“Sekolah yang benar Ine, supaya dapat kerja yang bagus. Setelah kerja baru menikah dengan pilihan yang tepat,” begitu nasihat mama dalam suratnya di masa kuliah. Saya masih ingat saat itu balasan untuk surat saya yang menceritakan tentang hubungan saya dengan pacar saya yang kini sudah menjadi suami saya.Mama tidak pernah mengatakan setuju atau tidak dengan pilihan saya, tetapi hanya mengatakan bahwa pilihlah yang tepat menurut saya. “ Ine, yang nanti hidup bersama itu kalian, jadi kalau kau merasa cocok untukmu kelak, jalani menurut pilihan hatimu,” balasan mama lagi. Saya merasa mama saya bijaksana. Tetapi ternyata sebetulnya itu pancingan beliau terhadap pilihan, karena diam-diam bapak dan mama menyetujui perjodohan dengan anak saudara sepupu bapak. Begitu saya tahu dari Tilla yang saat itu pulang kampung dan mendengar pembicaraan mereka, hati saya menjadi panas. Saya langsung memberontak. Saya tidak setuju dengan perjodohan itu. Saya tetap pada pilihan saya. Saya marah dengan sikap bapak dan mama.
Liburan 1996 saya pulang kampung. Sehari di rumah orang tua, datanglah tanta Sofi yang anaknya mau dijodohkan dengan membawa ayam jantan. “Tanta Sofi, manu ngi mo dheo ana ane atau dheo tu’a ga’e (ayam ini mau bawa untuk keponakan atau menantu) ?”tanya saya tanpa basa-basi. “Karena ngaza mo tau tu’a ga’e, ma’e ngasi, uzu nga’o ne ne’e calon da Ma’u (kalau untuk menantu, maaf, karena saya sudah punya calon orang dari Nangaroro),”jelas saya. Dengan pandainya tanta mengatakan bahwa beliau membawa ayam itu sebagai tanda penyambutan kedatangan saya sebagai keponakan. Mungkin tanta agak tersinggung dengan pernyataan tadi tetapi saya harus berterus terang agar mereka mengerti bahwa saya sudah tahu rencana mereka. Saya pun menikmati daging ayam itu dengan perasaan senang, maklum di Yogya tidak pernah makan daging ayam kampung. Sambil makan daging ayam pemberian tanta Sofi, dengan tegas saya menjelaskan hubungan saya dengan Abang Nus pada bapak dan mama. Bapak tenang saja mendengarnya tetapi saya lihat raut wajahnya berubah. Mama pura-pura menikmati makanan dengan semangat. “Saya tidak menolak perjodohan bapak dan mama jika saja saya belum punya pacar. Tetapi perlu bapak dan mama tahu bahwa saya sangat menyesal dengan rencana ini karena sebagai orang mengerti mengapa bapak dan mama ikut mengembangkan budaya seperti zaman Siti Nurbaya ?”jelas saya. “Sudah berapa ekor kerbau atau sapi atau ayam yang mereka bawa untuk kita ?” tanya saya. “Atau jangan-jangan kalau ada acara keluarga mereka bawa-bawa dengan maksud untuk mengikat saya dan Victor ?”lanjut saya. “Mereka belum pernah bawa apa-apa atas nama perjodohan ini, hanya sebagai ana weta nara (anak saudara dan saudari) kalau ada acara pasti mereka membawa sesuatu,” jelas bapak. “Aduh, saya selalu bilang bahwa anak saya masih sekolah. Kalau kalian mau dengan anak saya ya harus sekolah tinggi seperti anak saya,” kata mama dengan bangga dan percaya diri (biasa, mama selalu semangat kalau bicara soal anak sekolah). “Nah, sekarang anak mereka sudah sarjana juga. Apa jawaban mama kalau mereka sekarang sudah memenuhi keinginan mama ?” balas saya. “Oh, saya akan bilang bahwa tadinya merencanakan begitu, tetapi ternyata sekarang anak saya sudah punya pilihan sendiri, kita harus menghargai pilihan mereka. Lagipula mereka harus bersyukur bahwa dengan demikian anaknya bisa disekolahkan sampai sarjana to,” jawab mama membela diri. “Okelah, tetapi saya ingin tahu juga, sebetulnya sejak kapan bapak dan mama juga keluarga mereka merencanakan ini semua ?” tanyaku. “Ine, sejak kau masih kecil itu, Kae Meka sebelum meninggal berpesan kepada bapak agar salah satu dari kedua anak perempuan bapak dijodohkan dengan salah seorang anak laki-lakinya Mama Sofi dan Bapak Markus,” jelas bapak dengan wajah yang penuh belas kasihan. Aku jadi iba melihat bapak dan mama seperti di depan pengadilan, padahal hanya di depan anak gadisnya sendiri. Kami sudah selesai makan. Kami sepakat melanjutkan setelah membereskan piring kotor dan lainnya.
Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga (maklum rumah dinas guru hanya satu ruangan yang besar), kami lanjutkan pembicaraan. Hanya kami bertiga, karena di rumah memang hanya kami bertiga. Bapak menjelaskan panjang lebar tentang hal ihwal perjodohan itu, saya mendengar dengan seksama. Mama mendengar dengan wajah yang tidak puas, entah tidak puas karena penolakan saya atau tidak puas karena terpaksa menyetujui ide gila seperti itu saya tak tahu. “Ine, akhir dari semuanya memang kau yang menentukan, tetapi sebagai orang tua yang meski berpendidikan namun masih memegang adat, kami berkewajiban melaksanakan permintaan almarhum. Tetapi ternyata kalian tidak berjodoh, ya kami tidak memaksa,” kata bapak dengan nada haru. “Bapak dan mama tidak tergiur dengan kerbau, sapi, kuda mereka,” goda saya. “Ine, daripada kau nanti hidup tersiksa, jangan buat susah hidupmu,” tambah mama dengan penuh kearifan.
Malam itu kami sepakat juga, urusan perjodohan tidak dilanjutkan lagi. Saya tetap dengan pendirian saya, pilihan saya, Abang Nus yang tercinta di Yogya. Saya merasa lega, tetapi tidak demikian dengan bapak dan mama. Ternyata mereka belum ikhlas dengan pernyataan mereka, mungkin karena berhubungan dengan adat. Saya segera angkat kaki, tak sanggup saya melihat wajah mereka yang seperti memohon belas kasihan. Di satu sisi saya merasa berdosa dengan bapak dan mama karena menolak perjodohan ini, tetapi di sisi lain saya harus memperjuangkan cinta pada pacar saya, pilihan hati saya. Saya putuskan untuk segera kembali ke Yogya meskipun waktu liburan belum habis.
Malam setelah menulis separuh cerita di atas, saya bermimpi buruk sekali, saya mendapat SMS melalui HP teman guru yang bunyinya “Bapak Theodorus Samu sudah berpulang untuk selama-lamanya.” Saya terbangun langsung memeluk suami saya karena ketakutan sambil bercerita tentang mimpi tersebut. Kata suami saya menghibur bahwa itu tandanya bapak kita panjang umur. Itu yang saya harapkan dalam setiap doa-doa saya.
Saya lalu teringat saat bapak dan mama ke Jakarta, kami ajak mereka keliling Monas, Lubang Buaya, TMII. Mereka kelihatan bahagia sekali, karena akhirnya bisa sampai di tempat-tempat yang dulunya hanya ada dalam buku-buku yang diajarkan kepada kami. Setiap tempat yang dikunjungi saya sempatkan mengabadikan mereka berdua. Mereka sangat menikmati perjalanan keliling Jakarta. Satu cita-cita saya lagi, mengajak mereka naik pesawat terbang, karena baru kami anak-anaknya yang menikmati penerbangan.
Tahun 2006 bapak dan mama ke Jakarta lagi, dan kali ini mereka naik pesawat. Cita-cita saya tercapai. Kami ramai-ramai ke Yogya, wisuda adik yang bungsu. Mereka bahagia karena ketiga anaknya sudah lulus sarjana.
Tentang perjodohan saya akhirnya memang tinggal cerita karena cinta saya sudah tertambat pada Abang Nus yang kini menemani hari-hari indah dalam hidup saya. Kak Victor yang dijodohkan dengan saya itu juga sekarang guru yang mengajar di Maurole Ende, dan sudah menikah dengan gadis pilihannya asal Sabu, teman gurunya juga. Dulu sewaktu di Yogya, dia pernah menelpon saya dan meminta maaf atas perjodohan itu karena dia juga sebetulnya kurang setuju dengan cara seperti itu. Dia pernah mengirimkan saya hadiah ulang tahun tetapi pesannya bahwa itu sebagai tanda persaudaraan, bukan karena perjodohan. Kami memang menghabiskan masa kecil bersama-sama karena sejak SD dia ikut tinggal bersama keluarga saya. Kami adalah saudara., sama-sama mendapat pasangan guru. Lagi-lagi dalam lingkaran keluarga GURU.
Liburan 1996 saya pulang kampung. Sehari di rumah orang tua, datanglah tanta Sofi yang anaknya mau dijodohkan dengan membawa ayam jantan. “Tanta Sofi, manu ngi mo dheo ana ane atau dheo tu’a ga’e (ayam ini mau bawa untuk keponakan atau menantu) ?”tanya saya tanpa basa-basi. “Karena ngaza mo tau tu’a ga’e, ma’e ngasi, uzu nga’o ne ne’e calon da Ma’u (kalau untuk menantu, maaf, karena saya sudah punya calon orang dari Nangaroro),”jelas saya. Dengan pandainya tanta mengatakan bahwa beliau membawa ayam itu sebagai tanda penyambutan kedatangan saya sebagai keponakan. Mungkin tanta agak tersinggung dengan pernyataan tadi tetapi saya harus berterus terang agar mereka mengerti bahwa saya sudah tahu rencana mereka. Saya pun menikmati daging ayam itu dengan perasaan senang, maklum di Yogya tidak pernah makan daging ayam kampung. Sambil makan daging ayam pemberian tanta Sofi, dengan tegas saya menjelaskan hubungan saya dengan Abang Nus pada bapak dan mama. Bapak tenang saja mendengarnya tetapi saya lihat raut wajahnya berubah. Mama pura-pura menikmati makanan dengan semangat. “Saya tidak menolak perjodohan bapak dan mama jika saja saya belum punya pacar. Tetapi perlu bapak dan mama tahu bahwa saya sangat menyesal dengan rencana ini karena sebagai orang mengerti mengapa bapak dan mama ikut mengembangkan budaya seperti zaman Siti Nurbaya ?”jelas saya. “Sudah berapa ekor kerbau atau sapi atau ayam yang mereka bawa untuk kita ?” tanya saya. “Atau jangan-jangan kalau ada acara keluarga mereka bawa-bawa dengan maksud untuk mengikat saya dan Victor ?”lanjut saya. “Mereka belum pernah bawa apa-apa atas nama perjodohan ini, hanya sebagai ana weta nara (anak saudara dan saudari) kalau ada acara pasti mereka membawa sesuatu,” jelas bapak. “Aduh, saya selalu bilang bahwa anak saya masih sekolah. Kalau kalian mau dengan anak saya ya harus sekolah tinggi seperti anak saya,” kata mama dengan bangga dan percaya diri (biasa, mama selalu semangat kalau bicara soal anak sekolah). “Nah, sekarang anak mereka sudah sarjana juga. Apa jawaban mama kalau mereka sekarang sudah memenuhi keinginan mama ?” balas saya. “Oh, saya akan bilang bahwa tadinya merencanakan begitu, tetapi ternyata sekarang anak saya sudah punya pilihan sendiri, kita harus menghargai pilihan mereka. Lagipula mereka harus bersyukur bahwa dengan demikian anaknya bisa disekolahkan sampai sarjana to,” jawab mama membela diri. “Okelah, tetapi saya ingin tahu juga, sebetulnya sejak kapan bapak dan mama juga keluarga mereka merencanakan ini semua ?” tanyaku. “Ine, sejak kau masih kecil itu, Kae Meka sebelum meninggal berpesan kepada bapak agar salah satu dari kedua anak perempuan bapak dijodohkan dengan salah seorang anak laki-lakinya Mama Sofi dan Bapak Markus,” jelas bapak dengan wajah yang penuh belas kasihan. Aku jadi iba melihat bapak dan mama seperti di depan pengadilan, padahal hanya di depan anak gadisnya sendiri. Kami sudah selesai makan. Kami sepakat melanjutkan setelah membereskan piring kotor dan lainnya.
Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga (maklum rumah dinas guru hanya satu ruangan yang besar), kami lanjutkan pembicaraan. Hanya kami bertiga, karena di rumah memang hanya kami bertiga. Bapak menjelaskan panjang lebar tentang hal ihwal perjodohan itu, saya mendengar dengan seksama. Mama mendengar dengan wajah yang tidak puas, entah tidak puas karena penolakan saya atau tidak puas karena terpaksa menyetujui ide gila seperti itu saya tak tahu. “Ine, akhir dari semuanya memang kau yang menentukan, tetapi sebagai orang tua yang meski berpendidikan namun masih memegang adat, kami berkewajiban melaksanakan permintaan almarhum. Tetapi ternyata kalian tidak berjodoh, ya kami tidak memaksa,” kata bapak dengan nada haru. “Bapak dan mama tidak tergiur dengan kerbau, sapi, kuda mereka,” goda saya. “Ine, daripada kau nanti hidup tersiksa, jangan buat susah hidupmu,” tambah mama dengan penuh kearifan.
Malam itu kami sepakat juga, urusan perjodohan tidak dilanjutkan lagi. Saya tetap dengan pendirian saya, pilihan saya, Abang Nus yang tercinta di Yogya. Saya merasa lega, tetapi tidak demikian dengan bapak dan mama. Ternyata mereka belum ikhlas dengan pernyataan mereka, mungkin karena berhubungan dengan adat. Saya segera angkat kaki, tak sanggup saya melihat wajah mereka yang seperti memohon belas kasihan. Di satu sisi saya merasa berdosa dengan bapak dan mama karena menolak perjodohan ini, tetapi di sisi lain saya harus memperjuangkan cinta pada pacar saya, pilihan hati saya. Saya putuskan untuk segera kembali ke Yogya meskipun waktu liburan belum habis.
Malam setelah menulis separuh cerita di atas, saya bermimpi buruk sekali, saya mendapat SMS melalui HP teman guru yang bunyinya “Bapak Theodorus Samu sudah berpulang untuk selama-lamanya.” Saya terbangun langsung memeluk suami saya karena ketakutan sambil bercerita tentang mimpi tersebut. Kata suami saya menghibur bahwa itu tandanya bapak kita panjang umur. Itu yang saya harapkan dalam setiap doa-doa saya.
Saya lalu teringat saat bapak dan mama ke Jakarta, kami ajak mereka keliling Monas, Lubang Buaya, TMII. Mereka kelihatan bahagia sekali, karena akhirnya bisa sampai di tempat-tempat yang dulunya hanya ada dalam buku-buku yang diajarkan kepada kami. Setiap tempat yang dikunjungi saya sempatkan mengabadikan mereka berdua. Mereka sangat menikmati perjalanan keliling Jakarta. Satu cita-cita saya lagi, mengajak mereka naik pesawat terbang, karena baru kami anak-anaknya yang menikmati penerbangan.
Tahun 2006 bapak dan mama ke Jakarta lagi, dan kali ini mereka naik pesawat. Cita-cita saya tercapai. Kami ramai-ramai ke Yogya, wisuda adik yang bungsu. Mereka bahagia karena ketiga anaknya sudah lulus sarjana.
Tentang perjodohan saya akhirnya memang tinggal cerita karena cinta saya sudah tertambat pada Abang Nus yang kini menemani hari-hari indah dalam hidup saya. Kak Victor yang dijodohkan dengan saya itu juga sekarang guru yang mengajar di Maurole Ende, dan sudah menikah dengan gadis pilihannya asal Sabu, teman gurunya juga. Dulu sewaktu di Yogya, dia pernah menelpon saya dan meminta maaf atas perjodohan itu karena dia juga sebetulnya kurang setuju dengan cara seperti itu. Dia pernah mengirimkan saya hadiah ulang tahun tetapi pesannya bahwa itu sebagai tanda persaudaraan, bukan karena perjodohan. Kami memang menghabiskan masa kecil bersama-sama karena sejak SD dia ikut tinggal bersama keluarga saya. Kami adalah saudara., sama-sama mendapat pasangan guru. Lagi-lagi dalam lingkaran keluarga GURU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar