Jumat, 05 Desember 2008

Tentang AYAH ...


Dadanya bagai daun talas yang lebar
Dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti, dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah nasib
………..

Rendra
(Dari sajak ‘Rumah Pak Karto’)

Nada dering hp-ku berbunyi, mengganggu tidur. Kubuka tas, di layar tertera nama Bpk DPR. Itu nomor Paman Vincent, saudara bungsu ibuku.
“Hallo Nona, selamat ulang tahun ya. Maaf, agak terlambat. Kabar baik kan ?”
“Terima kasih, Om. Kabar baik. Aku tahu, pasti pas ulang tahunku Om lagi di tempat yang tidak ada sinyal sehingga tidak bisa telpon to ?”
Ini satu-satunya Om-ku yang selalu ingat akan ulang tahun kami, seperti kakaknya, Ibuku. Di mana pun beliau berada pasti selalu berusaha menelpon atau mengirim kartu ucapan atau telegram untuk kami semua yang sedang merayakan hari istimewa.
“Nona, orang tuamu sekarang sibuk. Ayahmu selalu di sawah menjaga padinya yang sebentar lagi akan dipanen, sedangkan ibumu di rumah dengan cucian dan jahitannya. Bagaimana dengan Elson, kapan penelitian untuk skripsinya ? Om juga sudah lama tidak bertemu dengan mereka, baru semalam dari rumah, dan hanya bertemu ibumu,” cerita Om.
“Kami baik-baik, Om. Elson baru semalam kembali ke Yogya untuk mengurus KRS dan administrasi lainnya. Setelah itu akan pulang penelitian di Kupang,” balasku.
Tiba-tiba, tit…tit…tit…, pulsanya habis. Cerita kami terputus. Lalu aku lanjutkan melalui SMS. Pulsaku juga sekarat, tidak cukup untuk menelpon.

Karena tak bisa tidur lagi, untuk menghabiskan waktu hingga turun bus di pintu tol barat, aku membaca buku “GURU Tanpa Tanda Jasa” Kumpulan Karangan Himpunan Pengarang Aksara yang baru kupinjam dari perpustakaan sekolah. Ternyata tak bisa konsentrasi. Pikiranku melayang … melamun …melayang … membayangkan ayahku duduk di pinggir sawah, mengawasi burung-burung yang mengganggu padinya. Sambil berteriak atau berdehem-dehem, atau memukul-mukul kaleng yang diikat di tiang orang-orangan untuk menakut-nakuti burung. Begitu caranya mengusir burung di sawah. Ayahku memang sangat telaten dengan urusan seperti itu. Apalagi memasuki masa pensiun seperti sekarang.
“Tol barat, tol barat…!" teriak kondektur membuyarkan lamunanku.
Aku segera turun, dan niatku ; setibanya di rumah aku harus menulis tentang orang tuaku.

Ayahku, lelaki bertubuh pendek, selalu memakai baju lengan panjang, kapan dan di mana pun. Itu untuk menutupi bekas luka di lengan kanannya akibat kecelakaan oto tahun 1993 di Tutubhada Rendu. Rambutnya belum beruban karena ayahku rajin merawatnya dengan minyak rambut khusus bermerk Natebal. Cerita tentang minyak rambut Natebal, suatu hari ketika naik KRL dari stasiun Sawah Besar menuju Lenteng Agung bersama Kak Hilde, di depanku duduk seorang bapak yang sepertinya memakai minyak rambut Natebal. Aku sangat mengenal bau itu. Langsung aku berteriak, “Kae, wau minyak fu amekae de nia ngao te bhila wau minyak fu ame ngao.” (Kak, bau minyak rambut bapak di depanku ini seperti bau minyak rambut ayahku). Kak Hilde terheran-heran. Ketika kujelaskan, Kak Hilde terpingkal-pingkal, tidak menyangka bahwa sampai sebegitu amat kenanganku dengan bau minyak rambut yang dipakai ayahku.

Ayahku belum setua teman-teman seusianya. Jalannya masih sangat kuat dan cepat. Siapa pun yang bertemu dengan beliau akan menyapanya, Bapak Guru, Pak Guru, Pak Dorus, Om Guru, Kakek Guru, Opa, atau Amekae (bapak tua). Ke mana pun pergi, si bapak tua ini selalu membawa payung bertangkai panjang, tidak seperti laki laki pada umumnya yang memakai topi. Alasannya, serba guna. Selain fungsi utamanya, bisa juga sebagai tongkat. Jika bertemu binatang liar seperti ular, bisa dimanfaatkan.
“Sedia payung sebelum hujan, Anak’” selalu begitu nasihatnya.

Ayahku, Theodorus Samu, asli dari Rendu, sebuah kampung adat yang sama sekali tidak tercacat atau tercantum dalam peta Indonesia. Sebagai putra sulung dalam keluarga, bersama kedua saudarinya; Tanta Lusia Nuba dan Tanta Sofia Kowe, mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga petani sederhana yang buta huruf. Setelah kakekku Petrus Lepa meninggal, nenekku bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi ketiga anaknya. Nenekku bertubuh pendek dan selalu tersenyum adalah seorang janda yang ulet, yang sendirian membiayai sekolah anak laki-laki satu-satunya tanpa mengharapkan belas kasih orang lain. Benar-benar usaha jerih payah sendiri.

Ayahku Theodorus Samu, 67 tahun yang lalu, tepatnya 26 Juni 1941, dilahirkan dalam suasana perang dan sengsara. Karena orang tuanya buta huruf, nyaris anak-anaknya tidak bersekolah. Apalagi jarak antara kampung ayahku dengan sekolah yang jauh, dan harus menyeberangi sungai yang deras, kedua orang tuanya jelas tak rela anaknya tenggelam ditelan arus. Maklum, belum terpolusi pikiran modern sehingga mereka beranggapan bahwa bersekolah berarti berpihak pada penjajah. Jangankan rela anaknya bersekolah, keluar rumah saja mereka sudah cemas dan takut kalau-kalau anaknya akan ditangkap Jepang yang katanya saat itu berkeliaran. Padahal, mungkin gak sih kampung sepencil Segho di Rendu itu dimasuki Jepang ?

Ayahku masuk kelas I dan II di SRK Rendu Jawakisa, kelas III dan IV di SRK Jawatiwa. Itu bukan karena dorongan orang tua tetapi nekatnya sendiri. Ayahku termasuk anak yang cerdas, tekun, dan ulet. Tidak ada keistimewaan selama SR, hanya saja semua orang mengenalnya berasal dari keturunan terpandang tetapi sederhana di kampung Segho. Ayahnya beristri dua. Karena istri pertamanya nenek Maria Dhupa tidak memberikan keturunan, kakek lalu kawin lagi dengan nenek Magdalena Mau atas izin istri pertamanya. Mereka hidup bersama dengan rukun dan penuh persaudaraan hingga kakek meninggal.

Lulus SR di Jawatiwa, ayahku melanjutkan kelas V dan VI di SRK Radja. Karena jarak dari kampung Segho ke Radja yang sangat jauh, oleh nenek, anaknya itu dititipkan pada keluarga Bapak Guru Sipri Tu, yang kebetulan istrinya masih keponakan nenek. Terima kasih Bapak Guru Sipri dan alm. Tanta Nyora Ance, atas bimbingan dan perhatian pada ayahku.

Sebagai anak sekolah yang menumpang tinggal di rumah guru - saudara sekalipun – ayahku sangat tahu diri. Sebagian pekerjaan rumah tangga harus ikut dibantu, apalagi saat itu sangat susah. Bangun pagi, sebelum berangkat ke sekolah harus menimba air di sungai, menyapu rumah dan halaman, memasak bubur untuk sarapan bersama. Sepulang sekolah bantu mencuci piring setelah makan, memberi makan babi, menimba air, barulah aman belajar meskipun hanya diterangi lampu sumbu atau pelita. Itulah rutinitas ayahku selama tiga tahun tinggal bersama keluarga Bapak Guru Sipri di Radja.
“Ayahmu ini sangat rajin dan termasuk anak yang patuh dan tertib, serta disiplin,” cerita Bapak Guru Sipri ketika kami bertemu di Maukeli tahun 1985.

Setiap Selasa adalah hari pasar di Radja. Nenek dan Tanta Sia ke pasar sekalian bertemu dan mengantarkan makanan untuk anaknya di rumah Bapak Guru Sipri. Makanan itu dinikmati bersama. Bagi nenek dan kedua tantaku, ayah adalah tumpuan harapan dan perhatian mereka. Terutama Tanta Sia yang rela putus sekolah agar membantu nenek mencari uang dengan memelihara babi, berkebun, menjual kapur sirih untuk membiayai sekolah saudaranya. Tanta Sia itu wanita perkasa. Trampil mengerjakan semua pekerjaan wanita dan laki-laki. Aku sangat mengaguminya. Tanta Sofi yang kemudian kami memanggilnya tanta nyora, cukup baik nasibnya. Lulus SR, dilanjutkan dengan kursus ketrampilan wanita di susteran Mataloko, pulangnya dilamar oleh seorang guru muda yang saat itu mengajar satu sekolah dengan ayahku, namanya Guru Zakharias Roga. Makanya orang memangginya Nyora karena zaman Belanda semua istri guru dipanggil nyora guru. Sedangkan Tanta Sia menikah dengan seorang pemuda dari kampung Jawatiwa lulusan SMP, Om Yohanes Djago.

Setamatnya dari SRK Radja, ayah melanjutkan ke SMPK Kotagoa, kemudian ke SGA Boawae. Zaman itu sekolah guru menjadi sangat favorit dan menjadi guru adalah kebanggaan. Alasannya sederhana; cepat dapat gaji dan pasti jadi PNS. Ayahku tinggal di asrama putra milik Bruderan Aloysius di Boawae dan menjadi anak kesayangan Romo Ferdinandus da Cunha,Pr. Ayahku sangat mengagumi para gurunya, terutama Romo Nandus dan Bapak Guru Tinus Nuwa. Sedangkan teman-temannya yang sering diceritakan pada kami, Om Elias Nuwa, Om Kadir Mane Tima, dan Om Vitalis Wala.

Lulus SGA, beliau menjadi guru honor di SDK Rendu. Itu cita-cita beliau, ingin mengabdi di daerahnya sendiri, meskipun tak seberapa gajinya. Setelah menjadi PNS, beliau ditepatkan di SDK Lape. Setahun kemudian, atas perjodohan orang tua, menikahlah beliau dengan seorang wanita asal Jawakisa bernama Rossa da Lima Sina yang konon adalah teman sekolahnya. Selain itu mereka masih ada tali persaudaraan. Rupanya mereka berjodoh !

Ayahku seorang guru yang sangat bertanggung jawab dengan tugas dan kewajibannya.
“Anak, supaya kondite kerja kita baik, dalam melaksanakan tugas harus penuh tanggung jawab dan sampai tuntas,” nasihat beliau setiap aku membantu menulis dokumen-dokumen penting.
Mungkin dari situ timbul keinginanku untuk menjadi guru seperti kedua orang tuaku. Kadang-kadang aku membantu beliau mengetik dengan mesin ketik tua harta kesayangannya. Sebagai seorang kepala sekolah,banyak sekali tugas yang harus diselesaikan. Banyak juga pelajaran yang aku dapatkan saat membantu beliau, tentang kepegawaian, kurikulum dan penilaian. Akhirnya aku memilih sekolah guru juga. Aku bangga pada ayahku.

Meskipun gajinya selalu tak cukup, tetapi kalau untuk urusan dinas selalu didahulukan, berjalan kaki sekalipun. Ayahku memang hebat. Nasihat yang selalu terngiang hingga kini, “jaga kondite”. Aku melihat semangat rela berkorban seorang guru dalam diri ayahku itu luar biasa. Tak heran bila ayahku dipercayakan menjabat kepala sekolah sejak tahun 1975 hingga tahun 2001 ( sejak aku masuk SD hingga aku menjadi guru).

Ayah mengajarkan aku bagaimana berdisiplin dalam tugas. Dalam hati aku berpikir, mungkin gak sih aku bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, bijaksana, sabar, dan rendah hati sehingga disayangi semua orang seperti ayahku ? Ayahku adalah juga guruku, yang mengajarkan aku tentang nilai-nilai kehidupan dan memberikan contoh dan teladan kepadaku tentang sikap-sikap yang baik dalam kehidupan. Semuanya itu melalui doa dan amal kebajikan beliau. Terima kasih, Ayah !

RIWAYAT MENGAJAR :
• SDK Rendu di Jawakisa : 1 Oktober 1964 – 5 Februari 1965
• SDK Lape di Malagase -Roe : 7 Februari 1965 – 1 November 1988
• SDI Butata di Segho : 5 November 1988 – 4 Oktober 1998
• SDK Rendu di Jawakisa : 7 Oktober 1998 – 1 Juli 2001
Kepala Sekolah : 1975 – 2001

1 komentar:

talonvalek mengatakan...

Does Titanium tarnish you for real? - Tetris - Tetris - Atari
Tetris was a great way for me to start my new schick quattro titanium project but is it good to have some sort of game titanium knee replacement similar to other games?1 answer  ·  0 votes: Tetris is a wonderful toolkit, and I black oxide vs titanium drill bits have used it as an android emulator titanium white wheels for 2016 ford focus titanium a