong tempat tidur saat yang lain ke gereja pun tidak ketahuan sampai tamat. Banyak kenangan gila selama di asrama susteran saat itu. Aku dan Frinz punya rok hitam yang sama, padahal saat beli rok itu kami gak janjian (asli ). Rokku berumur panjang, sedangkan roknya Frinz hilang, entah siapa yang embat dari jemuran. Sialan juga tuh orang, iri hati kali lihat penampilan kami. Masih teringat juga waktu pernikahan Pak Yeremias Jehamat. Aku diminta untuk membantu dekorasi pelaminan. Saat itu Pak Yere baru baikan lagi denganku setelah kami musuhan waktu aku di kelas 2, gara-gara pas pelajaran beliau. Aku mesti cerita nih permasalahannya ya, biar nyambung…dengan kejadian selanjutnya. Pas pelajaran IPS, seperti biasa Pak Yere ngasih catatan. Ini guru paling malas berdiri saat ngajar, maunya duduk…aja sambil bacain materi untuk dicatat. Suatu hari (hahaha…kayak dongeng ) aku lupa bawa buku catatan sehingga saat beliau mendikte untuk teman lain, aku gambar-gambar di buku lainnya. Entah merasa dicuekin atau gimana perasaannya ngeliat aku sibuk sendiri, eh… disuruhnya aku ke perpustakaan. Jelas aku gak mau karena aku merasa punya hak untuk duduk di kelas, apalagi aku sama sekali tidak mengganggu orang lain. Mungkin beliau kesal dengan jawabanku, “Saya tidak mau, Pak. Kan saya bayar uang sekolah.” Langsung wajahnya merah dan berdiri, “Sekarang kamu pilih, kamu yang keluar atau saya yang keluar !”tanyanya. “Bapak yang keluar !” jawabku. Beliau kaget tapi karena itu pilihan dan sudah dijawab, maka keluarlah Pak Yere menuju ke ruang guru. Tanpa menunggu perintah, aku langsung melanjutkan tugasnya, membacakan materi sejarah untuk dicatat teman-teman sambil berjalan keliling kelas (seperti guru gitu), dan tengak-tengok ke luar. Eh, rupanya Pak Yere juga mengintip dari luar kegiatan kami di kelas. Mungkin dikiranya kami ribut atau bersukaria lainnya. Bel istirahat, Beny Bensy kembalikan buku-buku beliau. Bukan hanya itu, ada lagi masalah lainnya. Waktu aku sakit tenggorokan dan batuk-batuk, Pak Yere kira aku batuk main-main kali. Diteriakinya, “Samu, main gila, kamu !” Aku kesal sekali, dan berdiri sambil memukul meja, “Bapak kenapa selalu cari masalah dengan saya. Adel, saya batuk betul atau maen-maen ?” tantangku sambil bertanya pada Adelgonda Malti teman sebangkuku. Lagi-lagi beliau kaget dengan keberanianku. Sejak saat itu mau muntah rasanya aku melihat wajah Pak Yere (sungguh ! ). Aku berjanji pada diriku, meski kami bermasalah, aku tetap harus belajar yang serius pelajarannya supaya nilainya bagus, karena apabila sampai nilai di raporku tidak sesuai dengan hasil usahaku, aku akan protes. Apa yang terjadi ? Begitu kulihat nilai di raporku hanya 6, aku langsung mendatangi Sr. Inviola, menunjukkan semua nilai ulanganku (dalam buku ulangan IPS). Aku protes dan menceritakan semuanya pada Suster. Kami berhadapan lagi, dan dengan jiwa besar beliau meminta maaf padaku. Aku puas, meskipun tidak sempat bertanya apa yang menyebabkan beliau begitu sensitif melihatku. Dari kejadian ini aku berjanji, jika suatu saat aku jadi guru, aku tidak akan melakukan tindakan seperti guruku ini, balas dendam dengan memotong nilai siswa. Dosa lho.Kita kembali ke…dekorasi ! Nah, aku diminta bantuin dekor pelaminan di gedung patronat. Pak Yere datang izin ke Sr. Maga, tapi syarat dariku : harus bersama Lily dan Frinz. Soalnya sudah ada beberapa teman cowok yang ikut dalam kegiatan ini yang merupakan pasukan heboh seperti kami. Ada Sil Jeharung yang waktu itu sedang jatuh cinta denganku (maaf, kuanggap dia saudaraku), Stef Nyaman, Blasius Tap, Pius Endo, Piche, banyaklah. Betapa gembiranya Lily dan Frinz diajak keluar asrama dengan terhormat seperti itu (biasanya kami bolos…). Namanya sebagai penggembira, tugas mereka berdua ya gak jelas juga, yang penting rame dan heboh, apalagi makan dan minum terjamin. Malamnya pun ikut pesta. Seru…!Kami bertiga melewati hari-hari di asrama dengan riang gembira, meskipun banyak yang sirik dengan kami. Karena kelas kami berbeda, aku gak banyak tahu kegiatan mereka berdua di kelas. Tapi kalo soal IQ, kayaknya IQ aku masih lebih dari mereka berdua. Hahaha… pasti mereka berdua marah besar bacanya. Tapi faktanya, aku selalu masuk 3 besar lho. Mereka berdua ya… 5 ke bawahlah. Hahaha…emang enak…!


Cerita tentang lelaki yang bernama ACI. Si pastor centil ini cinta mati ama Frinz. Entah susuk apa yang dipakai Frinz sehingga membuat pastor muda ini tergila-gila padanya. Tapi kalo aku amati, Frinz sama sekali gak genit ama dia. Mungkin aura keimpetan Frinz yang membuat Aci terpesona. Hampir setiap sore, aku dan Lily menanti dengan penuh kerinduan semangkok lemet dari paroki. Frinz gak mau makan, tapi berdua Lily yang sikat. Kapan lagi to ? Maklum, anak asrama.Setelah ujian akhir, kelas 3 ret-ret di Mataloko. Seru… karena ini perjalanan yang jauh. Bagi Lily dan Frinz merupakan pertama kali jalan jauh (dasar orang kurang bergaul), tapi bagiku sudah tak asing lagi karena Mataloko ini tempat sekolahku dulu di SMPK Kartini. Hahaha… aku merasa asyik aja ngerendahin mereka berdua di tulisanku ini karena cuma aku yang bisa menulis kembali semua kenangan kami, mereka berdua tinggal membaca dan dilarang protes. UUD kami ber-3. Ret-ret dibimbing oleh Pater Marsel Lombe, OFM, Romo Frans Aci, Pr dan Pak Kon Mitang. Tiga serangkai kribo ini memang laris manis menjadi pembimbing ret-ret di Ruteng, bahkan di luar Ruteng. Materi dan teknik penyampaian mereka memang asyik dan menarik, ditambah joak dan gara-gara, lengkaplah. Selain itu kesempatan pula menebar pesona, karena beberapa tahun kemudian kedua pastor ini menanggalkan jubah alias keluar dan kabur ke Jawa. Tinggallah Mr. Mitang kribo merana seorang diri, tahan-tahan sebagai organis di gereja. Nasib …! Oya, selama ret-ret sempat juga ada masalah dengan Pak Yos Labu. Ini guru psikologi tapi paling reseh. Aku dan Frinz dibuat nangis tersedu-sedu, tapi akhirnya dia baikan ama kami dan berjiwa besar untuk meminta maaf pada kami. Dengan ingus masih ditarik-tarik, berdua Frinz makan semeja dengan beliau di malam terakhir sebagai tanda perdamaian. Lily lagi bernasib baik, luput dari masalah dengan si guru longkong itu. Lily sebetulnya sama gilanya dengan kami berdua Frinz, hanya tampang dia yang keibuan (ampo munafiknya luar biasa) dan penampilannya yang lebih feminin berhasil mengecoh para guru sehingga kesannya bahwa kami berdua Frinz yang ‘merusaki’ otaknya. Lily selalu bernasib ‘sedikit’ lebih baik dari kami, kurang mendapat teguran dan hukuman. Syukurlah dia !Seminggu sepulang dari ret-ret, kami bertiga diajak jalan-jalan oleh Aci ke gereja Taga. Saya boncengan dengan Om Daniel (pegawai Toko Buku Nusa Indah), Frinz seharusnya boncengan dengan Aci, tapi takut ketahuan orang-orang di jalan, jadilah boncengan dengan Lily, dan Aci seorang diri. Kalo diingat-ingat lagi, kami sebetulnya gak jelas tujuan hari itu. Di Taga hanya numpang lewat doang, gak ngapa-ngapain, keliling terus pulang ke asrama. Dasar Aci gila, kami juga jadi ikutan. Tapi sempat ditraktir makan sih siang itu. Yang penting rame ajalah. Aku dan Lily adalah penggembira, ditambah Om Daniel.Perpisahan yang menyedihkan antara kami bertiga di asrama. Aku masih sempat tinggal di rumah Lily beberapa minggu, sedangkan Frinz pulang ke Pagal. Sekembali ke rumahku, tanggal 3 Juni aku terbang ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah di Malang (rencana awal). Lily melanjutkan kuliah di Denpasar bersama Kak Ndo. Frinz ? Belum ada kabar. Hubungan dengan Lily masih berlanjut lewat surat, karena sebelum berpisah aku memberikan alamat kos kakakku di Malang. Komunikasi kami terus berjalan, sedangkan dengan Frinz terputus. Kami tak tahu alamat terakhirnya. Baru beberapa bulan kemudian, kuterima surat dari Frinz yang ternyata kuliah di Lombok. Rupanya dia sudah menghubungi Lily. Terjalin kembali komunikasi antara kami bertiga. Rasanya bahagia sekali walau hanya lewat surat.


Tahun 1990, aku pulang libur untuk menjemput Elson. Dari Yogya aku naik bis ke Denpasar. Oya, aku terus gak jadi kuliah di Malang tapi pindah ke Yogya dan kuliah di Sanata Dharma. Di Denpasar aku nginap di kos Lily, bertemu dengan Kak Ndo dan Kak Obet (pacar Lily), ada juga si Ingguk alias Pius Endo (kutu kupret yang masih setia mencintai kami bertiga dalam segala keadaan). Pulang dari Flores bersama Elson, kami mampir di kos Lily lagi. Sialan, waktu itu uangku kurang. Untung ada dewa penolong…INGGUK. Dia meminjamkan uang untuk kami berdua Elson ke Yogya. Kak Obet setia mengantar kami sampai naik bis ke Yogya. Tahun 1993, aku pulang libur karena ayahku masuk rumah sakit. Naik bis dari Yogya ke Denpasar tapi tidak mampir Lily, dan sampai di Sape saat berdesak-desakan berebutan tempat duduk di kapal ferry, eh…kok ada suara mirip Frinz. Begitu dia balik (tadinya lagi tunduk nungging-nungging gitu), hah…?? Kami berpelukan seperti teletubies. Perjalanan jadi rame dan heboh. Gak nyangka kami bertemu di kapal. Tiba di Ruteng sudah tengah malam, aku pun ikut nginap di rumah Bapak David Dapit (bapa tuanya Frinz). Masih terus heboh dan seru…!Rupanya itu pertemuan kami yang terakhir. Kami hanya kontak lewat surat dan hanya berlangsung hingga tahun 1994. Setelah itu dengan Lily pun kami kehilangan kontak meskipun aku tahu dia dan keluarga di Jakarta. Sibuk dengan urusan pribadi, keluarga dan karier masing-masing. Hingga akhirnya aku punya ide untuk mengirim surat kepada redaksi Flores Pos Jakarta, mencari tahu keberadaan Lily. Puji Tuhan, harapanku terkabul, akhirnya kami bisa bertemu kembali. Seminggu setelah aku berkunjung ke rumahnya, kunjungan balasan Lily dan Claudia ke rumahku. Dengan bangganya dia membawa pudding bikinannya. Enak juga, bukti dia ibu rumah tangga sejati. Hebat, bukan hanya jago bikin anak (5 orang bo…) tapi juga jago masak.


Tentang Frinz ??? Mei 2006 (sebulan setelah aku ‘menemukan’ Lily), ada sms masuk. “Chiek, lagi ngapain ? Masih ingat Ping ?” Langsung kutelpon dia. Tuhan, Kau membuat segalanya indah pada waktunya. Kami ngobrol…melepas kerinduan walau hanya lewat hp. Dia tahu nomor hp-ku dari Kak Yasin (teman gurunya di MGMP). Komunikasi kami kembali terjalin. Tak lama setelah itu ada sms dari teman kami lainnya, Yan Empang. Nama ini agak asing di telinga dan ingatanku karena dulu bukan teman akrab, hanya satu angkatan saja. Dia begitu mengenalku, tapi aku sama sekali tak punya bayangan tentang dia meskipun dijelasin Frinz sedetail-detailnya. Namun tidak mengurangi rasa hormatku padanya, kami sering berkomunikasi via sms.


30 Januari 2008, aku kirim sms untuk Frinz menanyakan teman-teman dan guru-guru yang mungkin dia tahu atau bertemu di Ruteng. Balasannya pada pukul 13.45 (masih tersimpan di hp-ku), “Ancik maaf aq br baca smsmu. Aq gak tau kbr Lin. Pak Sabinus di Rtg, Pak Yere jg aq srg ketemu.” Rupanya ini adalah sms terakhir Frinz untukku, karena ….


Jumat, 8 Februari 2008 pukul 09.00 WIB ada sms masuk dari Yan Empang. “Ibu Sis , teman kita Ibu Frinz Jelita sudah meninggal di RS Ruteng jam 09.00 WITA.” Darahku serasa mau berhenti mengalir (sungguh !). Aku kaget dan tak percaya. Segera kutelpon ke nomor Frinz sendiri, masuk…dan suara perempuan. Frinz-kah ? Ternyata suara Ilon adiknya. “Betul Ibu, Kak Frinz sudah pergi.” Aku berteriak kencang di kamarku (suamiku sudah berangkat kerja, aku masih libur Imlek). Aku protes pada Tuhan, tak percaya dengan berita ini. Aku cari nomor telpon rumah Lily, kutelpon gak masuk . Aku benci dengan kenyataan ini. Aku hubungi hp suami Lily, tidak diangkat. Tuhan, kenapa jadi susah menghubungi Lily ? Kutelpon Yan Empang minta dia segera ke rumah Frinz, karena aku ingin tahu cerita penyebab kematian Frinz. Satu jam kemudian baru bisa terhubungi nomor hp Kak Robert. Lily di rumah pun bisa dihubungi. Aku dan Lily hanya bisa menangis di telpon. Aku sempat menghubungi suami Frinz, tapi gak tega mendengar suaranya yang lemah. Aku jadi stress, dan kakiku kedinginan, gemetar. Kutelpon suamiku dan menceritakan berita itu. Aku sedih, aku tak percaya. Tuhan, mengapa Kau ambil dia sekarang. Bayinya baru berumur 3 bulan. Kak Yasin menelponku, dikira aku belum tahu berita duka itu. Padahal seminggu yang lalu saat Merlin (anaknya Kak Yasin) pulang libur ke Ruteng, sebetulnya aku ingin menitip sesuatu untuk Frinz. Tapi waktu itu aku bingung mau dikasih apa, khawatir terlalu berat nanti merepotkan Merlin. Sehari setelah Merlin nyampe, Frinz meninggal. Andaikan aku jadi mengirim sesuatu, pasti langsung dibawa juga ke kuburnya.
“Li, untung juga ada si Empang itu ya. Gak sia-sia juga Frinz kasih no hp-ku ke dia. Kalo gak, bisa jadi kita gak tahu Frins meninggal kan ?”
“Iya, Chik. Berdosa juga lu kagak ingat-ingat wajahnya tapi lu yang dihubungi pertama.”
Mungkin Tuhan sudah mengatur semuanya. Frinz memberi no hp-ku pada Yan sehingga saat dia meninggal, Yan-lah yang mengabari aku dan Lily. Terima kasih Tuhan ! Selamat jalan Frinz, selamat jalan sahabatku. Kami akan tetap dan selalu mengenangmu...

Tidak ada komentar: