Minggu, 14 Desember 2008

My Uncle : In Memoriam









Dilahirkan pada tanggal 3 April 1956 dari pasangan Kakek Nenekku Almarhum Petrus Sina dan Almarhumah Maria Dhuge Sina sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Sejak berusia tiga tahun ‘diambil ’ oleh Mamaku (Rossa da Lima Sina) - kakaknya nomor 2 -yang saat itu sudah menjadi guru di SDK Wudu. Dengan demikian SD-nya diawali di Wudu. Setelah Mamaku menikah lalu pindah ke SDK Lape di Malagase mengikuti Bapakku (Theodorus Samu), Vincent kecil pun ikut pindah hingga menamatkan SD-nya di Malagase. Begitu aku lahir, Paman Vincentlah yang menjadi “kakak pengasuhku ”.
        Setamat dari SDK Lape, Pamanku mencoba mengikuti tes masuk di SMP Seminari Mataloko dan lulus, tetapi hanya bertahan satu tahun. Kemudian pindah ke SMP Boru Flores Timur, mengikuti kakak sulungnya (Paman Anton Rossina) yang saat itu bertugas sebagai polisi di Boru. Tidak banyak cerita yang kutahu semasa SMPnya karena jauh dan jarang pulang. Saat aku sedang merevisi paragraf ini, bunyi telpon mengagetkanku. Ternyata dari adik iparnya Paman Anton di Boru yang menanyakan apa betul Paman Vincent meninggal. Tanta Nell baru tahu dari Flores Pos tadi pagi (4 Oktober). Kasihan benar, sama-sama di Flores tapi baru tahu seminggu kemudian. Wajar, betapa kagetnya Tanta Nell yang sama-sama dengan Paman Vincent dulu sekolah di Boru.
        Dari SMP Boru, Paman Vincent melanjutkan ke SMAK Syuradikara. Waktu itu aku sudah mulai sekolah sehingga sudah cukup mengerti dan ingat tentang masa-masa remajanya Pamanku. Setiap pulang libur kami menyambutnya seperti orang baru pulang dari Jawa. Pamanku dengan gaya anak muda dari kota Ende kelihatan ganteng sekali. Ya, memang dasarnya Pamanku ganteng. Celana cutbray, kacamata ryben lebar, topi kayak penyanyi Arie Wibowo, pokoknya kelihatan kerennn sekali. Aku masih ingat satu baju kebanggaan Pamanku yang berwarna merah, ada bordiran nama di belakang. Aku yakin teman-temannya seperti Om Blasius, Om Balthasar, dan Tanta Dorce (mantan pacarnya) tahu dan masih ingat dengan baju merah itu.
        Pamanku memang sangat bersahabat. Setiap kali pulang libur, pasti dengan teman-temannya satu truk selalu mampir di rumahku di Roe. Kami akan bahagia sekali karena pasti Bapak dan Mamaku memotong babi, dan kami pun bisa ikut berpesta pora. Dengan bangganya Paman memperkenalkan teman-temannya satu persatu kepada aku dan Tilla serta saudara-saudara lainnya di rumah. Yang masih tersimpan dengan sangat rapi di dalam ingatanku itu bayangan Paman Vincent bersama Om Blasius Gani dan Om Bal libur di Roe dan mereka berfoto-foto di atas batu besar di kebun kami di bukit Ngowu, yang sekarang menjadi villanya Pater Tadeus Gruca. Aku ingat, mereka seperti artis-artis saja saat itu. Kami berebutan untuk berfoto dengan mereka.
       Pamanku itu juga punya ketrampilan di bidang fotografi. Dengan bermodalkan kamera hadiah dari Pater Hanz Runkel, setamat SMA beliau melanglang buana ke mana-mana sambil menenteng kamera. Orang sekampung di Roe pasti akan menanti-nanti kedatangannya untuk bisa memesan foto keluarga. Memang objek foto Pamanku lebih banyak bertema keluarga. Orang memanggilnya “Pak Wartawan”. Dulu beliau bercita-cita menjadi wartawan. Aku melihat Pamanku hebat sekali. Beliau mengajarkan kami bahasa Inggris. Setiap malam, dengan lampu pelita kami wajib membaca buku bahasa Inggris yang beliau bawa dari Ende. Entah benar atau salah ucapannya, yang penting aku bangga bisa belajar bahasa Inggris dari Pamanku yang lulusan SMAK Syuradikara.
        Sejak tamat SMA penampilan Pamanku memang sudah ‘metal’. Rambut gondrong, celana cutbray, jaket jeans, kacamata ryben. Kalau Paman datang kami rebutan memakai kacamatanya, lalu ramai-ramai minta difoto. Pokoknya menyenangkan sekali. Tiada hari tanpa makan daging ayam karena orang-orang yang datang mengambil foto hasil jepretan Paman Vincent pasti bayarnya berupa ayam. Asyik kan !
       Pamanku terkenal kuat jalan kaki. Mungkin karena terlahir dari kampung yang jauh dari jalan oto sehingga ke mana-mana ya harus lako wai. Dan pengikutnya adalah adikku Tilla. Apalagi penampilan Tilla kecil seperti anak laki-laki, ke mana Paman pergi pasti selalu bersama Tilla. Pernah mereka ke Boanio bertemu Pater Hanz. Dengan bangganya Paman bercerita pada Pater bahwa Tilla sudah bisa membaca. Lalu Pater memberi majalah Kunang-Kunang untuk Tilla baca. Tilla pun bergaya seperti bos-bos sedang baca koran. Ternyata bacanya terbalik. Untung Pater tidak melihatnya. Itulah Pamanku, beliau selalu membuat kami senang dan bangga dengan kemampuan kami. Setidaknya saat itu Tilla mampu berakting di depan Pater Hanz seolah-olah sudah bisa membaca. (saat mengetik cerita ini aku sempat tertawa sendiri membayangkan kekonyolan Pamanku bersama Tilla) .
         Cerita lain tentang kekonyolan beliau, saat kami ke Ende menghadiri pernikahan Paman Frans (kakaknya nomor 5). Dari Danga kami numpang oto paroki bersama Pak Camat Paulus Lewa. Sampai di Boamaso kami melihat kebakaran di padang Boamaso. Pak Camat marah besar tapi bingung, bagaimana caranya memanggil orang yang membakar padang itu. Pamanku punya akal. Diteriakinya, “kogha eee, kogha eee...” Berlarianlah orang-orang ke arah kami. Betapa kagetnya mereka melihat ada Pak Camat. Dasar orang kita saat itu jujur, lugu, dan takut tipis bedanya, mengakulah mereka kalau sengaja membakar hutan untuk memburu rusa. Tak ada ampun, Pak Camat menghadiahkan mereka bogem mentah di pipi beberapa kali. Perkara selesai, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ende. Kasihan juga sih orang-orang itu. Paman Vincent menyesal karena tak menyangka bahwa mereka akan ditampar oleh Pak Camat. Maklum, belum heboh soal tindak kekerasan.
        Aku ingat Pamanku dulu sangat mencintai seorang gadis dari Wekaseko, namanya Tanta Dorce Gani. Setamat SMA, saat masih menganggur di Roe, nama Tanta Dorce selalu diceritakan pada kami. Rupanya Tante Dorce waktu itu lebih memilih untuk menjadi Suster yang dikenal dengan nama Suster Antonia daripada membalas cinta Pamanku. Saat Paman operasi usus buntu di RS Lela, yang terdengar dalam rekaman suara saat dibius hanya nama, “Dorce, Dorceee..” Aku sangat penasaran dengan yang namanya Tanta Dorce itu. Suatu hari ada seorang Suster mampir dan menginap di rumah kami di Roe. Ternyata itulah Tanta Dorce, pujaan hati Pamanku. Mungkin cinta pertama yang tak kesampaian. Kasihan. . . deh Pamanku.
        Patah tumbuh hilang berganti, Paman berkenalan dan menjalin kasih dengan Tanta Sofia Wada dari Boru yang kebetulan masih keluarga dengan Tanta Tien, istrinya Paman Anton. Aku sempat melihat foto-foto mesra mereka. Menebar pesona sampai tanah Nagi. Hanya wajah dua gadis itu (Tanta Dorce dan Tanta Ofi) yang menghias album foto Paman Vincent saat itu. Cintanya pada Tanta Ofi masih tersimpan hingga di Jakarta, walau jarak memisahkan.
        Tahun 1979 Paman Vincent ke Jakarta dengan satu tujuan, sekolah wartawan. Daftarlah di Sekolah Tinggi Publisistik, yang sekarang lebih dikenal dengan Kampus Tercinta IISIP. Karena keuangan tidak memungkinkan, gagallah rencananya. Masuklah di Jurusan Akuntansi Universitas Borobudur. Dengan bermodalkan ketekadan yang luar biasa, akhirnya bisa menyelesaikan program D3. Aku yakin semua teman beliau di Jakarta ini lebih mengenal sepak terjangnya selama 13 tahun di Jakarta. Aktif di organisasi PMKRI, Legio Maria, dan mungkin yang lainnya lagi. Berteman dengan semua orang, ringan tangan membantu orang meskipun sebetulnya beliau tidak punya apa-apa, hanya membantu memberi jalan dalam menyelesaikan masalah. Hampir semua orang Flores yang di Jakarta zaman tahun 80-an mengenal yang namanya VINCENT SINA. Beliau sangat menghormati orang lain dan terutama dikenal karena humoris dan solider.
        Tahun 1989 aku ke Malang. Begitu tahu aku di Malang, beliau langsung ke sana. Aku bahagia sekali bertemu dengan Pamanku setelah sekian tahun berpisah. Paman Vincent berusaha mneyenangkan hatiku dengan mengajak belanja kebutuhanku, hingga membayar uang kosku. Padahal waktu itu sebetulnya beliau belum punya pekerjaan tetap tapi beliau berusaha agar aku bahagia saat bertemu beliau. Kebetulan di Malang ada Paman Ambros (kakaknya nomor 6), maka reunilah kami bertiga. Paman Ambros sempat mengira aku pacarnya Paman Vincent karena Pamanku yang satu itu merantau ke Jawa sejak tamat SMP di Larantuka. Atas usulan beliau akhirnya aku pindah ke Yogya, dan menurut beliau aku harus kuliah di IKIP Sanata Dharma atau Universitas Atma Jaya, Fakultas Hukum. Rupanya aku lebih berjodoh dengan panggilan untuk menjadi GURU seperti kedua orang tuaku. Masuklah aku di IKIP Sanata Dharma.
         Akhir tahun 1989, pertama kali aku ke Jakarta. Paman Vincent saat itu tinggal bersama teman-temannya di Paseban. Sebuah rumah tua yang kelihatannya agak angker, terdiri dari beberapa kamar, dan dihuni oleh semua orang Flores. Ada yang dari Ende, Larantuka, Maumere, Manggarai. Aku pertama kali dikenalkan dengan seorang bapak dari Manggarai bernama Om Lorenz, karena menurut Paman Vincent ulang tahun aku dan Om Lorenz itu sama. Pamanku ini seperti Mamaku, selalu mengingat semua ulang tahun orang yang dikenalnya. Ada juga beberapa saudara dari Manggarai yang saat itu suka bernyanyi di pub. Aku lupa nama mereka. Ada Kak Nober Nai yang waktu itu ikut dengan Pamanku karena tak punya keluarga di Jakarta (mungkin sekarang sudah jadi orang penting di PDIP). Paman selalu berusaha menyenangkan aku selama berlibur di Jakarta, padahal beliau tidak bekerja saat itu. Aku diantar untuk mengenal saudara-saudara dari Flores, seperti ke rumah Om Theus Dhaederu di Kalibata, di sana ada Om Stanis Passo dan Kak Firmus Madhudhengi, ke rumah Kak Ambros Gani yang waktu itu belum menikah dengan Kak Ima, di sana ada Kak Lowis dan Kona temanku. Aku benar-benar menikmati liburan di Jakarta dengan bahagia meskipun setiap jam 18.00 harus ke gereja Katedral. Itu wajib hukumnya.
          Cerita tentang ke gereja dan berdoa, Pamanku ini sangat tekun dengan doa. Hal itu sudah mendarah daging karena berasal dari keluarga pendoa. Dari Kakek dan Nenekku, turun ke anak-anaknya. Seorang temannya asal Manggarai bernama Om Kons pernah bercerita padaku dalam perjalanan dari Matraman menuju bandara Soekarno Hatta saat menjemput Paman Vincent pulang dari Swiss bahwa mereka pernah mengantar mayat seorang ibu tua (mungkin gelandangan) yang meninggal di jalan, untuk dikuburkan di pemakaman dekat gereja Salvator pada hari Jumat Agung. Itu kenangan Om Kons yang paling menakjubkan bersama Paman Vincent. Aku yakin, dengan teman lainnya yang bersama beliau semasa di Jakarta tentu banyak kenangan tersendiri yang masih terbayang hingga sekarang. Dengan Kak Ida Djawa, Kak Bertho Botha, Kak Ima Nuwa, Kak Etha Wea, Kak Etha Demon, Kak John Billy, dan semua yang mengenal beliau. Kebersamaan kalian membuatku bangga dengan Pamanku Vincent. Begitu juga dengan yang lebih tua dari beliau seperti Om dr. Lucas Tonga, Kak Dominggus, Kak Laurens Tato, Om Michael Kuwado, Om Alex Dungkal, Kak Otje Puling, Om Primus Dorimulu, dan masih banyak lagi dari Ende, Maumere, Larantuka , semuanya bersahabat dengan beliau.
          Tahun 1992, tiba-tiba aku mendapat telegram bahwa beliau sudah di Mataram dan dalam perjalanan menuju Flores. Ternyata itu tahun awal memulai kehidupan baru di Flores. Aku sempat mendengar cerita tentang masalah di daerah Paseban yang membuat semua orang Flores yang tinggal di daerah Paseban angkat kaki dari situ. Pamanku pulang kampung. Sempat melanglang ke daratan Timor dengan kakaknya di sana beberapa tahun, bertemulah jodohnya di sana dengan seorang gadis Belu (ayah Wudu ibu Belu) bernama Martha Filomena Weke yang baru tamat SMEA. Perbedaan usia yang sangat jauh itu tidak melunturkan ikatan cinta mereka. Lahirlah putra sulungnya yang diberi nama Chritho Maria Pangeran Mosafoa. Setelah itu diboyongnya Tanta Martha dan Pangeran ke Mbay.
         Mulailah Pamanku aktif memperjuangkan tanah masyarakat adat Rendu yang berbatasan dengan Raja di Natabhada. Kasus tanah ini merupakan kasus terheboh di Ngada. Paman Vincent tampil sebagai seorang pejuang bersama masyarakat adat Rendu ‘memperebutkan’ kembali tanah Rendu yang digarap orang Raja sebagai sawah milik mereka. Sejak itu namanya ditambah dengan nama seorang pejuang dari suku Rendu bernama “Mosafoa”. Terjadilah ‘perang saudara’ yang berakibat sangat fatal. Paman Vincent menderita luka yang sangat parah hingga dilarikan ke Ruteng. Meskipun luka parah, dicaci maki,,diseret, beliau tetap berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang menjadi hak masyarakat adat Rendu. Berbagai upaya dilakukan namun belum terselesaikan. Meskipun demikian nama Yayasan Pengembangan Masyarakat Adat Rendu (YAPMAR) mulai dikenal. Terbukti dengan undangan pertemuan di Jakarta yang diselenggarakan oleh WALHI pada tahun 1999. Lebih gaung lagi ketika Paman Vincent bersama teman dari provinsi lain mewakili Indonesia ikut pertemuan di Swiss pada tahun 2001. Dengan bangga memakai pakaian adat Mbay ke mana saja beliau pergi, tanpa memakai alas kaki. Aku juga bangga berjalan dengan beliau meskipun sepanjang perjalanan melihat tatapan aneh dari orang-orang sekitar. Pernah kami naik mikrolet ke Tanah Abang, lalu sepanjang jalan kami ngobrol soal harga kacamata di Optik Melawai. Seorang ibu di samping kami menatap dengan heran. Mungkin dia berpikir, tidak pakai sendal kok mau beli kacamata di Optik Melawai.
        Pada Pemilu 1999, Paman Vincent mulai aktif di partai politik, dengan PAN sebagai pilihannya. 99 % Masyarakat Adat Rendu memilih PAN. Namun mereka harus kecewa karena orang pilihan mereka tidak bisa duduk di DPRD. Paman Vincent tidak berkecil hati dan putus asa, tetap berjuang, dan aktif. Niatnya satu, membangun SDM Rendu untuk lebih maju sepuluh langkah lagi.
        Pemilu 2004 beliau merubah strategi dengan memilih partai politik lain yaitu partai kaum buruh. Pilihan ini didukung dengan kepulangan adikku Tilla sebagai salah satu caleg perempuan dari Partai Buruh sesuai dengan syarat nasional. Berjuanglah paman dan keponakan ini dalam berkampanye di Aesesa. Orang menyebut mereka Partai Paman Keponakan Bersatu (PPKB). Mereka tetap maju pantang mundur meskipun ada juga sebagian orang Rendu yang mulai berpindah ke partai lain dengan caleg berasal dari Rendu juga. Hasilnya, Paman Vincent menjadi anggota DPRD dari Partai Buruh dengan suara terbanyak, dan Tilla pada urutan yang kedua. Putra Rendu pertama yang duduk di DPRD.
         Cobaan belum selesai. Tibalah saat pelantikan anggota DPRD. Penampilan beliau dipermasalahkan, tetapi Paman tetap maju sebagai wakil dari Masyarakat Adat Rendu dengan motto “Rendu Wawo Latu”. Melalui perdebatan yang alot, akhirnya dilantik juga. Penampilan Paman masih seperti yang dulu. Belum lagi keadaan rumahnya yang sudah sangat reyot, rumah peninggalan orang tuanya. Namun beliau tetap menerima siapa saja yang datang dengan kesederhanaan itu. Semasa di Jakarta saja beliau tidur di kursi bambu yang hanya pas badan. Beliau kurang peduli dengan hal seperti itu. Mungkin itulah yang kemudian membuat daya tahan tubuhnya makin lama makin berkurang.
         31 Desember 2004 Paman melepaskan tahun 2004 di rumahku. Setelah mengikuti pertemuan di Yogyakarta, berdua Elson (adikku yang kuliah di Atma Jaya Yogya) ke Jakarta. Kami menyambut tahun 2005 dengan doa dan renungan bersama. Kebetulan semua adik yang baru datang dari Rendu untuk masuk Sasana Tinju berkumpul di rumahku. Paman berpesan, “Onna dan Nus, kamu jangan hanya mendidik mereka untuk sapu, ngepel, makan, tetapi didik juga mereka untuk tekun berdoa. Usahakan agar selalu doa malam bersama, seperti yang kamu lihat dari bapak mama di kampung. Doa bersama setiap malam itu anugerah Allah yang terbesar dalam sebuah keluarga. Doa bersama juga menjaga keutuhan keluarga, Berdoalah bersama mereka. Melalui doa kalian akan mngetahui apa yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan.”
          Januari 2005 Paman menelponku dari Balikpapan ketika mengikuti pertemuan di sana. Di mana saja beliau berada, pasti selalu berusaha untuk menelpon kami keponakan-keponakannya. Saat itu aku sempat meminta salah satu anaknya untuk kuambil sebagai anak angkat. Aku memilih yang paling kecil karena menurutku belum begitu mengenal orang tuanya, Tetapi ketika Paman menanyakan pada Tanta Martha, rupanya Tanta tidak setuju kalau Anna yang diambil, lebih baik ambil si Mosalaki. Oya, nama anak-anaknya Paman Vincent memang luar biasa hebat, Pangeran, Sultan Inne, Mosalaki, dan Anna.
         Terakhir Paman menelponku tanggal 15 Agustus 2005, lima hari setelah ulang tahunku karena pas hari ulang tahunku beliau sedang berada di daerah yang tidak ada sinyal. Kami bercerita cukup banyak, dan menyinggung soal Mosalaki atau Anna yang rencananya akan saya ambil. Kata Paman, sepertinya lebih baik kami mengambil si Mosalaki saja. Rencananya kalau liburan nanti kami akan pulang mengambil Mosalaki.
Senin, 18 September 2005 SMS dari Tilla bahwa Paman Vincent dirawat di RS Ende. Aku pikir sakit biasa tapi tetap kami doakan kesembuhan beliau. Rabu, 20 September SMS dari Riswan bahwa Paman Vincent dalam perjalanan ke RS Maumere karena sudah ditolak dari RS Ende. Wah, berarti sakitnya sangat serius. Aku lalu SMS menanyakan Tanta Martha tentang keadaan Paman. Tanta hanya membalas, “Pamanmu sangat membutuhkan dukungan doa dari kita semua, keluarga besar.” Aku mulai gelisah dan jadi susah tidur.
         Tanggal 23 September pagi aku janjian dengan suamiku agar pulang lebih cepat sehingga bisa ke gereja jam 19.30 persembahkan misa khusus mohon kesembuhan Paman Vincent. Pukul 19.00 dalam perjalanan ke gereja, aku sempat mengirim SMS dukungan untuk Tanta bahwa kami dalam perjalanan ke gereja, sewa misa khusus untuk Paman. Saat Pastor menyebut ujud misa malam itu, hati dan perasaanku rasanya lain alias ate dhera. Mungkin saat itu merupakan masa-masa kritisnya Pamanku. Sepulang gereja aku sempat berpikir, jangan-jangan Tanta sekarang dalam keadaan hamil. Aku ingat Tanta pernah cerita bahwa setiap ada peristiwa atau kejadian yang dialami Paman Vincent pasti Tanta sedang dalam keadaan hamil muda. Lalu kubuang jauh-jauh pikiran itu. Sampai di rumah tidak ada berita apa-apa. Pukul 21.15 telpon dari Evo Djanga yang langsung menanyakan apa betul Om Vincent sudah meninggal. Aku dengan tegas menjawab tidak karena baru dua jam yang lalu Tanta mengirim SMS. Lima menit kemudian telpon dari Christi Ebo yang memberitahukan bahwa betul Paman Vincent sudah meninggal. Tanganku lemas, langsung aku lari bersandar di tembok dan menangis. Pamanku sudah pergi pukul 22.00 WITA. SMS dari Kak John Billy masuk mengabari kami. Aku juga langsung mengabari saudara-saudara lainnya. Semalaman tak tidur, membayangkan Pamanku. Untung besok Sabtunya aku tidak masuk kerja. Aku merasa sedih sekali membayangkan anak-anaknya yang masih kecil. Tertua Pangeran baru kelas 3 SD. Aduh Pamanku ! Selamat jalan Paman. Aku yakin Paman akan menjadi perantara untuk setiap doa dan permohonan kami yang masih menunggu giliran untuk ‘pulang.’
         Hari Minggu 2 Oktober 2005, ketika membereskan gudang, kutemukan setumpuk surat dari Paman Vincent untukku waktu masih kuliah di Yogya yang memang kusimpan dengan rapi di dalam dos buku. Kubaca lagi, dan tanpa sadar aku menangis. Betapa beliau menyayangiku. Setiap surat diawali, “Nanda terkasih…” dan selalu diakhiri dengan pesan dan nasihat untuk tekun berdoa. Jangan lelah untuk berdoa dan mendoakan orang lain. Salah satu kutipan surat dari beliau tanggal 14 Desember 1989, “Ingat Onna, Tuhan Yesus dengan hatiNya yang Maha Pengasih serta tak ada duanya, begitu berkuasa atas semua kesulitan-kesulitan kita. SERAHKAN SEMUANYA PADA DIA. Ingat, berdoa dan menangislah pada Yesus. Berdoalah yang rajin dan katakanlah pada Hati Kudus Yesus dan Bunda Maria tentang kesulitan Onna dengan berpasrah yang lebih serta beberapa laku tapak dibarengi penyucian diri dalam menyongsong kedatangan Tuhan Yesus. Berbuatlah lebih untuk kemuliaan Tuhan. Apabila semua ini dilakukan maka yakinlah tidak ada yang mustahil bagi Hati Kudus Yesus yang pasti mencintai Onna. Cintailah doa. Rasakanlah selalu kebutuhan akan doa dalam satu hari, dan angkatlah kesulitan-kesulitanmu dalam doa. Selamat merayakan pesta namamu 12 Desember. Songsonglah tahun yang baru nanti dengan tekad juang yang unggul dari mereka yang memiliki banyak fasilitas untuk berprestasi sehingga KEAGUNGAN TUHAN SAJA YANG KITA KAGUMI. Doa saya selalu saya ingat akan kesulitan Nanda Onna.”
          Pelajaran berharga lainnya, mengajariku tanda tangan. Kata Paman, tanda tangan itu tidak boleh putus. Hingga sekarang aku memakai tanda tangan yang diajarkan Paman Vincent. Satu lagi pesan beliau sepulang dari Swiss, jangan pernah merasa malu menunjukkan identitas khas kita, misalnya dengan pakaian daerah. Ditinggalkannya dasi bermotif tenun Mbay untuk suamiku. Sejak itu aku pun berani berpenampilan aneh dengan sarung ke gereja atau ke pesta. Karena suamiku orang Nangaroro jadi aku lebih sering memakai kain lawo. Memang kelihatan nyentrik tapi aku bangga. Paman juga bercerita bagaimana beliau dikira orang termiskin di dunia saat berkunjung ke Lourdes hanya karena memakai sarung dan tanpa alas kaki. Tapi ada untungnya bahwa beliau akhirnya diberi potongan harga khusus untuk fakir miskin dan orang terlantar.
        Pamanku, dengan penuh kesederhanaan menjalani hidup selalu dengan rasa syukur. Mengucapkan terima kasih adalah sikap sopan dan santun, menunjukkan rasa terima kasih adalah sikap lapang hati dan mulia, tetapi menjalani hidup dengan rasa terima kasih . . . itu namanya menyentuh Surga. Mungkin itu termasuk prinsip Pamanku.
          Satu hal yang kadang membuat kami para keponakannya merasa lucu tapi senang juga adalah janjinya. Meskipun lebih banyak tak dipenuhi tetapi kami merasa bahagia, tersanjung, diperhatikan, saat beliau mengatakan itu. Kami bangga karena walau hanya janji, namun setidaknya terlintas dalam pikiran Paman untuk membahagiakan hati kami. Kami seperti teman, saling curhat tentang segala macam hal, termasuk masalah jatuh cinta.
         Kini semua tinggal kenangan. Semua yang pernah mengenal atau pernah dekat dengan beliau tentu merasa kaget dengan kepergian beliau dan pasti merasa kehilangan. Pernah aku menanyakan apa cita-cita beliau (saat kami duduk santai di tangga rumah susun Klender ketika beliau baru pulang dari Swiss), jawabnya “INGIN JADI ORANG SUCI.” Bagaimana menurut pembaca ?

Mari kita mendoakan beliau agar terwujud cita-citanya, menjadi ORANG SUCI. Kita mendoakan juga keluarga yang ditinggalkan beliau ;
Istri tercinta : Martha Filomena Weke Rossina Mosafoa
Anak-anak : - Christo Maria Pangeran Mosafoa
- Christo Maria Sultan Tuzagugu
- Christi Maria Ine Lipadori
- Christo Maria Mosalaki Genewa
- Christi Maria Ana Ebu da Rendu

Aku sudah belajar bahwa prestasi terbesar tidak selalu berupa penghargaan atau hadiah. Prestasi terbesar tidak selalu berupa materi, melainkan pelajaran berharga tentang semangat manusia. Penghargaan bisa memudar, hadiah bisa kehilangan kilaunya, tetapi pelajaran yang kita peroleh akan tinggal untuk selamanya. Terima kasih Pamanku, banyak pelajaran yang kudapat darimu.

“Segala sesuatu dimulai dengan doa. Berusahalah untuk senang berdoa : rasakan kebutuhan untuk sering berdoa sepanjang hari dan rasakan betapa sulitnya. Jika engkau ingin berdoa lebih baik, seringlah berdoa. Semakin banyak engkau berdoa, semakin mudah rasanya. Doa yang sempurna tidak terdiri dari banyaknya kata-kata tetapi dalam semangat untuk mengarahkan hati pada Yesus.”

                                      SAAT ESOK DIMULAI TANPA AKU
Ketika esok dimulai tanpa diriku, aku tidak ada di sana untuk menyaksikannya
Jika matahari terbit dan mendapatkan matamu penuh air mata untukku Aku sangat berharap kau takkan menangis seperti hari ini,
Sambil memikirkan banyak hal yang tidak pernah sempat kita katakana
Dan setiap kali kau berpikir tentang diriku, aku tahu kau akan merindukanku juga
Tapi saat esok hari dimulai tanpa diriku, cobalah untuk mengerti.
Malaikat datang dan memanggil namaku, dan menarik tanganku,
Dan mengatakan tempatku sudah tersedia di atas sana,
Bahwa aku harus meninggalkan semua yang kucintai.
Tapi ketika aku berbalik untuk pergi, sebutir air mata jatuh dari mataku, selama hidupku, aku selalu berpikir aku tidak ingin mati.
Masih banyak yang belum kujalani, dan banyak yang belum kulakukan.
Tampaknya nyaris tak mungkin aku meninggalkanmu, juga anak-anak kita, namun takdir menentukan lain bagi kita.
Aku berpikir tentang semua hari kemarin, hari-hari ynag baik dan buruk
Aku berpikir tentang semua kasih yang kita bagi dan semua kesenangan yang kita alami.
Jika aku bisa menghidupkan hari kemarin, pikirku untuk sebentar saja,
Aku akan mengucapkan selamat tinggal dan menciummu,
Dan mungkin melihat senyummu
Tapi aku sepenuhnya sadar ini tak mungkin terjadi,
Sebab kehampaan dan kenangan akan menggantikanku.
Dan saat aku memikirkan hal-hal duniawi yang kutinggalkan,
Aku memikirkan dirimu, dan saat itu hatiku penuh kesedihan.
Tapi ketika aku melewati pintu Surga, aku merasa begitu kerasan.
Ketika Tuhan memandangku dan tersenyum padaku dari tahta emasNya,
Ia berkata, “Inilah keabadian dan semua yang kujanjikan padamu.”
Hari ini untuk kehidupan di dunia adalah masa lalu,
Dan di sini dimulai hari yang baru.
Aku berjanji tidak ada esok hari, tapi hari ini akan selalu abadi.
Dan karena setiap hari adalah hari yang sama,
Aku tidak lagi merindukan masa lalu.
Kau telah begitu setia, percaya, dan jujur,
Meski kadang-kadang kau melakukan hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kaulakukan
Tapi kau telah dimaafkan, dan sekarang setidaknya kau bebas.
Raih tanganku dan berbagi hidup denganku walau dunia kita berbeda.
Jika esok dimulai tanpa diriku, jangan berpikir kita berjauhan,
Karena setiap kali kau memikirkan diriku, aku berada dalam hatimu.

Chicken Soup for the Teenage Soul

Saat seseorang meninggal, kau tak bisa mengatasi kesedihanmu dengan melupakan; kau mengatasinya dengan mengingat, dan menyadari bahwa tak seorang pun benar-benar lenyap atau hilang kalau mereka sudah pernah hadir dalam hidup kita dan mencintai kita, seperti kita mencintai mereka.
Leslie Marmon Silko

Pamanku di Mata Mereka . . .

“Ketika membaca sms dari nomor yang tidak saya kenal bahwa Vincent Sina meninggal, saya terkejut bukan main. Soalnya kami pernah bertemu belum lama ini di Flores dan saya melihat dia, adik kelas saya di seminari Mataloko, dalam keadaan sehat. Perkenalan saya dengan Vincent bisa dibagi ke dalam dua babak. Babak pertama adalah sebagai sesama siswa seminari Mataloko di era 70an. Pada masa itu saya mengenal dia sebagai adik kelas yang santun, komunikatif, dan selalu ceria melalui humor-humornya yang khas. Setelah saya ke Jakarta tahun 1974 kontak dengan Vincent terputus cukup lama. Kami menjalin komunikasi lagi pada era 1990-an. Pada masa ini saya sebut sebagai babak kedua, adalah Vincent yang telah menjadi aktivis dan pemimpin yang gigih dengan pikiran dan sikapnya. Keliling dunia dengan memakai sarung tanpa sendal adalah ekspresi keganasan kesederhanaan itu. Dia ternyata memperoleh power sebagai pemimpin.” Kae Laurens Tato Gani - BSD

“Beliau adalah satu-satunya anggota dewan yang sederhana, bahkan sangat sederhana, sesuai dengan kondisi masyarakat kebanyakan yang beliau wakili. Saya sangat kagum pada beliau. ” Kae Jehni Rato - Bajawa
 
“Yang saya ingat, setiap kali gajian Kak Vincent selalu mengajak saya dan Kak Dethe makan. Padahal gajinya tak seberapa saat itu. Betapa perhatiannya pada kami.” Ibu Lien Ebunono Ireeuw - Purwokerto

“Perubahan berawal dari diri sendiri. Hal ini sungguh dihayati oleh Om Vincent semasa hidupnya.” Kak John Billy - Pangkalan Jati
 
“Om Vincent mempunyai jiwa sosial yang tinggi, suka membantu kesulitan orang tanpa pandang bulu, sering ‘mati raga’ untuk memahami kesulitan orang lain. Pergaulan dan wawasan beliau sangat luas.” Kak Marsel Lewa - Serang

“Vincent itu orangnya jujur serta komit dalam memperjuangkan adat budaya, dan memperhatikan nasib orang kecil yang serba kekurangan.” Kak Ambros Busawea - Kupang
 
“Saya berhenti merokok bukan hanya karena rasa cinta kepada istri saya yang adalah keponakan beliau tetapi karena rasa kagum saya pada usaha beliau menjadikan Rendu sebagai kawasan bebas dari asap rokok. Ternyata saya bisa.”Abang Vitalis Da Pessa - Taman Kebalen
 
“Vincent sudah membuktikan diri bagaimana hidup tidak memikirkan diri semata. Ia kembali ke kampung untuk membangun Rendu, Aesesa, dan Ngada. Kita kehilangan tokoh yang begitu kuat komitmennya terhadap daerah dan kaumnya.” Om Primus Dorimulu - Cibubur
 
“Kae Vincent is the VOICE in the VOICELESS. Dia begitu prihatin dengan orang kecil, tetapi lupa akan dirinya. Meskipun telah tiada namun suara dan perjuangannya tetap hidup. Saya punya pengalaman khusus dengan almarhum : kalau bercerita selalu kembali kepada realitas hidup orang kecil (di Rendu dan Boanio). Pemberdayaan masyarakat kecil dan sederhana menjadi misi hidupnya. Kae Vincent figur yang memperjuangkan hak orang-orang kecil. Hidup dan berada di antara kaum marjinal adalah bagian dari dirinya. Gema pewartaannya mengikuti Sang Nabi yang dikumandangkan oleh Yohanes Pembaptis, bahwa hari esok yang baik untuk kita semua yang berjuang.” Pater Kanis Bhila Pea, SVD - Matraman
 
“Almarhum memiliki karakter / kepribadian yang jelas tercermin dalam perjuangan politiknya juga ditunjang dengan spiritualitas yang baik.” Om Michael Kuwado - Pasar Rebo
 
“ Saya sangat terkesan pada pesan beliau waktu kami nginap di hotel Nusantara Ende, ‘Azi, kalau sudah sukses di Jakarta, ajaklah keluarga untuk berdoa dan bakar lilin di kubur orang tua, nenek moyang, para leluhur di kampung supaya mereka juga tetap memberkati kita,’ sambil memeluk saya di depan pintu kamar hotel. Betapa beliau sangat menghormati para leluhurnya, sehingga mengajak saya juga untuk berpikir seperti itu.” Kae Willem Napa - Babelan

“ Ame Vincent adalah pejuang yang berani, jujur, dan murni untuk menegakkan keadilan di negeri ini. Kehidupannya punya prinsip yang jelas. Hidup dan penampilannya sederhana mengikuti visi dan misi Yesus. Membela dan meyelamatkan orang yang tertindas dan miskin. Kehidupan moralnya bagus, dan kehidupan rohaninya sangat baik. Kematiannya adalah sebuah perjuangan. Dampak dari perjuangan yang tanpa pamrih adalah penderitaan, kesakitan, kematian. Buah dari pengorbanan, kesakitan, dan kematian adalah kemenangan, kebangkitan, keberhasilan, kemuliaan, dan kebesaran yang selalu disebut-sebut orang. Ia punya gaya dan prinsip hidup yang khas, yang tidak dimiliki orang lain yang pernah saya kenal. Profisiat Ame Vincent, selamat jalan, semoga tiba di rumah Tuhan dengan selamat. Kami mendoakan. Perjuanganmu menjadi contoh bagi kami semua. Satu orang mati seratus orang akan muncul lagi. Ame Vincent adalah orang yang halus dan pandai, punya wawasan yang luas, kemauan yang keras. Kami orang Rendu merasa sangat kehilangan seorang tokoh pejuang.” Romo Arkadius Dhosa Ndo, Pr - Maumere
“ Penguat hati dan iman saya di saat lelah dan terombang-ambing dalam pencobaan adalah Kak Vincent. Beliau selalu menyadarkan saya akan pentingnya mendekatkan diri pada kuasa dan kehendak Tuhan melalui SMS doa-doa yang begitu menyentuh hati saya setiap pagi. Ne kai ema, kau mata ena Flores, ngao zili Jakarta tu Nona operasi jantung. SMS doa hari-hari terakhir beliau masih tersimpan semua di file saya. Selamat jalan Kae ngao, nara ngao, guru spiritual ngao. Ngaza kau tetap ata mega Ema.” Ibu Siska Mukujawa - Kupang
 
“Om Vincent yang saya kenal adalah pribadi yang sangat baik, yang mau membantu siapa saja yang memerlukan pertolongannya. Penampilan Om Vincent yang terakhir agak membuat saya bertanya-tanya, ada apa ? Tapi saya sangat menghargai pilihan beliau untuk berpenampilan seperti itu, Cuma kelewat sederhana. Yang saya sesalkan, sampai dengan Om Vincent meninggal, asuransi dewan belum terealisasi juga. Kasihan anak istri yang ditinggalkan beliau.” Ibu Hesty Rodja – Bajawa
 
“Om Vincent adalah seorang yang selalu ramah kepada setiap orang. Dalam tutur katanya selalu memberikan dorongan, nasihat, dan masukan-masukan yang sangat berarti. Kerendahan hatinya membuat Om dikenal di antara kerabatnya. Selamat jalan Om, semoga amal ibadah Om diterima Tuhan YME, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan, serta ketegaran.” Nona Anita & Ovan  Laru – Psr Minggu

“ Saya mengenal Om Vincent sejak masa kecil kami di Malagase (meskipun beliau lebih tua dari saya), masuk SD sampai di Syuradikara selalu bersama. Sikap dasar yang tidak berubah, konsisten dari kecil sampai akhir hayat, mempertahankan yang benar walaupun ditentang oleh banyak orang. Om Vincent pasti tetap bertahan dengan argumen yang masuk akal dan dapat diterima pihak lain (tentu yang paham dengan beliau). Masih banyak sekali kenangan bersama beliau yang tidak akan pernah saya lupa. Selamat jalan Om.” Kak Yos Dhimawea - Kupang

Jumat, 05 Desember 2008

Tentang ORANG TUA ...

7 Juni 1968 ayah dan ibuku menikah di Jawakisa. Pengantin baru ini kemudian bersama mengabdi di SDK Lape yang waktu itu masih di kampung Malagase, nama yang mirip dengan ibukota Madagaskar. Kampung ini letaknya di kaki gunung Lape. Setahun kemudian lahirlah aku sebagai anak sulung, putri kebanggaan keluarga. Aku lahir pada hari Minggu, pukul 10.00 WITA, tanggal 10 Agustus 1969 saat orang sekampung baru pulang dari kebaktian di kapel. Kelahiranku dibantu oleh ‘bidan kampung’ keluargaku Nenek Lena dan Nenek Sofia Bhara. Ayahku sedang menjemput Nenek Mama (panggilan untuk ibunya ibuku), ‘bidan kampung’ dari Jawakisa. Berkat tangan kedua ‘bidan kampung’ itu, aku lahir dengan selamat. Aku tumbuh dan besar dengan sarat cinta kasih dan perhatian. Umur setahun aku terserang cacar air. Mungkin salah penanganan (maklum di kampung), masih ada bekas tertinggal di wajahku hingga sekarang. Tapi aku tetap cantik ! Narsis ya ? Penting lagi !
        Dua tahun kemudian, 10 Mei 1971, lahirlah adikku bernama Domitilla Wea Samu / Tilla.  Ini dia nama keramat yang diambil dari nama suster yang sering menghukum ibuku kalau makannya tidak habis. Bertambahlah jumlah anggota keluarga kami ; ayah, ibu, nenek Lena, aku, Tilla, dan Kak Hermen (kakak angkatku yang ikut ayah sejak umur 3 tahun). Tahun 1973 terjadi bencana alam, penduduk kampung Malagase pun pindah ke Roe. Keluarga kami ikut pindah dan untuk sementara tinggal menumpang di rumah keluarga Bapak Moses Meo yang sudah duluan pindah. Selama dua tahun kami tinggal serumah, susah senang bersama. Adikku Resty lahir di rumah itu. Terima kasih Bapak Moses dan Mama Tina ! Bapak Moses ini termasuk mosalaki (orang terpandang) di kampung Roe dan masa itu sebagi ketua POM.
           Tahun 1975 ayahku diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Bapak Guru Alex Nge. Karena rumah jabatan kepala sekolah sudah dibangun masyarakat Roe, kami pun pindah ke rumah baru itu. Meski kondisinya ala kadar alias amat sangat sederhana sekali atau terlalu luar biasa sederhana, tetapi kami bahagia. Lantainya tanah, dindingnya pelepah, atapnya alang-alang, persis syair lagu ‘Rumah Kita’ –nya Ahmad Albar ;
…… hanya dinding bambu, tempat tinggal kita…
…….beralaskan tanah ….

Begitulah keadaan rumah kami, istana kebanggaan kami, tempat berlabuh kami sekeluarga. Keadaan rumah guru lain pun tak beda dengan rumah kami, dan letaknya di atas bukit Ngowu. Kini menjadi villa yang megah dan indah milik Pater Tadeus Gruca. Di rumah bukit itu lahir adikku Elson. Di rumah bukit itu juga tempat kami menghabiskan masa kecil kami dengan penuh sukacita. Gice dan Etty, anak Bapak Guru Alex adalah teman bermain aku dan Tilla. Terlalu banyak kenangan masa kecil yang manis terukir di sana, dan terlalu indah untuk dilupakan. Kami dengan bebas berteriak, naik pohon sambil bernyanyi memamerkan suara merdu kami. Musim jambu kami memetik sendiri, naik ke atas pohon sambil makan dan bernyanyi. Begitu juga musim mangga. Hal yang sangat mengagumkan ! Sekarang aku sering bermimpi, kembali ke rumah masa kecilku itu. Tetapi hanya mimpi, faktanya bahwa tempat itu sudah dibeli Pater Tadeus dan sudah dibangun villa serta tempat retreat yang megah. Tetangga kami saat itu selain Bapak Guru Alex, juga Ibu Maria Salome Sia. Sedangkan Bapak Guru Gaspar Siga tinggal bersama keluarga kami karena masih bujangan. Dasar jodoh, akhirnya menikah dengan Ibu Salome, lalu pindah ke SDK Wolowajo di Wekaseko.
          Tahun 1978 adalah tahun yang sangat berkesan untuk kami sekeluarga. Dua peristiwa terjadi di tahun ini. Tanggal 28 Februari menjadi hari duka keluarga kami karena adikku Kristina Giri Samu /Resty dipanggil Tuhan setelah seminggu sakit campak. Kami sedih dan merasa sangat kehilangan adik yang sedang lucu-lucunya, usia empat tahun. Dia lahir 17 Juli 1974. Masyarakat sekampung berduka karena Resty memang disayang semua orang dan sangat menggemaskan. Pintar bicara, lucu, dan montok. Semua orang yang bertamu ke rumah kami, begitu pamitan, pasti langsung didoakannya supaya tidak kehujanan, dengan bahasa kanak-kanaknya yang sangat polos. Herannya, doanya spontan dan hanya minta supaya orang yang didoakannya itu tidak kehujanan dalam perjalanan. “Tuhan Yesus, jangan hujan dulu sampai bapak/mama/om/tanta/kakak/adik sampai di rumah.” Begitu doanya. Hingga kini kami selalu ingat akan doanya itu, dan bagi kami sekeluarga doa itu terjawab. Aku dan suamiku pun selalu meminta pada Resty jika cuaca mendung dalam perjalanan, “Resty, abang dan kakak nyampe rumah dulu baru hujan.” Percaya gak percaya, Tuhan menjawab doa itu melalui kenangan kita pada seseorang terdekat kita yang sudah meninggal. Kenangan tentang doa Resty semasa hidupnya itu meyakinkan kami sekeluarga bahwa di dunia lainnya di sana pun dia tetap mendoakan kami seperti itu. Dua bulan kemudian, 6 Mei 1978, lahirlah adikku Evodius Rossina Waso / Elson. Puji Tuhan, kami diberi pengganti Resty, seorang adik laki-laki yang sehat, montok. Karena gendut, montok, dan bulat, kami memanggilnya Debo. Kesedihan diganti dengan kebahagiaan. Indah sekali waktunya !
          Dalam mendidik kami, ayahku lebih lembut dan sabar. Jarang beliau marah, apalagi memukul, sekali pun tak pernah. Hanya kalau yang lamban pasti dibilang “domba” tapi dengan nada bercanda. Beda dengan ibuku yang paling sering menjewer lengan kami setelah diomeli. Biasalah…ibu-ibu di dunia ini yang tak pernah luput dari dosa yang satu itu, mengomel. Dari segi psikologi mungkin bisa mengurangi sakit hati karena langsung dilampiaskan, tetapi dari segi kesehatan pasti semakin kelihatan tua. Kalau sudah mengomeli satu orang, siap-siap yang lain akan digilir kena marah. Ibuku biasa memakai istilah, ‘mari kita bongkar’ untuk memulai litania kesalahan kami semua. Satu persatu diabsen sampai capek. Kalau beliau sedang menulis persiapan mengajar atau mengoreksi pekerjaan murid, suasana rumah harus tenang. Ibuku memang keras dalam mendidik kami, tidak mau memanjakan kami. Malahan kami diajar untuk mandiri, kreatif dan inovatif. Kalau salah satu dari kami menangis, jangan pernah berharap dibujuk rayu untuk diam, malah katanya, “Terus… teriak lagi sampai puas, biar dada dan jantung kuat.” Lucu, entah teori dari mana hanya beliau yang tahu. Akhirnya yang menangis itu berhenti sendiri dan tertidur karena capek dan puas.
           Di rumah kami juga tinggal beberapa saudara – keluraga dekat – yang ikut sekolah bersama di Roe. Paling tua adalah Om Vincent yang ikut ibuku sebelum menikah, dan Kak Hermen yang ikut ayahku sebelum menikah. Kak Hermen-lah yang kemudian menjadi kakak angkatku, menemani aku bermain sebelum Tilla lahir. Saudara-saudaraku yang ikut kami ini sebetulnya dititipkan orang tua mereka karena ingin mereka sekolah dan belajar dengan serius. Tinggal bersama orang tuanya, mereka sering bolos berhari-hari, bahkan berminggu-minggu karena jarak sekolah dan rumahnya jauh. Dari rumah mereka mengaku ke sekolah, tetapi setelah agak jauh dari rumah mereka berbelok arah, bolos entah main ke mana, di luar pantauan orang tuanya. Saat itu mungkin mereka merasa bahagia bisa bermain sepuasnya, tak perlu sekolah. Mengingat masa depannya, orang tuanya menitipkan pada orang tuaku untuk ikut mendidik, membimbing, dan membina mereka. Kami pun bersatu di rumah sederhana itu sebagai satu saudara, senasib seperjuangan. Ada Kak Marsi Judha, Kak Amandus Miri, Kak Bibi Menge, Kak Kanis Kewa, Kak Romana Mudja, Kak Victor Rose, Kak Ferry Sadha, Kak Lius Wele, Tina Ebu, Dora Dhi, Bapak Bal Baka, Bapak Sius Mare, Om Horis Wada, Mama Bertha Bidu. Masih ada lagi ‘angkatan’ berikutnya, Markus Nge, Merry Medho, Philo Pano, Bene Ega, Basti Biga, Bella Doy, dan Leo Lata. Yang hanya beberapa bulan saja tinggal di rumah itu, Ande Peri dan Hendi Dhosa dari Aeramo.
           Suasana rumah kami seperti di asrama. Meski begitu banyak, semuanya rukun-rukun dan saling mendukung. Laksanakan tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing. Kak Amandus, Kak Kanis, Kak Victor, Kak Romana, dan Tina itu prestasi akademiknya bagus dan tulisan mereka juga bagus. Kak Bibi dan Tina dengan suara emasnya biasa menjadi solis di paduan suara sekolah atau gereja. Kak Romana dengan kecantikan dan body sexy-nya membuat banyak pemuda kampung mengincarnya. Dora yang juga cantik tapi alim dan pemalu hanya tersenyum dan bersembunyi jika ada yang menggodanya. Bapak Bal punya ‘bakat jenius’ dalam berkelahi dan provokasi. Hampir setiap hari Sabtu dia memalak dan berkelahi dengan anak-anak Ratedao yang pulang dari pasar Danga. Tingkah lakunya ‘diteruskan’ kepada Tilla yang menjadi murid setianya. Mereka berdua paling kompak dalam urusan palak-memalak dan perkelahian. Kak Hermen menjadi anak paling diistimewakan. Punya lemari pakaian sendiri, tempat menyimpan harta kekayaannya yang selalu dikunci, sedangkan anak laki-laki lainnya jadi satu. Buku-bukunya pun beda dari lainnya. Tapi dasar tak berjodoh dengan urusan akademik, hanya sampai kelas II SMP dia mengundurkan diri dari dunia pendidikan dan melanjutkan petualangannya di dunia penggembalaan kerbau milik ayah yang memang lebih jinak dan setia dengan Kak Hermen. Kak Victor, Ferry, dan Lius itu seangkatan. Kak Victor bertahan sampai lulus SMP dan pindah dari rumah karena melanjutkan SMA, Kak Ferry hanya sampai kelas II SMP lalu merantau ke Ende mengadu nasib sebagai penjaga rumah makan, dan terakhir menjadi kondektur, lalu naik pangkat jadi sopir oto Sutra Alam. Kak Lius ini ‘anak mami’ yang aneh. Setiap hari tugasnya adalah urusan merebus air minum. Jam 15.00, setelah air minum beres dimasukkan ke cerek dan termos, mulailah dia konser di belakang rumah alias menangis…sambil memanggil-manggil nama mamanya. “Ine Yuli e…ngao walo wi’e…!” (Mama Yuli, saya pulang saja). Itu berlangsung hingga tiga tahun, pada jam dan tempat yang sama. Akhirnya hanya bertahan sampai kelas III SD, kembalilah dia ke pelukan mamanya di Segho. Semua mereka keluar dari rumah satu-persatu setelah menamatkan SMP karena harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan jauh dari rumah. Semua mereka pun meninggalkan kenangan masing-masing yang unik di mata orang tuaku. Orang tuaku mendidik kami sama, tidak membeda-bedakan.
           Ayah dan ibuku menanamkan kedisiplinan dalam diri kami semua. Sejak bangun jam 05.00, setelah berdoa pagi bersama, tak ada yang bermalas-malasan. Semua ramai-ramai menimba air di kali Okitebo, kemudian sarapan bubur, lalu ke sekolah. Untuk menimba air, kami semua dibagi jerigen yang ukurannya sesuai dengan body kami, dan oleh ibuku ditulis nama kami masing-masing. Dengan demikian ketahuan siapa yang tidak menimba air waktu pagi, sorenya harus menimba dua kali. Itu menjadi peraturan tak tertulis dan dipatuhi oleh semunya dengan penuh tanggung jawab. Pembagian sabun juga dijatah agar semuanya belajar berhemat. Orang sekampung merasa heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya Pak Dorus dan Ibu Ross memberi makan kepada ‘masyarakat’ sebanyak itu. Semua menikmati makanan apa adanya. Jagung rebus, nasi sayur atau pisang rebus, semuanya dinikmati dengan sukacita. Daun singkong dan daun pepaya adalah sayur favorit keluarga kami. Maka tak heran kalau di sekeliling rumah kami ditanami singkong dan pepaya. Ada juga mangga, pisang, jeruk, alpukat, sirsak, nenas, ya… semuanya ada di kebun kami yang luas. Yang berjasa untuk urusan konsumsi adalah Nenek Lena dan Mama Martha. Tanpa beliau berdua, kami pasti kelaparan sepulang sekolah karena hanya mereka berdua yang hari-hari di rumah. Untuk makan malam secara bergilir yang nona-nona bergantian memasak. Memasak sejak jam 17.00 agar tidak mengganggu waktu belajar. Pukul 18.30, suasana rumah sepi… karena semuanya belajar dengan memilih tempat masing-masing yang menurut sendiri paling nyaman. Rumah kami diterangi dua buah lampu petromax. Prinsip orang tuaku, boros minyak tak apalah, yang penting urusan belajar anak-anak beres dan aman. Suasana agak berisik jika ayahku mulai mengetik. Bunyi mesin ketik tuanya itu ramai karena kurang diminyaki. Tapi itu harta berharga kami yang kadang menjadi rebutan jika ingin belajar mengetik. Aku bangga, setidaknya ayahku memiliki alat tulis agak modern yang tidak satu pun orang di kampung kami memiliki, dan mengajarkan kami untuk mengenal teknologi, walaupun apa adanya. Kami bangga dengan keadaan seperti itu.
           Akhir ujian cawu, rumah kami panen juara kelas. Hampir semuanya mendapat rangking di kelas masing-masing. Ibuku memberi kami hadiah yang bisa dipakai bersama seperti bola voli dan netnya, bola kaki, atau buku bacaan. Di samping rumah kami ada tanah kosong yang luas sekali sehingga dijadikan lapangan sepak bola dan voli. Kami benar-benar menikmati keceriaan setiap hari bersama-sama. Sore hari jam 17.30 semuanya dilarang masuk rumah dulu karena ada ‘pembunuhan massal’ terhadap nyamuk alias disemprot dengan obat nyamuk Mortein. Ayahku yang berperan sebagai penjagalnya, dengan gaya menutup mulut dan hidung pakai sapu tangan. Sejam kemudian baru boleh masuk. Kami tak punya TV atau tape recorder, hanya punya radio 4 band merk Toshiba kesayangan ayahku untuk mendengar berita dari RRI atau radiogram dari RPD Ngada. Kalau sinyalnya tidak bagus, ayahku sampai menempel-nempelkan telinganya dekat radio. Ibuku berlangganan majalah Kartini melalui Ibu Bibi Dongo di Bajawa. Meskipun terlambat, kami selalu setia menanti. Berkat membaca majalah Kartini, ibuku tahu tentang produk obat nyamuk Mortein, sampho Selsun dan sabun Jhonson. Untuk kami semuanya berlangganan Kunang-kunang (majalah bulanan anak-anak terbitan Nusa Indah Ende). Begitu diterima dari Pater Hans, ibu langsung menulis nama kami masing-masing agar tidak berebutan. Kami semua suka membaca.
          Untuk kebutuhan sehari-hari, selain berbelanja di pasar Danga, orang tuaku berlangganan pada Pater Hanz Runkel, pastor paroki kami. Dengan bermodalkan saling percaya, ibuku menuliskan nota kebutuhan, lalu menyuruh salah seorang di antara kami mengantarkannya kepada Pater Hanz di Boanio. Setiap anak pasti mendapat giliran karena ibu ingin kami semua berani dan sekalian menguji kejujuran kami. Akhirnya ketahuan, Kak Hermen pernah menambah catatan permintaan dengan tulisannya. Aku yang menemukan nota itu di atas loteng tempat dia biasa tidur siang. Sejak itu dia tak pernah disuruh lagi. “Dhiri gero mona wali bai” (sampai di sini, tak terulang lagi), begitu istilah untuk orang yang tidak dipercayai lagi, seperti peribahasa ‘sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak dipercayai lagi’. Syarat yang harus kami lakukan sebelum bertemu Pater Hanz adalah berdoa dulu di gereja. Selain itu, sebelum berangkat, kami dites dulu seolah-olah berbicara dengan Pater Hanz (semacam latihan akting gitu deh). Soal pembayarannya akan dipotong gaji yang dikirim oleh Yasukda melalui Pater Hanz. Terima kasih Pater ! Hubungan baik ini tetap terjalin meskipun kini beliau sudah pindah ke paroki Nangalanang Manggarai.
         Ada kenangan yang tak pernah kulupakan saat kami dirotani (pertama dalam hidupku dirotani ayah) gara-gara bolos sekolah. Awalnya dari kunjungan Gubernur Ben Mboy dan istri ke Danga. Karena penasaran dengan kecantikan Ibu Nafsiah yang sering diceritakan orang-orang, melihat iring-iringan oto ke Danga, kami pun ikutan ke Danga, diprovokasi oleh Bapak Bal. Sepulangnya Kak Marsi, Kak Mandus, dan Bapak Bal dari sekolah di SMPK Boanio, kami ramai-ramai berangkat jalan kaki. Baru sampai di Kesidari Wawo, kami melihat iring-iringan oto kembali dari Danga. Kami tetap nekat karena kami mengira itu hanya rombongan pengantarnya. Apalagi kami tahu bahwa ada Mama Ika, saudarinya Pak Ben Mboy yang tinggal di Danga, pasti mereka menginap. Sok tahu ! Tiba di Danga sudah sore, dan kami mampir mandi di pondok Tanta Nyora. Setelah itu kami ke pasar Danga karena dengar-dengar bahwa akan ada pentas seni di sana. Dengan semangat kami berlari-lari kecil agar tidak ketinggalan acara. Astaga naga, pasar gelap gulita. Dengan kecewa kami kembali ke Penginanga, menginap di pondok Tanta Nyora. Karena kelelahan,kami menunda kepulangan sampai hari ketiga. Untuk mengurangi kemarahan orang tua, kami membawa sayuran yang banyak dari sawah. Tiba di rumah pukul 21.00, saat orang serumah sedang doa malam. Dengan berjingkat-jingkat kami langsung menuju dapur. Setelah doa kami ke ruang tengah, menyapa orang tua lalu makan malam. Malam itu kami dapat tidur dengan damai karena tidak diinterogasi macam-macam. Rupanya itu ‘ditabung’ hingga esok harinya di sekolah. Kami bertiga (aku, Tina, dan Tilla) dirotani di depan teman-teman. Betapa malunya kami tetapi itu memang resikonya bagi yang bolos sekolah. Sedangkan ketiga kakak yang SMP selamat dari hukuman seperti kami. Aduh, gara-gara mau lihat Ibu Nafsiah Mboy !
          Ada lagi kenangan waktu pertama kalinya aku dipercayakan ibuku ke sawah Om Onse. Aku merasa bahagia sekali saat itu. Aku berangkat bersama Kak Mandus, jalan kaki. Di mata keluarga besar, aku adalah manusia paling lemah karena sering sakit. Menurut mereka, orang yang mau berjalan denganku adalah orang yang sabar dan setia menunggu. Jalanku pelan dan gampang lelah. Kak Mandus sebetulnya agak berat (kelihatan dari raut wajahnya) tetapi tetap memberi semangat padaku dengan senyuman. Berangkatlah kami berdua. Sampai di Parabhara hujan lebat. Kami tetap berjalan. Di Penginanga kami mampir di rumah Om Hendi Tiba, makan dan ganti baju. Lalu kami lanjutkan perjalanan, jam 17.30 sampai di pondok Mama Lena Ria. Kami mampir sebentar. Mereka terheran-heran melihat aku datang. Kami lanjutkan lagi dan tiba di pondok Om Onse sekitar jam 19.00. Lagi-lagi semua yang ada di sana terheran-heran karena aku bisa jalan kaki dari Roe sampai sawah pintu VI. Malam itu tidurku lelap sekali karena kelelahan. Keesokan paginya setelah doa hari minggu bersama, kami berdua Kak Mandus kembali ke Roe, tetapi dengan menunggang kuda. Muatan kami sarat dengan beras, pisang, dan sayuran. Kami tiba di Roe lebih cepat. Sejak itu mereka tidak meragukan lagi kemampuanku berjalan kaki.
          Pengalaman lainnya waktu kami mencari kayu bakar di Malaledo. Semua kami berangkat. Tadinya mereka mau diam-diam, dengan maksud agar aku tidak ikut, tapi ketahuan olehku. Setelah kayu diikat sesuai kemampuan masing-masing, pulanglah kami. Baru sekitar 500 meter berjalan, aku tak kuat lagi memikul. Kutinggalkan saja, dan terpaksa Kak Marsi menambah bebannya dengan bagianku. Aku hanya membawa parang saja. Selanjutnya, tahu sendiri, mereka tidak pernah mengajak aku lagi pergi mencari kayu bakar. Tilla dipuji-puji karena bisa memikul kayu bakar seperti mereka. Biarin…! Tapi jangan tanya kalau soal ke pesta, biar jauh di Jawatiwa, Boazea, Ratedao, pasti aku ikut. Orang tuaku mengizinkan kami semua ikut pesta agar kami bisa mengenal orang lain. Setibanya di tempat pesta, orang tua duduk manis, kami anak-anak boleh menari sepuasnya. Tak pernah ada larangan karena mereka percaya bahwa kami bisa sopan, tahu menjaga diri dan selalu menjaga nama baik keluarga. Orang tua juga mengizinkan kami berlibur ke tempat saudara atau teman agar kami dapat mengenal tempat dan suasana lain juga mendapat banyak pengalaman. Setamat SD, aku dan Tilla langsung dikirim masuk asrama di Mataloko. Kami tidak pernah merasa dikekang atau dipaksakan. Setiap ada tamu yang datang, semua anak di rumahku wajib memperkenalkan diri. Alasan ibuku agar kami berani tampil, dan tamu pun mengenal kami anak-anak di rumah Pak Dorus dan Ibu Ross.
           Sebagai kepala sekolah, ayah sering tugas keluar, misalnya ke Danga, Bajawa, atau menjadi pengawas ujian di sekolah lain. Setiap ayah pulang, kami berebutan membawa tas begitu ayah turun dari oto. Kami bahagia sekali dengan keadaan apa adanya kami. Ibuku mewajibkan kami memelihara ayam dan menanam pisang agar tiba ulang tahun, kami bisa memotong ayam dan menggoreng pisang hasil usaha kami untuk merayakan hari istimewa itu. Aduh nikmatnya ! Satu lagi; ibuku tak pernah lupa pada ulang tahun semua orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang ulang tahunnya sama dengan aku, Tilla, Resty, dan Elson pasti mendapat hadiah, meskipun hanya sepotong kue. Aku kagum pada ibuku.
          Ibuku mengajarkan kami untuk hidup prihatin, tidak sombong,dan rendah hati. “Cium tangan ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua supaya kamu mendapat berkat,” pesan ibuku. “Dahulukan orang yang lebih tua jika mengambil makanan,” nasihat beliau juga. Dan ini yang membuat Elson ‘makan hati’ kalau makan bersama karena pasti giliran dia yang terakhir, sementara makanan yang disukainya sudah disikat Tilla yang memang selalu sengaja mencari gara-gara dengan Elson. “Ucapkan selamat makan kepada semua yang sedang makan bersamamu.” Elson sempat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk melitania nama orang-orang yang sedang makan bersamanya. “Hormatilah yang tua dan sayangi yang muda,” pesan orang tua kepada kami dalam setiap suratnya. “Sabar agar mendapat pahala, dan jagalah selalu nama baik keluarga.” Pesan sederhana yang tetap kami ingat hingga kini. Sesuai dengan firman, “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada perak dan emas.” Amsal 22 : 1
          Tahun 1980 kami pindah rumah ke Okitebo, rumah sendiri. Tempatnya sangat strategis, sekaligus tempat mampir para penumpang oto yang macet atau ban pecah. Aku ingat waktu oto Petani Cengkeh terbalik di tikungan Roe, semua penumpang ditampung di rumah kami. Kebanyakan orang Mauponggo yang pulang dari pasar Danga. Korban luka diobati seadanya oleh ibuku dan lainnya beristirahat sambil menunggu pemilik oto datang menjemput. Esoknya Om Yakob Babo datang menjemput mereka. Orang tuaku mengajarkan kami untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan. Kebaikan orang tua kepada orang lain, kamilah yang mendapat berkat dari Tuhan. Terbukti saat kami berdua Elson sedang bingung mengurus tiket pesawat ke Denpasar di Maumere, tiba-tiba ada seseorang yang datang menawarkan bantuan dan bercerita bahwa dia pernah menginap di rumah kami saat oto yang ditumpanginya rusak. Dia melihat wajah Elson yang sangat mirip dengan ayahku. Puji Tuhan !
         24 tahun mengabdi di SDK Lape, tahun 1988 orang tuaku pindah ke SDI Butata di Segho, kampung asal ayahku. Kami harus berjalan kaki selama dua jam dari Radja. Tidak ada kendaraan ke sana, bunyinya saja tak pernah kedengaran. Tetapi kami harus belajar menerima kenyataan ini agar dapat kembali mengenal dan mencintai kampung Segho, tanah leluhur kami. Tahun 1990 baru ada oto yang masuk Rendu, itu pun seminggu sekali, hari Rabu saja.
           2 Juli 1996, nenekku meninggal. Kami merasa sangat sedih karena tak satu pun antara kami yang hadir saat itu karena kami bertiga di Yogya. Diputuskan, setiap libur ada yang pulang untuk melihat makam nenek. Nenekku sangat berjasa pada kehidupan kami semua. Nenek selalu turut mengambil bagian dalam kehidupan kami sejak kami dalam kandungan, ikut merawat, mengasuh, dan membimbing kami dengan apa adanya yang buta huruf. Dengan keterbatasannya itu beliau selalu memberikan yang terbaik buat kami cucu-cucunya. Aku bangga dan kagum pada nenekku sampai kapan pun. Selamat jalan Nenek Magdalena !
        Oktober 1998 ayah dan ibuku pindah ke Jawakisa, kampung asal ibuku. Berawal dari guru honorer di Jawakisa lalu menghabiskan masa persiapan pensiunnya di Jawakisa. Hidup mereka terpakai untuk sebuah pengabdian. Doa merupakan makanan rohani yang menguatkan kami sekeluarga dan mengiringi setiap langkah dan rencana.
           26 Juni 2001, ayahku merayakan ulang tahunnya ke-60 di Jakarta ketika datang menghadiri pernikahanku, 3 Juni 2001. Kami mengantar mereka berdua keliling Jakarta dan mengunjungi tempat-tempat penting dalam sejarah bangsa seperti yang pernah diajarkan mereka dalam pelajaran ketika kami di SD. Kalau dulu mereka hanya mengajar berdasarkan gambar di dalam buku dan imajinasi mereka, kini mereka dapat menyaksikan dan menginjak di tempat yang diceritakan itu seperti Lubang Buaya, Monas, Taman Mini, dan lainnya. Mereka bisa naik kereta dan pesawat yang sebelumnya hanya dilihat di gambar. Akhirnya di usia ke-60 mereka baru bisa menginjak kota Jakarta, ibu kota Negara Indonesia.

Ayah dan Ibu, terima kasih banyak untuk apa yang kau ajarkan, untuk apa yang berikan , dan terutama kau telah menjadi orang tua yang bijaksana bagi kami anak-anakmu.

KELUARGA
Hal lain bisa mengubah kita, tapi kita bermula dan berakhir dengan keluarga.

Tentang IBU...


Kau mengerjakan semua tugas sehari-hari
Dan membuatku merasa menjadi seorang yang sangat istimewa bagimu.
Apapun yang terjadi dalam hidupmu, aku tahu
Karena kau, aku jadi berarti …


Ibuku, Rossa da Lima Sina, dan biasa disapa Ibu Ross oleh semua yang mengenalnya. Sama seperti ayah, ibuku juga asli dari Rendu, tepatnya Jawakisa (sekarang kecamatan Aesesa Selatan). Ibuku terlahir sebagai anak kedua –putri pertama- dari tujuh bersaudara pasangan Kakek Petrus Sina dan Nenek Maria Dhuge. Kakak sulungnya Anton Agustinus Rossina, dan adik-adiknya Sisilia Sina, Yosef Onse Aloysius Sina (alm), Fransiskus Agustinus Sina, Ambrosius Agustinus Sina, dan Vincent Herman Rossina Mosafoa (alm). Kakekku seorang petani, tetapi karena selalu membantu pastor mengajarkan agama Katolik di kampung Jawakisa dan Rendu umumnya sehingga orang mengenalnya sebagai guru agama. Nenekku juga petani tetapi berpendidikan, sekolah di SRK Todabelu (sekarang SMPK Kartini) hingga kelas V. Keburu dilamar oleh sang guru agama, tidak sampai tamat, harus pulang kampung untuk menikah. Karena latar belakang kedua orang tuanya berpendidikan maka tak heran bila ibuku dan saudara-saudaranya semua bersekolah.

15 Agustus 1941, ibuku dilahirkan. Masa kecil ibu banyak diceritakan lagi padaku. Nenek merawat putri pertamanya ekstra perhatian karena sering sakit dan bertubuh ringkih. Tidak seperti ayah yang harus melewati perjalanan panjang ke sekolah, ibu dengan mudah ke sekolah karena jarak rumah dan sekolah hanya beberapa meter. Mungkin melihat ayahnya yang sering masuk keluar kampung mengajarkan agama Katolik, membantu pastor mempersiapkan orang yang akan dibaptis, timbullah motivasinya untuk menjadi guru.

Lulus SRK (kelas III) di SDK Rendu, ibu melanjutkan kelas IV – VI di SRK Todabelu III (sekarang SMPK Kartini) milik susteran SSpS Mataloko yang khusus untuk anak-anak perempuan. Ibu tinggal di asrama, diasuh dan dibimbing oleh para suster Belanda yang penuh disiplin. Makan nasi tak boleh ada sisanya di piring. Ibu tak pernah habiskan sepiring nasi yang sudah ditakarkan sehingga sering dihukum oleh Suster Domitilla. Untuk mengenangnya, adikku yang kedua diberi nama Domitilla. Ternyata nama itu memberi dampak kurang bagus pada Tilla, kalau makan selalu tidak bisa dihabiskan. Habis, kasih nama karena mengenang luka batin sih. Nama anak adalah doa dan harapan orang tuanya.

Tiga tahun di asrama, ibu jarang pulang ke kampungnya karena jauh dan harus berjalan kaki berhari-hari. Oleh karena itu ibu lebih banyak berlibur di rumah sahabat ibunya di Pagonage, Nenek Nyora Lena, yang putri-putrinya juga seasrama dengan ibuku, yaitu Mama Eci, Mama Since, Tanta Mince, Tanta Retha, Tanta Selvi, Tanta Walde. Hubungan mereka dengan ibuku sudah seperti saudara sendiri.

Setamatnya dari Mataloko, ibu melanjutkan ke SGB Jopu, sekolah guru khusus putri di kabupaten Ende . Jaraknya lebih jauh lagi dari Rendu, harus ditempuh berjalan kaki selama satu minggu. Dengan kondisi fisik yang kecil, kurus, dan hanya diantar oleh teman ayahnya, ibu nekat untuk tetap melanjutkan sekolah di Jopu. Pepatah mengatakan, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Akhirnya ibu berhasil lulus menjadi guru, dan satu-satunya perempuan Rendu yang pertama menjadi guru saat itu. Ada beberapa temannya yang selalu diperkenalkan pada kami anak-anaknya melalui cerita, Mama Melda Nage, Mama Metha Wula, Mama Thres Billy, Mama Maria Owa. Dan guru idola ibuku yang selalu dikunjunginya jika ke Bajawa yaitu Mama Lin.

Lulus dari SGB, ibu mengajar di SDK Rendu sebagai tenaga honorer. Pengangkatan pertama sebagai PNS ditempatkan di SDK Wudu. Atas perjodohan dan persetujuan keluarga besar, ibuku menikah dengan pemuda dari Segho bernama Theodorus Samu, yang juga teman sekolahnya dulu. Setelah menikah keduanya pindah mengajar di SDK Lape – Malagase. Rupanya mereka memang berjodoh !

RIWAYAT MENGAJAR :
• SDK Rendu Jawakisa : 1 November 1959 - Juni 1967
• SDK Wudu : Juni 1967 - Juni 1969
• SDK Lape : Juni 1969 – 1 November 1988
• SDI Butata Segho : 5 November 1988 – 4 Oktober 1998
• SDK Rendu Jawakisa : 7 Oktober 1998 – 1 Januari 2001

Tentang AYAH ...


Dadanya bagai daun talas yang lebar
Dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti, dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah nasib
………..

Rendra
(Dari sajak ‘Rumah Pak Karto’)

Nada dering hp-ku berbunyi, mengganggu tidur. Kubuka tas, di layar tertera nama Bpk DPR. Itu nomor Paman Vincent, saudara bungsu ibuku.
“Hallo Nona, selamat ulang tahun ya. Maaf, agak terlambat. Kabar baik kan ?”
“Terima kasih, Om. Kabar baik. Aku tahu, pasti pas ulang tahunku Om lagi di tempat yang tidak ada sinyal sehingga tidak bisa telpon to ?”
Ini satu-satunya Om-ku yang selalu ingat akan ulang tahun kami, seperti kakaknya, Ibuku. Di mana pun beliau berada pasti selalu berusaha menelpon atau mengirim kartu ucapan atau telegram untuk kami semua yang sedang merayakan hari istimewa.
“Nona, orang tuamu sekarang sibuk. Ayahmu selalu di sawah menjaga padinya yang sebentar lagi akan dipanen, sedangkan ibumu di rumah dengan cucian dan jahitannya. Bagaimana dengan Elson, kapan penelitian untuk skripsinya ? Om juga sudah lama tidak bertemu dengan mereka, baru semalam dari rumah, dan hanya bertemu ibumu,” cerita Om.
“Kami baik-baik, Om. Elson baru semalam kembali ke Yogya untuk mengurus KRS dan administrasi lainnya. Setelah itu akan pulang penelitian di Kupang,” balasku.
Tiba-tiba, tit…tit…tit…, pulsanya habis. Cerita kami terputus. Lalu aku lanjutkan melalui SMS. Pulsaku juga sekarat, tidak cukup untuk menelpon.

Karena tak bisa tidur lagi, untuk menghabiskan waktu hingga turun bus di pintu tol barat, aku membaca buku “GURU Tanpa Tanda Jasa” Kumpulan Karangan Himpunan Pengarang Aksara yang baru kupinjam dari perpustakaan sekolah. Ternyata tak bisa konsentrasi. Pikiranku melayang … melamun …melayang … membayangkan ayahku duduk di pinggir sawah, mengawasi burung-burung yang mengganggu padinya. Sambil berteriak atau berdehem-dehem, atau memukul-mukul kaleng yang diikat di tiang orang-orangan untuk menakut-nakuti burung. Begitu caranya mengusir burung di sawah. Ayahku memang sangat telaten dengan urusan seperti itu. Apalagi memasuki masa pensiun seperti sekarang.
“Tol barat, tol barat…!" teriak kondektur membuyarkan lamunanku.
Aku segera turun, dan niatku ; setibanya di rumah aku harus menulis tentang orang tuaku.

Ayahku, lelaki bertubuh pendek, selalu memakai baju lengan panjang, kapan dan di mana pun. Itu untuk menutupi bekas luka di lengan kanannya akibat kecelakaan oto tahun 1993 di Tutubhada Rendu. Rambutnya belum beruban karena ayahku rajin merawatnya dengan minyak rambut khusus bermerk Natebal. Cerita tentang minyak rambut Natebal, suatu hari ketika naik KRL dari stasiun Sawah Besar menuju Lenteng Agung bersama Kak Hilde, di depanku duduk seorang bapak yang sepertinya memakai minyak rambut Natebal. Aku sangat mengenal bau itu. Langsung aku berteriak, “Kae, wau minyak fu amekae de nia ngao te bhila wau minyak fu ame ngao.” (Kak, bau minyak rambut bapak di depanku ini seperti bau minyak rambut ayahku). Kak Hilde terheran-heran. Ketika kujelaskan, Kak Hilde terpingkal-pingkal, tidak menyangka bahwa sampai sebegitu amat kenanganku dengan bau minyak rambut yang dipakai ayahku.

Ayahku belum setua teman-teman seusianya. Jalannya masih sangat kuat dan cepat. Siapa pun yang bertemu dengan beliau akan menyapanya, Bapak Guru, Pak Guru, Pak Dorus, Om Guru, Kakek Guru, Opa, atau Amekae (bapak tua). Ke mana pun pergi, si bapak tua ini selalu membawa payung bertangkai panjang, tidak seperti laki laki pada umumnya yang memakai topi. Alasannya, serba guna. Selain fungsi utamanya, bisa juga sebagai tongkat. Jika bertemu binatang liar seperti ular, bisa dimanfaatkan.
“Sedia payung sebelum hujan, Anak’” selalu begitu nasihatnya.

Ayahku, Theodorus Samu, asli dari Rendu, sebuah kampung adat yang sama sekali tidak tercacat atau tercantum dalam peta Indonesia. Sebagai putra sulung dalam keluarga, bersama kedua saudarinya; Tanta Lusia Nuba dan Tanta Sofia Kowe, mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga petani sederhana yang buta huruf. Setelah kakekku Petrus Lepa meninggal, nenekku bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi ketiga anaknya. Nenekku bertubuh pendek dan selalu tersenyum adalah seorang janda yang ulet, yang sendirian membiayai sekolah anak laki-laki satu-satunya tanpa mengharapkan belas kasih orang lain. Benar-benar usaha jerih payah sendiri.

Ayahku Theodorus Samu, 67 tahun yang lalu, tepatnya 26 Juni 1941, dilahirkan dalam suasana perang dan sengsara. Karena orang tuanya buta huruf, nyaris anak-anaknya tidak bersekolah. Apalagi jarak antara kampung ayahku dengan sekolah yang jauh, dan harus menyeberangi sungai yang deras, kedua orang tuanya jelas tak rela anaknya tenggelam ditelan arus. Maklum, belum terpolusi pikiran modern sehingga mereka beranggapan bahwa bersekolah berarti berpihak pada penjajah. Jangankan rela anaknya bersekolah, keluar rumah saja mereka sudah cemas dan takut kalau-kalau anaknya akan ditangkap Jepang yang katanya saat itu berkeliaran. Padahal, mungkin gak sih kampung sepencil Segho di Rendu itu dimasuki Jepang ?

Ayahku masuk kelas I dan II di SRK Rendu Jawakisa, kelas III dan IV di SRK Jawatiwa. Itu bukan karena dorongan orang tua tetapi nekatnya sendiri. Ayahku termasuk anak yang cerdas, tekun, dan ulet. Tidak ada keistimewaan selama SR, hanya saja semua orang mengenalnya berasal dari keturunan terpandang tetapi sederhana di kampung Segho. Ayahnya beristri dua. Karena istri pertamanya nenek Maria Dhupa tidak memberikan keturunan, kakek lalu kawin lagi dengan nenek Magdalena Mau atas izin istri pertamanya. Mereka hidup bersama dengan rukun dan penuh persaudaraan hingga kakek meninggal.

Lulus SR di Jawatiwa, ayahku melanjutkan kelas V dan VI di SRK Radja. Karena jarak dari kampung Segho ke Radja yang sangat jauh, oleh nenek, anaknya itu dititipkan pada keluarga Bapak Guru Sipri Tu, yang kebetulan istrinya masih keponakan nenek. Terima kasih Bapak Guru Sipri dan alm. Tanta Nyora Ance, atas bimbingan dan perhatian pada ayahku.

Sebagai anak sekolah yang menumpang tinggal di rumah guru - saudara sekalipun – ayahku sangat tahu diri. Sebagian pekerjaan rumah tangga harus ikut dibantu, apalagi saat itu sangat susah. Bangun pagi, sebelum berangkat ke sekolah harus menimba air di sungai, menyapu rumah dan halaman, memasak bubur untuk sarapan bersama. Sepulang sekolah bantu mencuci piring setelah makan, memberi makan babi, menimba air, barulah aman belajar meskipun hanya diterangi lampu sumbu atau pelita. Itulah rutinitas ayahku selama tiga tahun tinggal bersama keluarga Bapak Guru Sipri di Radja.
“Ayahmu ini sangat rajin dan termasuk anak yang patuh dan tertib, serta disiplin,” cerita Bapak Guru Sipri ketika kami bertemu di Maukeli tahun 1985.

Setiap Selasa adalah hari pasar di Radja. Nenek dan Tanta Sia ke pasar sekalian bertemu dan mengantarkan makanan untuk anaknya di rumah Bapak Guru Sipri. Makanan itu dinikmati bersama. Bagi nenek dan kedua tantaku, ayah adalah tumpuan harapan dan perhatian mereka. Terutama Tanta Sia yang rela putus sekolah agar membantu nenek mencari uang dengan memelihara babi, berkebun, menjual kapur sirih untuk membiayai sekolah saudaranya. Tanta Sia itu wanita perkasa. Trampil mengerjakan semua pekerjaan wanita dan laki-laki. Aku sangat mengaguminya. Tanta Sofi yang kemudian kami memanggilnya tanta nyora, cukup baik nasibnya. Lulus SR, dilanjutkan dengan kursus ketrampilan wanita di susteran Mataloko, pulangnya dilamar oleh seorang guru muda yang saat itu mengajar satu sekolah dengan ayahku, namanya Guru Zakharias Roga. Makanya orang memangginya Nyora karena zaman Belanda semua istri guru dipanggil nyora guru. Sedangkan Tanta Sia menikah dengan seorang pemuda dari kampung Jawatiwa lulusan SMP, Om Yohanes Djago.

Setamatnya dari SRK Radja, ayah melanjutkan ke SMPK Kotagoa, kemudian ke SGA Boawae. Zaman itu sekolah guru menjadi sangat favorit dan menjadi guru adalah kebanggaan. Alasannya sederhana; cepat dapat gaji dan pasti jadi PNS. Ayahku tinggal di asrama putra milik Bruderan Aloysius di Boawae dan menjadi anak kesayangan Romo Ferdinandus da Cunha,Pr. Ayahku sangat mengagumi para gurunya, terutama Romo Nandus dan Bapak Guru Tinus Nuwa. Sedangkan teman-temannya yang sering diceritakan pada kami, Om Elias Nuwa, Om Kadir Mane Tima, dan Om Vitalis Wala.

Lulus SGA, beliau menjadi guru honor di SDK Rendu. Itu cita-cita beliau, ingin mengabdi di daerahnya sendiri, meskipun tak seberapa gajinya. Setelah menjadi PNS, beliau ditepatkan di SDK Lape. Setahun kemudian, atas perjodohan orang tua, menikahlah beliau dengan seorang wanita asal Jawakisa bernama Rossa da Lima Sina yang konon adalah teman sekolahnya. Selain itu mereka masih ada tali persaudaraan. Rupanya mereka berjodoh !

Ayahku seorang guru yang sangat bertanggung jawab dengan tugas dan kewajibannya.
“Anak, supaya kondite kerja kita baik, dalam melaksanakan tugas harus penuh tanggung jawab dan sampai tuntas,” nasihat beliau setiap aku membantu menulis dokumen-dokumen penting.
Mungkin dari situ timbul keinginanku untuk menjadi guru seperti kedua orang tuaku. Kadang-kadang aku membantu beliau mengetik dengan mesin ketik tua harta kesayangannya. Sebagai seorang kepala sekolah,banyak sekali tugas yang harus diselesaikan. Banyak juga pelajaran yang aku dapatkan saat membantu beliau, tentang kepegawaian, kurikulum dan penilaian. Akhirnya aku memilih sekolah guru juga. Aku bangga pada ayahku.

Meskipun gajinya selalu tak cukup, tetapi kalau untuk urusan dinas selalu didahulukan, berjalan kaki sekalipun. Ayahku memang hebat. Nasihat yang selalu terngiang hingga kini, “jaga kondite”. Aku melihat semangat rela berkorban seorang guru dalam diri ayahku itu luar biasa. Tak heran bila ayahku dipercayakan menjabat kepala sekolah sejak tahun 1975 hingga tahun 2001 ( sejak aku masuk SD hingga aku menjadi guru).

Ayah mengajarkan aku bagaimana berdisiplin dalam tugas. Dalam hati aku berpikir, mungkin gak sih aku bisa menjadi seorang pemimpin yang baik, bijaksana, sabar, dan rendah hati sehingga disayangi semua orang seperti ayahku ? Ayahku adalah juga guruku, yang mengajarkan aku tentang nilai-nilai kehidupan dan memberikan contoh dan teladan kepadaku tentang sikap-sikap yang baik dalam kehidupan. Semuanya itu melalui doa dan amal kebajikan beliau. Terima kasih, Ayah !

RIWAYAT MENGAJAR :
• SDK Rendu di Jawakisa : 1 Oktober 1964 – 5 Februari 1965
• SDK Lape di Malagase -Roe : 7 Februari 1965 – 1 November 1988
• SDI Butata di Segho : 5 November 1988 – 4 Oktober 1998
• SDK Rendu di Jawakisa : 7 Oktober 1998 – 1 Juli 2001
Kepala Sekolah : 1975 – 2001

Perjodohanku...

“Sekolah yang benar Ine, supaya dapat kerja yang bagus. Setelah kerja baru menikah dengan pilihan yang tepat,” begitu nasihat mama dalam suratnya di masa kuliah. Saya masih ingat saat itu balasan untuk surat saya yang menceritakan tentang hubungan saya dengan pacar saya yang kini sudah menjadi suami saya.Mama tidak pernah mengatakan setuju atau tidak dengan pilihan saya, tetapi hanya mengatakan bahwa pilihlah yang tepat menurut saya. “ Ine, yang nanti hidup bersama itu kalian, jadi kalau kau merasa cocok untukmu kelak, jalani menurut pilihan hatimu,” balasan mama lagi. Saya merasa mama saya bijaksana. Tetapi ternyata sebetulnya itu pancingan beliau terhadap pilihan, karena diam-diam bapak dan mama menyetujui perjodohan dengan anak saudara sepupu bapak. Begitu saya tahu dari Tilla yang saat itu pulang kampung dan mendengar pembicaraan mereka, hati saya menjadi panas. Saya langsung memberontak. Saya tidak setuju dengan perjodohan itu. Saya tetap pada pilihan saya. Saya marah dengan sikap bapak dan mama.

Liburan 1996 saya pulang kampung. Sehari di rumah orang tua, datanglah tanta Sofi yang anaknya mau dijodohkan dengan membawa ayam jantan. “Tanta Sofi, manu ngi mo dheo ana ane atau dheo tu’a ga’e (ayam ini mau bawa untuk keponakan atau menantu) ?”tanya saya tanpa basa-basi. “Karena ngaza mo tau tu’a ga’e, ma’e ngasi, uzu nga’o ne ne’e calon da Ma’u (kalau untuk menantu, maaf, karena saya sudah punya calon orang dari Nangaroro),”jelas saya. Dengan pandainya tanta mengatakan bahwa beliau membawa ayam itu sebagai tanda penyambutan kedatangan saya sebagai keponakan. Mungkin tanta agak tersinggung dengan pernyataan tadi tetapi saya harus berterus terang agar mereka mengerti bahwa saya sudah tahu rencana mereka. Saya pun menikmati daging ayam itu dengan perasaan senang, maklum di Yogya tidak pernah makan daging ayam kampung. Sambil makan daging ayam pemberian tanta Sofi, dengan tegas saya menjelaskan hubungan saya dengan Abang Nus pada bapak dan mama. Bapak tenang saja mendengarnya tetapi saya lihat raut wajahnya berubah. Mama pura-pura menikmati makanan dengan semangat. “Saya tidak menolak perjodohan bapak dan mama jika saja saya belum punya pacar. Tetapi perlu bapak dan mama tahu bahwa saya sangat menyesal dengan rencana ini karena sebagai orang mengerti mengapa bapak dan mama ikut mengembangkan budaya seperti zaman Siti Nurbaya ?”jelas saya. “Sudah berapa ekor kerbau atau sapi atau ayam yang mereka bawa untuk kita ?” tanya saya. “Atau jangan-jangan kalau ada acara keluarga mereka bawa-bawa dengan maksud untuk mengikat saya dan Victor ?”lanjut saya. “Mereka belum pernah bawa apa-apa atas nama perjodohan ini, hanya sebagai ana weta nara (anak saudara dan saudari) kalau ada acara pasti mereka membawa sesuatu,” jelas bapak. “Aduh, saya selalu bilang bahwa anak saya masih sekolah. Kalau kalian mau dengan anak saya ya harus sekolah tinggi seperti anak saya,” kata mama dengan bangga dan percaya diri (biasa, mama selalu semangat kalau bicara soal anak sekolah). “Nah, sekarang anak mereka sudah sarjana juga. Apa jawaban mama kalau mereka sekarang sudah memenuhi keinginan mama ?” balas saya. “Oh, saya akan bilang bahwa tadinya merencanakan begitu, tetapi ternyata sekarang anak saya sudah punya pilihan sendiri, kita harus menghargai pilihan mereka. Lagipula mereka harus bersyukur bahwa dengan demikian anaknya bisa disekolahkan sampai sarjana to,” jawab mama membela diri. “Okelah, tetapi saya ingin tahu juga, sebetulnya sejak kapan bapak dan mama juga keluarga mereka merencanakan ini semua ?” tanyaku. “Ine, sejak kau masih kecil itu, Kae Meka sebelum meninggal berpesan kepada bapak agar salah satu dari kedua anak perempuan bapak dijodohkan dengan salah seorang anak laki-lakinya Mama Sofi dan Bapak Markus,” jelas bapak dengan wajah yang penuh belas kasihan. Aku jadi iba melihat bapak dan mama seperti di depan pengadilan, padahal hanya di depan anak gadisnya sendiri. Kami sudah selesai makan. Kami sepakat melanjutkan setelah membereskan piring kotor dan lainnya.

Di ruang tamu sekaligus ruang keluarga (maklum rumah dinas guru hanya satu ruangan yang besar), kami lanjutkan pembicaraan. Hanya kami bertiga, karena di rumah memang hanya kami bertiga. Bapak menjelaskan panjang lebar tentang hal ihwal perjodohan itu, saya mendengar dengan seksama. Mama mendengar dengan wajah yang tidak puas, entah tidak puas karena penolakan saya atau tidak puas karena terpaksa menyetujui ide gila seperti itu saya tak tahu. “Ine, akhir dari semuanya memang kau yang menentukan, tetapi sebagai orang tua yang meski berpendidikan namun masih memegang adat, kami berkewajiban melaksanakan permintaan almarhum. Tetapi ternyata kalian tidak berjodoh, ya kami tidak memaksa,” kata bapak dengan nada haru. “Bapak dan mama tidak tergiur dengan kerbau, sapi, kuda mereka,” goda saya. “Ine, daripada kau nanti hidup tersiksa, jangan buat susah hidupmu,” tambah mama dengan penuh kearifan.

Malam itu kami sepakat juga, urusan perjodohan tidak dilanjutkan lagi. Saya tetap dengan pendirian saya, pilihan saya, Abang Nus yang tercinta di Yogya. Saya merasa lega, tetapi tidak demikian dengan bapak dan mama. Ternyata mereka belum ikhlas dengan pernyataan mereka, mungkin karena berhubungan dengan adat. Saya segera angkat kaki, tak sanggup saya melihat wajah mereka yang seperti memohon belas kasihan. Di satu sisi saya merasa berdosa dengan bapak dan mama karena menolak perjodohan ini, tetapi di sisi lain saya harus memperjuangkan cinta pada pacar saya, pilihan hati saya. Saya putuskan untuk segera kembali ke Yogya meskipun waktu liburan belum habis.

Malam setelah menulis separuh cerita di atas, saya bermimpi buruk sekali, saya mendapat SMS melalui HP teman guru yang bunyinya “Bapak Theodorus Samu sudah berpulang untuk selama-lamanya.” Saya terbangun langsung memeluk suami saya karena ketakutan sambil bercerita tentang mimpi tersebut. Kata suami saya menghibur bahwa itu tandanya bapak kita panjang umur. Itu yang saya harapkan dalam setiap doa-doa saya.

Saya lalu teringat saat bapak dan mama ke Jakarta, kami ajak mereka keliling Monas, Lubang Buaya, TMII. Mereka kelihatan bahagia sekali, karena akhirnya bisa sampai di tempat-tempat yang dulunya hanya ada dalam buku-buku yang diajarkan kepada kami. Setiap tempat yang dikunjungi saya sempatkan mengabadikan mereka berdua. Mereka sangat menikmati perjalanan keliling Jakarta. Satu cita-cita saya lagi, mengajak mereka naik pesawat terbang, karena baru kami anak-anaknya yang menikmati penerbangan.

Tahun 2006 bapak dan mama ke Jakarta lagi, dan kali ini mereka naik pesawat. Cita-cita saya tercapai. Kami ramai-ramai ke Yogya, wisuda adik yang bungsu. Mereka bahagia karena ketiga anaknya sudah lulus sarjana.

Tentang perjodohan saya akhirnya memang tinggal cerita karena cinta saya sudah tertambat pada Abang Nus yang kini menemani hari-hari indah dalam hidup saya. Kak Victor yang dijodohkan dengan saya itu juga sekarang guru yang mengajar di Maurole Ende, dan sudah menikah dengan gadis pilihannya asal Sabu, teman gurunya juga. Dulu sewaktu di Yogya, dia pernah menelpon saya dan meminta maaf atas perjodohan itu karena dia juga sebetulnya kurang setuju dengan cara seperti itu. Dia pernah mengirimkan saya hadiah ulang tahun tetapi pesannya bahwa itu sebagai tanda persaudaraan, bukan karena perjodohan. Kami memang menghabiskan masa kecil bersama-sama karena sejak SD dia ikut tinggal bersama keluarga saya. Kami adalah saudara., sama-sama mendapat pasangan guru. Lagi-lagi dalam lingkaran keluarga GURU.

Rabu, 03 Desember 2008

COBEK dan CTM

Setiap rumah tangga pasti memiliki benda yang namanya COBEK atau batu ulekan. Nah, saya punya pengalaman yang tak pernah terlupakan seputar benda itu.

Waktu saya KKN tahun 1994, di dusun Tunjungan daerah Kulon Progo selama dua bulan, susah senang dijalani bersama enam orang teman sekelompok di bawah satu atap dan satu dapur. Kami tinggal di rumah Pak Kadus (Kepala Dusun). Minggu pertama urusan dapur ditangani Bu Kadus. Namun melihat kesibukan ibu yang setiap pagi harus berjualan ke pasar, kami lalu sadar diri dan berinisiatif untuk memasak sendiri. Kebetulan ada empat cewek dalam kelompok kami.

Demi urusan ruang tengah ini, kami berempat mulai unjuk kebolehan masing-masing. Yuyun dengan sop cakar ayamnya, Rini dengan sayur brongkosnya, Tutik dengan sayur bayam beningnya, dan saya dengan tumis sawi hijau. Sedangkan tiga saudara kami, Iwan, Santo, dan Sugi urusan menimba air.

Suatu sore ada ayam Pak Kadus yang ‘klenger’ gara-gara obat CTM yang memang sengaja kami siram dalam sisa-sisa nasi di kandang ayam. Dengan hasil percobaan itu kami pasti dapat menikmati lezatnya daging ayam kampung. Habis, sudah hampir tiga minggu, hari-hari tempe bacem melulu (Bu kadus kan jualan tempe juga). Bosanlah ! Dengan tanpa merasa berdosa dan pura-pura sedih, saya ikut menyaksikan penderitaan ‘calon lauk’ kami itu menggelepar bersama Bu Kadus. “Yo wis Mbak, kalo gak berbahaya dan bisa dimakan, potong aja,” kata Bu Kadus dengan wajah pasrah. Asyik !

Dengan bersorak-sorai dalam hati saya menyiapkan bumbu-bumbunya. Merica, bawang putih, lengkuas, jahe, serai, garam, kunyit, kemiri, semuanya dihaluskan. Saking semangatnya menumbuk lengkuas yang keras, astaganaga … cobeknya pecah terbelah dua. Sialnya lagi, ada Pak Kadus berdiri di samping saya. Aduh malunya …! Kemarin, di depan Pak Kadus juga tungku api pecah saat saya sedang mengaduk-aduk nasi. Tapi semuanya asli, tanpa sengaja lho. Spontan saya menjerit. Jeritan itu justru mengundang kedatangan Bu Kadus yang sedang membersihkan daun pisang untuk membungkus tempe.
“Asyik … nanti nonton gratis Mbak Flores lari keliling rumah tujuh kali gak pake baju !” teriak Bu Kadus. Hah, berarti bugil dong. Pak Kadus ikut manas-manasin dan teman-teman pun ikutan tepuk tangan. Terus terang saya gugup dan agak pucat juga. Bayangin bugil lalu lari keliling rumah tujuh kali, alamak…! Melihat kegugupan saya, Pak Kadus lalu menjelaskan bahwa menurut adat Jawa memang mesti demikian kalau seseorang memecahkan batu ulekan / cobek, hukumannya seperti itu. Masya ampiun...

Saya lalu teringat akan lauk kami yang belum dimasak, buru-buru memotong lanjutan cerita (yang penting udah tahu gak jadi bugil) dan segera memasak. Malam itu kami makan dengan penuh sukacita sambil berencana untuk dua hari mendatang, siram CTM lagi ah ... Korban terus berjatuhan tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu Kadus sampai kami selesai KKN. Sorry, Pak dan Bu Kadus !

Selasa, 25 November 2008

AKU : Pian da Gomez

”Kalau Bapak tahu merokok itu tidak baik, Bapak jangan merokok to, supaya saya juga tidak merokok.”

Menegur dan melarang itu lebih mudah daripada memberi contoh. Itu yang aku rasakan. Aku terlahir sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara. Bapakku PNS dan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kata orang-orang, ‘bakat’ nakalku sudah kelihatan sejak kecil. Dengan kakak laki-laki yang tertua, kami selalu kompak. Dalam kegiatan apa pun, dia otaknya, dan aku pelakunya. Asal tahu saja, di mana-mana, dalam kasus apa pun, pasti pelakunyalah yang selalu kebagian sialnya. Itulah yang aku alami. Nasib…nasib !

Bapak sangat keras dalam mendidik kami. Beliau sepertinya benar-benar melaksanakan apa yang tertulis dalam Amsal 19 :18, “Hajarlah anakmu selama ada harapan,tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.” Akulah yang selalu menjadi sasaran, sampai-sampai aku pernah berpikir, jangan-jangan aku bukan anak kandung mereka. Mama meski kadang-kadang mengompori Bapak yang sedang memarahiku, tetapi diam-diam beliau menangisi nasibku.

“Pian, kau merokok ko ?” tanya Bapak.

“Eee, siapa yang rokok la,” jawabku berkelit.

“Lalu puntung rokok yang barusan Bapak lihat di kamar mandi setelah kau keluar itu siapa punya ?”

Aku kaget setengah mati. Betapa bodohnya diriku menjawab tidak, sementara Bapak baru menemukan puntung rokok dan mencium bau rokok di kamar mandi persis setelah aku keluar. Alamak ! Akhirnya dengan sedikit malu dan ketakutan aku pun mengakui, dengan harapan jika mengakui begitu tidak bakal dihajar. Rupanya dugaanku meleset. Aku dihajar. Mama membela tapi Bapak tetap dengan gaya otoriternya, menganggap dirinya paling berkuasa sejagat.

“Pian, kau masih kecil lo’o sudah merokok. Macam kek kau sudah punya doi ee… ”

Kalimat itu tersimpan dalam-dalam di otakku. Itu artinya jika suatu saat aku sudah punya uang sendiri, boleh dong merokok, pikirku.

Di SMA, sekeluarnya dari seminari Mataloko, aku mencoba bekerja, membantu orang di bengkel sepulang sekolah. Uang yang kudapat untuk apa lagi kalau bukan untuk beli rokok dan minum dengan teman-teman. Aku mau buktikan bahwa setelah punya uang sendiri aku boleh merokok, karena bukan anak kecil lagi. Sepulang sekolah jalan-jalan bersama teman, merokok dengan bebas. Aku pikir jika merokok sambil nongkrong di pasar pasti tidak bakal ketahuan Bapak, karena sepanjang hidupku aku tahu Bapak itu tidak pernah mau ke pasar. Rupanya hari itu sial bagiku. Sedang asyik-asyiknya merokok, Bapak lewat dan melihat jelas gayaku merokok. Aku diam seribu bahasa dan sangat gugup. Mati aku !

Sepulang ke rumah aku masih diam sambil menanti saat ‘diadili’ Bapak. Mungkin terlalu sibuk, beliau lupa. Aku bisa bersorak malam itu. Esoknya juga belum dipanggil. Nah, malam berikutnya kami diabsen satu-persatu sambil menyindir.

“Bagus e, sudah besar o sekarang, sudah ada doi sendiri, sudah bisa beli rokok. Hebat sekali saya pu anak,” kata Bapak dengan nada yang sangat tidak enak didengar.

“Eh, jangan hanya omong anak, lihat diri sendiri dulu tuh,” timpal Mama membelaku.

Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba aku tantang Bapak. “Kalau Bapak merasa merokok itu tidak baik, Bapak jangan rokok to, supaya saya juga tidak rokok.”

Bapak kaget, terpana, dan langsung diam.

“Lihat, itu anak su pintar. Jangan lagi hanya tahu larang anak. Bapak juga kasih teladan to,” Mama mengingatkan Bapak yang terdiam bisu sejak tadi.

Perkara kami pun selesai tanpa hajaran dan kekerasan fisik. Lalu beberapa bulan kemudian di tengah malam, ‘tok,tok,tok’ suara ketukan di pintu kamarku.

“Masuk sajalah …,” jawabku.

“Walah Pian, minta satu batang la…” bisik seseorang dari balik pintu kamarku. Aku tahu itu suara Bapak.

“Sei kena ?” tanyaku berpura-pura.

“Ale, kau terlalu la. Ini kau pu Bapak la…!” bisiknya.

Hahaha… akhirnya kami jadi ‘teman’ dalam menikmati asyiknya merokok. Bapak tidak pernah marah lagi soal rokok karena selain aku sudah bisa beli dengan uang sendiri, Bapak juga bisa minta jatahnya. Tetapi soal kenakalan yang lain, dan urusan kayu bakar, Bapak masih tetap galak. Setiap sore kami harus mencari kayu bakar. Kadang aku pikir orang tuaku seperti zaman VOC, kerja paksa. Kalau kayu bakar di dapur sudah habis, Mama akan ‘memerintah’ dengan halus melalui keluhan.

“Ole, malam ini kita tidak bias makan le. Mau masak pake apa, tidak ada kayu bakar satu batang pun,” kata Mama.

“Pian, dengar tidak apa yang kau pu Mama bilang ?” teriak Bapak sambil menurunkan kacamatanya.

Tanpa bantahan, aku langsung pergi cari kayu bakar. Itu rutinitas sejak SD hingga SMA. Sempat bebas satu tahun ketika aku sekolah di seminari. Tapi karena aku memang berjodoh dengan urusan kayu bakar sehingga hanya bertahan satu tahun di seminari, kembalilah aku ke alam yang penuh derita. Nasib !

Dalam keluarga aku merasa dirikulah yang paling sial, yang selalu dijadikan kambing hitam. Kulitku memang hitam, dan ternyata hitam pula citraku. Itulah aku, PIAN da GOMEZ.

Kini, setelah aku dewasa dan mulai tua, aku sadar bahwa semua yang pernah aku alami menjadi kenangan yang paling kejam dalam hidupku. Lho kok ? Niatku, aku ingin menjadi orang baik, hidup bahagia bersama istriku Ida yang ayu, dan biarlah anak-anakku nanti tidak mewarisi luka batinku. Tapi… kapan aku menikah ? May…

Cerita ini dari kisah hidup Saudaraku Pian da Gomez yang diceritanya dalam perjalanan dari Purwakarta, Sabtu, 28 Januari 2006, pulang dari acara ijab kabul Sumir dan Triyani.

KARTINI Sweet Memory

50 tahun sudah usiamu. Bak seorang oma yang sedang menikmati masa pensiun sambil menghabiskan hari-hari bersama para cucu, kini SMPK KARTINI pun memiliki ribuan anak cucu yang sudah tersebar di berbagai daerah. Untuk mengenang kembali masa-masa indah selama menimba ilmu di almamater, saya mempersembahkan tulisan ini untuk para alumni KARTINI. Masa yang paling berbahagia yang pernah saya rasakan adalah semua yang terjadi dan yang saya alami selama di SMPK KARTINI.
Tulisan ini sebetulnya sudah pernah dimuat di mingguan DIAN saat SMPK KARTINI merayakan pesta pancawindu dan reuni tahun 1994. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada almamater, kini saya merevisi lagi sebagai kado ulang tahun ke-50 SMPK KARTINI. Terima kasih banyak kepada Tuhan YME atas pimpinan dan berkatnya sehingga saya bisa mengingat kembali semuanya ini untuk ditulis lagi. Juga untuk kedua orang tua saya (Bapa Guru Theodorus Samu dan Mama Ross da Lima Sina di Mbay) yang sudah menyekolahkan saya di SMPK KARTINI. Mama saya juga dulu sekolah di Kartini.. Untuk suami saya tercinta Vitalis da Pessa yang sudah mendukung saya untuk menulis lagi cerita ini. Mamanya juga dulu di asrama susteran Kartini. Untuk semuanya yang saya sebutkan namanya dalam tulisan ini, thanxz banget karena kalianlah yang bikin cerita saya jadi hidup.
Mohon maaf bila ada kata yang menyinggung perasaan pembaca, terutama para suster dan bapak ibu guru yang saya nilai galak. Semuanya jadi indah dalam kenangan saya. Terima kasih untuk semuanya. Peace n Luv…

Tentang Sekolah …
KARTINI, pahlawan wanita, tokoh emansipasi. Semua mengetahui sejarahnya, semua menghafal lagunya ;“. . . pendekar bangsa, pendekar kaumnya . . .. . . harum namanya . . .”

SMPK KARTINI. Sangat terkenal dan populer di daerah Nusa Tenggara Timur. Sebuah sekolah khusus wanita yang bernapaskan Katolik. Gedung tua peninggalan para biarawati ‘londo’ yang mengabdikan diri bagi perkembangan dan kemajuan gereja serta pendidikan Katolik di Flores. Terletak dalam sebuah kompleks yang cukup luas, dan aman, di bawah naungan Yayasan St. Gabriel, asuhan para Susteran SSpS di Mataloko yang berhawa sejuk nan romantis.
Tahun 1983 saya mengikuti tes masuk dan dinyatakan “diterima” menjadi salah satu siswi SMPK Kartini. Bahagia sudah pasti, bangga apalagi, berhasil masuk sekolah favorit dan terkenal seperti Kartini. Puji Tuhan dan terima kasih kepada orang tua saya yang mau menyekolahkan saya di sekolah Kartini yang saat itu biayanya sudah mahal, terutama dengan fasilitas asrama yang bagus, lingkungan yang aman, dan disiplin

Tentang Guru-guruku . . .(Pahlawan Tanpa Tanda Jasa)

Saya duduk di kelas I A. Teman-teman saya berasal dari berbagai daerah di kabupaten Ngada. Wali kelas saya Ibu Klara Anu sekaligus guru Bahasa Indonesia. Gaya mengajar beliau menarik sekali, dengan gerakan tangan yang khas seperti mengipas sate, apalagi saat menjelaskan tentang majas hiperbola. Saya perlu mengabsen para guruku dulu. Ibu Monika Leke yang pendek, kriting, dan suaranya melengking, asal Jerebu’u, mengajar Biologi. Teriakan maut beliau semakin keras jika mengingatkan siswi-siswi yang nilai ulangannya merah. Bapak Darius Laga dari Mauponggo yang jadi ganteng sendiri karena terpujilah dia di antara wanita, mengajar Olah Raga. Jika diingat-ingat lagi stylenya Bapak yang satu ini, saya baru sadar bahwa guru olah raga paling aneh adalah beliau. Lulusan SMEA mengajar olah raga,dan setiap pelajaran praktek beliau memakai sepatu yang ujungnya runcing seperti sepatu Abunawas. Tapi kami bangga dengan keseriusan beliau mengabdikan diri di antara wanita. Paling sering (puas) menghukum saya dan Anas Puran berlutut di pojok kiri kanan kelas dekat tempat sampah. Saat saya sedang mengetik tentang Pak Darius, ada SMS dari Abang Marsel Lewa di Serang kabari bahwa Suster Roslin ada di rumahnya, mau ke Philipina. Nah, Suster Roslin ini dulu pacarnya Pak Darius waktu sekolah di Ende. Mereka sekampung dari Pusu. Saya ingat benar saat Pak Darius menyobek kertas ulangannya Merlin Bhari dengan penuh kesal, padahal kami semua tahu Merlin tak pernah bermasalah dengan beliau. Setelah diricek, ternyata beliau jengkel melihat Merlin ngobrol dengan Udis Aso, dan saat yang sama beliau sedang putus cinta dengan Suster Roslin yang kebetulan adalah kakak sepupunya Merlin. Guru PMP dan Sejarah, Ibu Brigita Rio. Gadis Riung ini sangat tegas dan galak sekali. Rambut selalu dipintal, penampilan rapi, baju kesayangannya blus warna pink lengan panjang dan rok biru sebetis. Guru paling galak yang saya jumpai di SMP. Kata-katanya pedas, dalam, dan nancap. Belum lagi soal ulangan, hampir seluruh isi buku jadi jawabannya. Makanya buku ulangan Sejarah dan PMP paling cepat diganti. Lima soal, tapi dari A sampai Z. Gila ! Kalau dapat nilai 6 saja sudah merasa bahagia sekali, apalagi 7 ke atas. Guru paling sedikit penggemar, tapi paling banyak dirumpiin. Sulit sekali memberi pujian pada murid, senyumnya pun tidak tulus. Paling suka menyindir. Jangan pernah salah menulis Bergita, beliau bisa marah besar. Harus ditulis benar, Brigita. Nasihatnya yang tak pernah saya lupakan, “Dunia akan menangis tersedu-sedu sepanjang masa bila seorang wanita jatuh, tetapi tetap terbahak-bahak walau seribu lelaki yang rusak.” Akhirnya ‘jatuh hati’ dan menjalin kasih dengan Bapak Darius Laga, disatukan dalam ikatan perkawinan. Rupanya mereka berjodoh ! Guru Geometri, Ibu Bibiana Padha. Siapa bilang guru matematika pasti killer dan dibenci murid ? Wow, sebaliknya dengan ibu guru asal Boawae ini. Kami sangat dekat dengan beliau karena keramahan beliau, dan sifat keibuan serta lemah lembutnya, juga penuh pengertian. Saya pernah berpikir, jika suatu saat menjadi guru, saya ingin seperti beliau. Kami merasa kehilangan tanpa kehadiran Ibu Bibi dalam sehari. Setiap istirahat pasti beliau dikerumuni anak-anak sambil bersenda gurau. Kalau ada teacher award saat itu, beliaulah idola kami. Ibu Maria Dhiu, guru Aljabar dan Aritmatika. Ini guru paling gaul dan heboh meskipun usia paling tua. Suasana kelas jadi seru walaupun belajar hitungan di siang bolong. Mungkin karena beliau adalah juga kepala TK sehingga bawaannya selalu ceria sepanjang hari seperti Peggy Melati Sukma, harum mewangi sepanjang hari. Meskipun bodynya jumbo tetapi energik dan lincah. Ibu Fransiska Rupak, Du’a bunga dari Maumere ini guru Kesenian yang paling cuek dan agak malas. Sering terlambat masuk kelas dengan alasan masih mengajar di SD belakang Kartini. Karena pacar dengan Om saya, beliau menyuruh saya menulis rapor muridnya di SD. Kebetulan tulisan saya lebih bagus dari beliau. Hahaha.. sorry banget Bu, ini semua nostalgia. Beliau menggantikan Bapak Silvester Dopo yang entah pindah ke mana waktu itu. Saya ingat Pak Sil melatih kami membentuk konfigurasi SMPK Kartini di lapangan tengah. Semua anak terlibat. Seru dan menyenangkan sekali. Suster Yosephine SSpS, guru PKK dan ibu asrama kami. Beliau juga adalah penasihat dan pembimbing bagi para siswi yang sudah mulai mengalami menstruasi. Dengan penuh kesabaran beliau mengajarkan bagaimana cara memakai pembalut. Ibu Bernadetha Wea, guru Bahasa Inggris yang baru lulus dari Undana Kupang ini cantik sekali. Kalau menyanyi syair lagunya Iwan Fals, “. . . guru Sirah bodi montok . . .” , saya terbayang Ibu Deth. Putih mulus, cantik, dan sexy, bikin mata segar kalau mengikuti pelajaran beliau. Dandanannya sederhana dan serasi sehingga enak dilihat. Meski sama-sama wanita tetapi kalau pemandangannya indah kan asyik juga, tidak bosan. Ada guru baru produk Jawa, namanya Bapak Bambang Kuswo asal Purwodadi, mengajar Aritmatika dan Menggambar. Tulisan beliau bagus sekali dan indah. Hanya anehnya, PR Aritmatika tidak pernah diperiksa atau dibahas. Kami sih senang-senang saja. Saya paling suka menggambar sehingga ‘tidak tega’ menyakiti hati Pak Bambang. Bapak Ignatius Sunar, guru Ekonomi dan Tata Buku, asal Klaten Jawa Tengah, menggantikan Bapak Petrus Mame Rabha yang menjadi pegawai tetap di Bajawa. Pak Sunar punya talenta di bidang seni tari, tetapi bicaranya kurang jelas. Aksen Jawanya yang kental membuat kami kadang bingung dan terbengong-bengong. Bapak Simon Ola Masan, guru Biologi pengganti Ibu Monika yang menjadi PNS dan ditempatkan di SMP Were. Bapak yang berkaca mata tebal ini asal Nagi, dan sangat berwibawa. Tampangnya agak seram tapi hatinya baik. Pegawai Tata Usaha kami Kakak Yuliana Ngora. Meskipun bekerja sendirian tetapi tak pernah mengeluh. Baik, rajin, dan teliti. Diomeli kepala sekolah pun tetap sabar. Dan yang tak mungkin terlupakan, Suster Pauly,SSps , sang Kepala Sekolah. Kecil mungil, pendek, tetapi galaknya seng ada lawan. Dengan logat Manggarai yang kental, selalu memulai omelannya dengan kata “potiwolo”. Kebiasaan beliau yang membekas di hati semua siswi Kartini saat itu adalah ‘kerajinan tangannya’ menarik kuping. Kalau saja kuping hanya di-lem/tempel saja, sudah berapa puluh, bahkan berapa ratus kuping yang terlepas. Tidak sedikit siswi yang merasa sakit hati atau mungkin juga dendam bila mengingat kebiasaan buruk sang kepala sekolah ini. Teman saya Ancella Wona, bahkan hingga kuliah di Yogya tak mau bersalaman dengan beliau ketika bertemu di gereja. Itulah para guru dan kepala sekolah saya, dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka telah menjadikan semuanya jadi indah untuk dikenang.“ Trima kasihku… kuucapkan, pada guruku yang tulus…”

Tentang Asrama …

Di asrama yang persis bersebelahan dengan sekolah, kami hidup sebagai satu saudara, senasib dan seperjuangan di bawah satu atap, dengan ibu asrama yang sabar dan perhatian, Suster Yosephina. Kadang-kadang keras supaya kami disiplin, kadang-kadang galak supaya kami patuh dan tidak bandel, tetapi selalu penuh kasih dan kelembutan agar kami merasa betah dan damai seperti dengan orang tua di rumah. Memang susah menjadi seorang ibu bagi seratus lima puluhan anak dengan bermacam-macam karakter dan keunikannya masing-masing.

Bangun pagi jam 05.00. Udara Mataloko yang sangat dingin itu membuat kami kebal. Meski dengan ‘amat sangat’ terpaksa, setiap pagi buta kami harus ke gereja yang berjarak sekitar 300 meter dari asrama. Ada kapel suster tetapi tidak bisa menampung semua siswi Kartini. Yang boleh mengikuti misa di kapel suster hanya Ancella Wona, dan yang bertugas menyiapkan sarapan, karena harus membantu kakak-kakak KRT menyendok nasi jagung dari dandang sebesar drum untuk dibagi ke tempat nasi setiap meja. Kabut tebal, embun dingin, tidak peduli. Harus ! Ya, harus ke gereja, kecuali yang sakit dan yang non Katolik. Religius sekali !

Pulang dari gereja langsung ke kamar makan, menikmati hidangan istimewa, nasi jagung dan sup kacang buncis tanpa lauk. Kadang-kadang sup buncisnya dicampur tetelan daging uap yang sisa dari lauk para suster. Kami menikmatinya dengan sukacita. Mau protes ? Namanya juga hidup di asrama, ya identik dengan bersusah-susah dahulu. Apapun yang disiapkan oleh suster semuanya harus diterima dengan senang. Suasana makan ‘dimeriahkan’ oleh berbagai pengumuman untuk kegiatan sehari. Pernah juga terjadi insiden saat makan pagi, dipimpin oleh Kak Linda Benda (ketua OSIS), kami ramai-ramai demo karena nasi mentah. Sudah makannya nasi jagung, mentah pula. Untung Muder segera menenangkan sehingga tidak berkepanjangan.

Pukul 07.00 bel sekolah berbunyi. Pintu asrama dikunci oleh ibu asrama, semua menuju lapangan untuk senam pagi, lalu doa bersama, kemudian berbaris masuk ke kelas masing-masing dengan tertib. Selamat belajar anak-anak manis ! Selama jam sekolah tidak satu pun yang masuk ke kamar, kecuali yang tiba-tiba sakit atau menstruasi. Kunci pintu asrama dipegang oleh suster, sehingga tanpa seizin beliau tak boleh satu pun yang masuk kamar. Siswi yang sakit, jam 09.00 wajib ke poliklinik untuk berobat. Dengan demikian tidak ada istilah ‘pura-pura sakit’ karena takut dengan kewajiban tersebut.

Selama enam jam (waktu sekolah), kompleks sekolah dan asrama sangat sepi. Sayup-sayup hanya suara mesin las dari bengkel SVD yang terdengar, atau bunyi kendaraan yang masuk mengantar kiriman anak-anak asrama dari orang tuanya. Benar-benar situasi belajar yang ideal dan pantas didambakan oleh semua orang tua untuk putri-putrinya. Mau masuk kamar tidur selama jam sekolah tanpa ketahuan suster ? Gampang ! Lewat jendela pojok asrama ibu guru, kami dapat melompat dengan lincah karena posisinya yang agak rendah. Tapi bukan tanpa resiko, jika kedengaran suara mencurigakan, pasti ketahuan ibu asrama dan kepala sekolah yang kamarnya persis bersebelahan dengan kamar tidur kami. Selamatlah kalau beliau berdua sedang tidak masuk kamar dan mendengar bunyi lompatan. Jika lagi apes memang berat hukumannya.

Saat istirahat, kantin KRT dipenuhi para siswi. Sebutan KRT itu untuk kakak-kakak yang mengikuti kursus Ketrampilan Rumah Tangga dan sekaligus membantu para suster. Biasanya setelah lulus dari kursus KRT, mereka menjadi ‘rebutan’ para pemuda kampung masing-masing karena menganggap gadis-gadis ini sudah mahir memasak, menjahit, mencuci, menyetrika, siap menjadi ibu rumah tangga dan istri sejati. Di kantin itu tersedia bermacam-macam kue, juga es. Walau udaranya dingin tapi kami suka juga makan es. Ada juga ‘pasar kaget’ yang penjualnya adalah ‘uge-uge’ dari kampung sekitar asrama. Mereka menjual buah-buahan seperti alpukat, terung belanda, tomat, jeruk. Kami suka makan alpukat dicampur nasi jagung. Saat itu rasanya nikmat sekali. Ya, tak ada lauk alpukat pun jadi. Setiap awal bulan ada penukaran koin untuk jajan. Mobil BRI datang dan para siswi beramai-ramai menukar koin. Hal ini memudahkan transaksi jual beli di kantin yang harganya rata-rata Rp 50,00 – Rp 100,00

Pukul 13.40 WITA (kalau saya tak salah ingat), sekolah usai. Aturan lagi : tidak boleh ke mana-mana, langsung ke kamar makan, antri cuci tangan, ambil peralatan makan di rak masing-masing, lalu makan. Makan siang sudah ditakar di tempat nasi untuk enam orang semeja. Sayurannya pucuk labu ditumis tanpa bumbu lain, hanya garam. Kadang sawi yang daunnya sudah berlubang-lubang dimakan ulat. Lauknya ? Semuanya ada jadwal, hanya hari Selasa, Kamis, dan Minggu. Itu pun hanya ikan kering yang sudah lama menghuni gudang asrama. Dari bentuk dan aromanya sudah kelihatan lapuk dan kadaluwarsa. Tapi apa hendak dikata, itu saja yang didapat dan bisa dinikmati. Anehnya para orang tua, jika kami mengadu keadaan seperti itu mereka malah menasihati, “Anak, yang namanya tinggal di asrama memang begitu.” Kalah deh, seolah-olah para orang tua membenarkan kesalahan aturan gizi di asrama. Mereka terlalu yakin bahwa semua yang diberikan oleh para suster pasti yang terbaik buat kami. Orang tua tak pernah membela kami yang mengadu bahwa di dalam sayuran kami ada lintah atau ‘lema la’, atau setiap hari makan nasi jagung. Lagi-lagi dibilang siapa suruh masuk asrama ? Mau sendiri to !

Acara makan siang diselingi berbagai pengumuman yang seperti ‘litania’ hukuman bagi pelanggarnya. Ada yang lalai mengangkat jemuran, yang malas mencuci pakaian atau menumpuk-numpuk pakaian kotor di kamar mandi, yang ribut di kamar tidur, yang tidak mengikuti doa bersama, yang tidak ke gereja pagi, yang tidak melaksanakan tugas sore dengan serius, yang mencuri buah-buahan di kebun atau di kamar es, ah … banyaklah… (oya, susteran memiliki sebuah ruangan pendingin yang biasa disebut kamar es, tempat menyimpan semua persediaan makanan, daging, buah-buahan). Semua ‘dosa’ atau pelanggaran itu ditebus dengan hukuman tidak tidur siang, tapi mengangkut pupuk (kotoran) dari kandang babi dan ayam di belakang asrama ke kebun. Saya sering mendapat ‘kehormatan’ itu karena ribut di kamar tidur sehingga lama-lama menjadi kebal, dan rasa-rasanya lebih baik menjalankan ‘tugas mulia’ tersebut, daripada mendekam di kamar dan tidak bisa tidur. Hitung-hitung cuci matalah, lihat keramaian di jalanan. Kami seasrama pernah dihukum tidur siang di lapangan basket gara-gara tidak ada yang mengaku buka pintu tanpa kunci sehingga suster marah besar. Sumpah mati bukan saya lho !

Pukul 15.00 bangun dan laksanakan tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh ketua asrama setiap awal semester. Selama satu semester (setengah tahun) menjalankan tugas ; menyiram bunga di taman depan kamar mandi, di gua Maria belakang asrama, di taman rumah payung, taman Suster Almira, taman tengah asrama, menyapu dan mengepel kelas (tiga kelas), kamar tidur asrama, kamar makan, kamar mandi, memotong sayur di dapur, mencetak hosti, membantu Suster Wendelina di kandang, dan yang paling tersiksa adalah membersihkan beras dan jagung di gudang. Bayangkan, selama enam bulan bergumul dengan debu dan kutu beras. Letaknya sih strategis, bisa melihat siswa seminari yang lewat mengantar pakaian kotor para pastor ke kamar cuci. Tapi pemandangan berdebunya itu yang merusak penampilan. Tempat kerja yang paling ditunggu-tunggu semua anak asrama adalah kebun belakang biara dan got belakang gudang kayu. Kedua lokasi ini dekat jalan umum sehingga bisa sedikit ‘ngeceng’ di luar melihat orang-orang lewat.

Pukul 16.00 waktu untuk mandi dan bersih-bersih. Semua anak dengan ember dan peralatan mandi, ramai-ramai di kamar mandi. Pukul 16.30 mulai belajar sore sampai pukul 17.30. Selama jam belajar suasana sepi dan hening walau tak ada guru yang mengawasi. Jadi guru di Kartini sebetulnya menyenangkan dan tidak makan hati lho, karena tidak pusing mengurus ketertiban siswi. Para siswi sudah dengan sendirinya tertib dan disiplin dari asrama. Bila mendengar bunyi kunci, itu tandanya Suster Pauly akan lewat dari kantor ke kamarnya. Suasana makin sepi seperti di kuburan. Tak ada yang berani keluar, kebelet pipis sekalipun. Kebiasaan sang kepala sekolah yang suka menggoyang-goyangkan kunci ini sebetulnya sangat membantu kami, sebagai alarm bahwa ‘malapetaka’ akan datang. Segala aktifitas yang mengundang kemarahan beliau segera dihentikan agar lolos dari panggilan ‘potiwolo’ dan tarikan mautnya memelintir kuping. Bila ada tamu pada jam belajar, apa pun alasannya kadang-kadang ditolak dengan tegas oleh suster mungil ini, kecuali kematian.

Pukul 18.00 wajib doa rosario bersama di gua Maria belakang asrama, tempat pemakaman para suster. Biasanya setengah jam sebelumnya kami isi dengan bermain basket. Itu olahraga favorit anak Kartini. Semua anak menyukai olahraga tersebut karena sekaligus ajang balas dendam. Sengaja melempar bola dengan keras ke arah musuhnya, atau sengaja mencakar saat merebut bola, atau sengaja menjegal kakinya saat lari, itu semua bentuk balas dendam terhadap musuhnya di asrama yang paling jitu. Basket jugalah yang mengharumkan nama tim Kartini dalam setiap pertandingan antar sekolah di kecamatan Golewa. Ada Efra Longa dan alm. Yeni Benda yang paling jago saat itu, juga Tevi Wea.

Pukul 18.30 makan malam. Bicara lagi soal menu rasanya bosan dan sakit hati. Kalau kebetulan mendapat kiriman lauk dari orang tua sih makannya lahap, tapi kan tidak setiap hari dikirimi lauk. Beruntung sekali saya semeja makan dengan Mien Lawi yang rumahnya di kampung Lio, belakang asrama. Dapurnya saja kelihatan dari gua Maria. Setiap sore mamanya mengirim sambal, kadang-kadang ikan goreng sehingga menu kami semeja makan agak beda dengan yang lain. Anak asrama semuanya jago makan sambal karena satu-satunya pemancing napsu makan adalah sambal. Ada menu makan malam yang agak aneh adalah ‘uta tabha’. Ini sejenis makanan khas dari daerah Mataloko, Mangulewa, Bajawa, yang bahan pokoknya dari jagung giling dicampur kacang-kacangan, dimasak seperti bubur dan asli tawar. Ini menu spesial di masa puasa yang salah satu pantangannya adalah garam. Mungkin dengan pertimbangan itulah muncul ide para suster untuk menyajikan ‘uta tabha’, sekaligus melestarikan masakan khas daerah Bajawa. Namanya juga asrama, tanpa kecuali, tanpa pilihan lain, kami menikmatinya dengan lahap walau terpaksa. Uta tabha menyatukan lidah dan rasa dari berbagai kalangan ekonomi dan latar belakang keluarga. Dari anak pejabat, pengusaha Cina, guru dan pegawai, sampai anak petani, semuanya sama…menikmati hidangan lezat tersebut dari suster tercinta. Kami memang dididik untuk menjadi orang yang kelak bisa hidup sederhana, prihatin, dan sabar. Sesudah makan setiap anak mencuci piring masing-masing, merapikannya di rak piring. Yang bertugas mengambil ‘kan’ air wajib menyiapkan minuman untuk setiap meja, lalu mengembalikan ‘kan-kan’ air itu di dapur. Berat ‘kan’ air dua kali lipat berat air sehingga harus diangkat oleh dua orang. Kami senang melakukan semuanya. Ya, belajar saling melayani sesama.

Pukul 19.15 hingga 20.30 belajar malam di kelas masing-masing. Suasana kembali sepi dan hening. Teringat pernah ada orang iseng melempar jendela kelas, semuanya lari…berebutan keluar dari kelas menuju kamar tidur. Akibatnya Lien Mitang sampai terkilir tangannya karena terinjak saat rebutan keluar kelas. Akhir dari semua kegiatan seharian ditutupi dengan doa malam bersama di kelas III yang ruangannya paling besar. Masih teringat lagu wajib setiap doa malam ;“Dalam untung malangku… Engkaulah harapanku…” Kini lagu itu menjadi lagu wajib juga dalam doa malam keluarga saya. Pujian malam yang sangat berkesan.

Pukul 21.00, dengan tenang dan tertib semua antri menunggu pintu kamar tidur dibuka ibu asrama. Seperti domba masuk ke kandangnya, satu-persatu menuju tempat tidur masing-masing tanpa suara (tidak boleh membawa buku pelajaran ke kamar tidur) lalu ke kamar mandi sikat gigi dan cuci kaki. Asrama sengaja tidak menyediakan kasur agar anak tidak manja, tetapi ada beberapa siswi yang membawa kasur dari rumah, termasuk saya. Selimut tebal, kaos kaki, dan baju hangat, itu perlengkapan tidur di asrama. Tempat tidur besi dan tingkat disiapkan asrama.

Pukul 21.30 semua lampu dimatikan oleh ibu asrama, diiringi doa “Roh Kudus Allah, semuanya karena cintaku pada-Mu. Amin.” Selamat tidur anak-anak manis, bermimpilah yang indah-indah. Itulah rutinitas kami di asrama, berlangsung dari tahun ke tahun, turun-temurun.

Hiburan ?? Asrama memiliki TV 27 inchi yang diletakkan di kamar makan sekaligus ruang rekreasi. Untuk menonton, tergantung ‘mood’ para susternya. Lebih sering TV nganggur, sekedar pajangan di kamar makan, dengan antena luar yang sangat tinggi, pertanda asrama Kartini memiliki benda berharga yang masih jarang dimiliki penduduk sekitarnya saat itu. Tidaklah heran jika pengetahuan umum kami saat itu sangat minim, karena jangankan koran yang susah didapat, TV di depan mata saja susah juga mendapat izinan untuk menonton. Saya yakin adik-adik yang sekarang pengetahuan umunya tidak ‘semiskin’ kami dulu. Ruang baca kami dulu hanya disediakan buku-buku cerita zaman bahoela, cerita santo-santa. Ada juga cerita populer, tapi sedikit. Saya suka membaca Petualangan 5 Sekawan karya Ennid Blyton.
Acara malam minggu : renungan kitab suci. Kadang-kadang nonton film, berkat kebaikan dan kemurahan hati Pater Zezlaus SVD, si pembawa Kabar Gembira. Filmnya asyik-asyik, pas buat usia ABG. Ada film barat, ada film-film komedi Indonesia. Pater Zez punya beberapa anak angkat, salah satunya teman saya Relly Wele dari Mangulewa. Terima kasih Pater Zez ! Minggu malam baru rekreasi bersama, menyanyi, menari, main kartu, ngerumpi, pokoknya bersenang-senanglah. Belajarnya sudah di pagi hari setelah dari gereja, dan sore hari sebelum makan malam.

Semua acara di asrama memang tergantung selera ibu asramanya. Lain orang, lain maunya. Setelah Suster Yosephina pindah ke Hokeng, ibu asrama diganti Suster Monika. Mirip dengan Suster Pauly, kecil mungil, pendek, tapi tidak galak. Rupanya mereka memang sekampung dari Manggarai. Suster Pauly melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, kepala sekolah diganti oleh Ibu Klara Anu. Suasana di sekolah jadi lebih asyik dan menyenangkan tanpa kehadiran Suster Pauly yang galak itu. Maaf ya Suster ! Sebagai ibu asrama merangkap ketua dapur, menu makan yang diatur oleh Suster Monika pun beda, sudah ada nilai gizinya. Beliau sangat perhatian, yang sakit disapa dengan lembut sambil memijit tangan atau kaki si sakit. Ini produk Manggarai yang eksklusif dibanding dengan mantan kepala sekolah kami. Boro-boro disayang-sayang, semua anak dipanggil potiwolo yang ternyata artinya setan dari gunung. Kira-kira dosa gak sih katain orang begitu ? Tapi karena beliau seorang pemimpin ya…manut sajalah. Oya, sebelum Suster Monika datang, ibu asrama sempat dijabat oleh Suster Paulista. Ini suster paling pilih kasih sehingga banyak siswi kurang suka. Saya termasuk yang dikasihi karena masih keluarga, tetapi pernah juga saya bermasalah dengan beliau. Gara-gara melawan, beliau mengadu ke Ibu Brigita yang waktu itu menjadi wali kelas saya. Habis deh, saya diomeli Ibu Gita sampai menangis tersedu-sedu lalu disuruh harus minta maaf pada Suster Paulista. Begitu saya ke kamar cuci tempat beliau bekerja, saya dipeluk dengan penuh kasih. Sejak itu kasih dan perhatiannya pada saya begitu besar. Ada juga kakak KRT yang baik sekali dengan saya, Kak Maria Na’u dan Kak Yasinta Meo.

Tentang Teman-teman …

Tadi cerita tentang sekolah,para guru dan para suster, dan asrama, sekarang saatnya saya mengabsen teman-teman, sahabat-sahabat, musuh-musuh, juga rival-rivalku semasa SMP. Halo semuanya… apa kabar ??Di asrama yang menampung sekitar 150-an siswi dari berbagai daerah membuat kita saling mengenal sifat dan tingkah laku. Ada yang pendiam, cerewet, munafik, bandel, ya…macam-macamlah. Teman-teman se-geng saya dulu ; Domitilla Fengi, Yohana Nelu, Siska Dhera, Onna Sakera, Im Nay Lado, Tevi Wea, Oce Go’o, di mana kalian berada sekarang ? Ada rindu untuk bertemu, bercerita lagi kisah-kisah gila kita dulu. Masih ingat waktu kita dirotani Suster Yosephina di gudang peti karena kita curi daging gorengnya Selly Mau dan Erry Edo ? Saat mengetik ini saya tertawa sendiri, membayangkan wajah kita meringis kesakitan melihat betis mulus jadi biru. Ternyata mamanya Selly Mau dan Erry Edo itu teman baik mama saya sejak di Kartini sampai di SGB Jopu. Masih ingat waktu kita rebutan beli pisang gorengnya Mien Lawi yang saya jual di kamar tidur saat lampu sudah dimatikan suster ? Lalu waktu kita sok jadi pendaki gunung, hari minggu ke Wolosasa gak jelas buat apa di sana, malah petik pisang di hutannya seminari ? Dan yang lebih seru saat kita bersaing menunjukkan surat-surat dari anak seminari. Kak Titus Puling bisa mengirim surat untuk beberapa orang, dan diam-diam kita menyimpan rasa yang sama buat dia. Sialan juga tuh orang, tapi sekarang sudah jadi pastor di Argentina. Pernah bertemu saya di Jakarta dan tanpa malu-malu dia cerita lagi pada suami saya. Ada lagi Tonny Retu si badung itu berapa kali mengirim surat untuk saya dan kalian ramai-ramai mengejek saya. Sebetulnya saya suka dengan badungnya Toni saat itu, keren…! Yang paling seru waktu saya terima surat dari Felix Djawa, dan Im terima surat dari Kak Yoseph Godho. Itu semua kenangan yang tak pernah terlupakan. Kapan ya kita bercerita lagi ???

Masih ada lagi teman-teman yang punya story lain yaitu Angela Wea, Merlyn Bhari, Vivi Mole, Udis Aso, Agus Milo, dan Eda Ngole. Kami dipercayakan untuk menjaga kamar Ibu Deth dan Ibu Gita saat beliau berdua penataran di Kupang dan Denpasar selama seminggu. Bukan hanya dengar lagu, tetapi tangan kami ‘rubu-raba’ di laci meja Ibu Gita dan menemukan catatan rahasia tentang hubungan cinta Ibu Gita dengan Pak Darius. Alamak, hal yang paling rahasia bagi Ibu Gita malah jadi ketahuan oleh kami bertujuh. Akibatnya ? Di rapor kami tertulis kelakuan “kurang”. Gara-gara dilapor Sin Goma yang masih saudaranya Ibu Gita. Kami dipanggil, disidangkan, tapi untung tidak dikeluarkan. Padahal kami sudah bela-belain mengantar kedua ibu guru kami itu ke bandara Padhamaleda sampai pulangnya dihukum suster ibu asrama. Ya, itu semua kenangan. Begitu kami lulus, Ibu Gita sedang hamil sehingga tidak lagi marah-marah, mungkin biar bayinya tidak galak.

EBTA/EBTANAS selesai. Angkatan kami lulus 100% dengan NEM tertinggi Angella Wea untuk se-NTT. Urutan keduanya juga dari Kartini, Sandy Djuang. Bravo Angella dan Sandy ! Kami semua bangga dengan kesuksesan mereka yang mengharumkan nama Kartini. Kami juga bahagia dengan kesuksesan kami 33 orang.
Kebahagiaan kami dirayakan dengan acara piknik bersama di pantai Aimere sebagai perpisahan dengan adik kelas dan bapak ibu guru. Naik truk ramai-ramai. Seru dan asyik karena lolos dari kronik yang dibuat oleh adik kelas. Salah satu kebiasaan pada malam perpisahan adalah pembacaan kronik yang membuat kita berdebar-debar menunggu penilaian adik kelas terhadap kakak-kakak selama kebersamaan di sekolah dan asrama. Yang baik-baik dan pendiam sih pasti tak perlu cemas, tapi yang bandel dan suka melawan pasti dikritik habis-habisan. Bagus juga sih, biar bisa memperbaiki diri bila sudah angkat kaki dari Kartini. Adik-adik yang cukup dekat dengan saya dulu itu Yuli Engo, Anny Boro, Aylin Laliwea, Onny Depa, dan Etty Separ. Lainnya biasa-biasa saja.

Lain-lain ...

KARTINI. Menyimpan banyak kenangan, banyak harapan, banyak cita-cita, dan banyak perasaan yang tak sempat terungkap. Di Kartini saya pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Bila diingat lagi, saya tertawa sendiri. Saat menulis baris ini tak sadar saya terbahak sendiri. Ceritanya, suatu hari minggu ada siswa seminari datang ke Kartini, dia yang pernah mengirim surat buat saya. Dia bersama temannya. Saya pura-pura keluar dari kamar makan (pas lagi makan pagi), dengan alasan ke dapur. Maksud hati mau lihat ‘pangeran’, eh…duluan ketahuan Suster Pauly. Saya dipanggil ke kelas I, dijewernya kuping saya (sambil ditarik-tarik lagi), lalu diceramahi selama satu jam, seolah-olah saya melakukan kesalahan terbesar di dunia. Sialan, gara-gara Tonny Retu nih. Saya menangis, saya benci pada Suster Pauly, saya dendam sekali padanya. Saya merasa antara kami berdua seperti musuh besar. Setiap tingkah laku, gerak-gerik dan perbuatan saya, rasa-rasanya tak ada yang beres di mata suster yang super galak itu. Mungkin itu hanya perasaan saya saja karena setibanya di Yogya tahun 1998, justru Suster Pauly yang pertama mencari saya. Waktu itu saya mengikuti tes di STFK Pradnyawidya yang juga kampus beliau. Melihat ada nama saya di daftar peserta yang lulus, beliau menunggu saya di gerbang kampus. Oh my God ! Kami berpelukan seperti teletubies, tanpa sungkan-sungkan, tanpa malu-malu, serasa lupa dengan semua rasa dendam yang pernah ada di hati. Yang ada saat itu hanya rasa rindu dan bahagia, bertemu dengan mantan kepala sekolah yang galaknya minta ampun. Lupalah rasa sakit yang pernah dialami semasa SMP. Meski aura galak dan sinisnya belum hilang tetapi setidaknya sudah agak ramah dan lembut. Mungkin lingkungan dan budaya Jawa yang mempengaruhi semuanya itu. Saya pun berbisik, “Suster, sekarang kita sama-sama mahasiswa lho !” Beliau hanya tersenyum (malu-malu) sambil terus menggenggam tangan saya. Kangen berat ni ye…

Berpisah dari Kartini baru saya sadar dan merasakan betapa beruntungnya saya bisa mendapatkan banyak hal dan pelajaran selama di sekolah dan di asrama. Rasa disiplin, tanggung jawab, toleransi, setia kawan, ah… banyaklah. Namun, tak ada gading yang tak retak. Ada ketimpangan dalam membina pergaulan siswi dengan lawan jenis. Ketahuan bersurat-suratan, apalagi sampai berpacaran, kita disidangkan seolah-olah melakukan tindakan kejahatan. Belum saatnya berpacaran, masih kecil, itu alasan utamanya. Tetapi arahkan dengan kata-kata yang bijak dan menyenangkan sehingga tidak membuat siswi yang bersangkutan sakit hati dan membuat luka di batinnya. Padahal apalah artinya sih pacaran masa itu yang hanya kirim-kirim surat (berawal dari April Mop), lalu bertemu setiap hari minggu pesiar, jalan bersama dari depan poliklinik sampai depan rumah Om Anton de Ornay, lalu balik lagi. Pegangan tangan saja tidak. Biasalah, hanya cerita-cerita sambil menghitung kerikil yang diinjak. Saat itu rasanya puas dan bahagia, pulang asrama bisa tidur bolak-balik, terbayang terus. Dasar cinta monyet ! Tapi ada lho yang langgeng sampai pelaminan, Sandy Djuang dan Kak Valen Dakiso’o, Quien Mole dan Kak Yust Djogo, Kak Abraham Runga dan Cici Dhone, Kak Aloysius Bhui dan Helen Muga. Itu seputar indahnya jatuh cinta di Kartini.

KARTINI. Sekolah yang punya acara turun-temurun “Malam Pertemuan”. Malam yang paling ditakuti. Bagaimana tidak, malam yang situasinya tegang seperti di hadapan pengadilan. Semua kesalahan terhadap siapa pun dalam perkataan dan perbuatan selama dalam kebersamaan sehari-hari, sebulan sekali disidangkan. Moderatornya adalah ketua OSIS. Tidak sedikit yang sampai menangis karena takut dan malu, terutama adik-adik kelas I yang masih baru di asrama. Tanpa mengenal usia atau tingkatan kelas, yang salah wajib meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan banyak orang. Ya, kita bisa belajar memaafkan, mengakui kesalahan, sabar, rendah hati, dan terutama saling menghargai dalam kehidupan bersama.

KARTINI. Entahlah seperti apa keadaannya sekarang, namun dalam ingatan saya, Kartini adalah sekolah favorit, sekolah impian orang tua bagi para putrinya, dan tetaplah sekolah khusus putri. Sayang, tidak ada dokumentasi atau foto-foto karena masa saya dulu bisa dihitung tukang foto yang ada di Mataloko, paling-paling di rumah Baba San yang fotonya hari ini baru jadi sebulan kemudian. Tapi tetap ada kenangan waktu foto di studio alam Baba San alias di depan rumahnya. Gara-gara pergi foto di sana, saya dapat surat cinta dari anak Ndao (saya lupa namanya) yang sedang berlibur dengan anaknya Baba San. Surat itu diantar Rini Supit via pagar belakang kelas III. Lucu juga kalau diingat-ingat.

KARTINI. Sekolah yang bersebelahan dengan kompleks pensiunan dan SD Mataloko. Dengan demikian kami pun bersahabat dengan para tetangga seperti keluarga Bapak Michael Remi, keluarga Bapak Felix Djawaria, keluarga Bapak Rofinus Longa, keluarga Bapak Yan Nai, keluarga Bapak Daud L. Bara, keluarga Ongko Leo, keluarga Bapak Agus Bay, keluarga si kembar Itho dan Boto, dan masih banyak lagi yang saya lupa namanya. Ada kios Aci Since yang menjadi langganan anak Kartini dan sering pula ‘dibohongi’ kalau sedang ramai-ramainya belanja. Ambil permen lima tapi ngakunya dua. Terlalu ko… Ternyata siswa seminari juga begitu la… (pengakuan dari Pian da Gomez. Pantas dia dicedok !). Sorry Aci ! Biarlah Tuhan yang mengampuni kami !

Teman-temanku Seangkatan. .
“Sahabat setiawan merupakan perlindungan yang kokoh, barangsiapa menemukan orang serupa itu sungguh mendapat harta.” Sirakh 6 :14

Kebersamaan kita menyimpan banyak kenangan dalam hidup. Ada tawa, ada tangis, ada permusuhan, ada persaingan, ada rindu, ada benci, ada suka, ada duka, terutama ada cinta kasih.

Anna Diki dari Jerebu’u
Agustina Milo Bate / Agus dari Watujaji
Angela Uge Riwu / Nesty dari Jerebuu
Angela Luang / Enjel dari Riung
Angela Regina Maria Wea Lagho / Anjel dari Kelewae
Bernadetha Maria Lourdes Go’o Ma’u / Oce dari Nangaroro
Bernadetha Yosefina Wea / Tevi dari Boawae
Christina Maria Wona / Nona dari Were
Edel Mary Quien Mole / Quien dari Bajawa
Edeltrudis Ngole Molo / Eda dari Jerebuu
Fransiska Dhera / Sisi dari Watuapi
Getrudis Aso Bupu / Udis dari Mauponggo
Genoveva Nei / Geni dari Nangaroro
Kornelia Aneng / Koni dari Manggarai
Lidvina Ia Bay Lado Una / in dari Wudu
Marselina Bo’a / Ona dari So’a
Maria Aurelia Bhari / Merlin dari Danga
Maria Yasintha Lado / Sintha dari Radja
Maria Asumpta Ngani / Ristha dari Jerebuu
Maria Gaudensia Apong / Densi dari Manggarai
Maria Magdalena Alexandra Djuang / Sandy dari Boawae
Maria Florida Nginu / Merry dari Maumere
Maria Dafrosa Longa / Efra dari Mataloko
Maria Yasintha Goma / Sin dari Riung
Maria Florentina Wara Killa / Loni dari Bajawa
Maria Immaculata Bebhe / Imma dari So’a
Maria Immaculata Bhubhu / Merry dari Were
Maria Immaculata Nay Lado / Imm dari Watugase
Paulina Ina Bunga Mitang / Lin dari Boawae
Theresia Dhone / Thres dari Aimere
Wilhelmina Lawi / Mien dari Ende Lio
Yovila Maria Venancia Mole Ladjajawa / Vivi dari Bajawa

Ketua OSIS Angela dan ketua kelas Eda Ngole

20 tahun kemudian … Saat liburan sekolah, saya dari Jakarta kembali ke Flores dan tanggal 5 Juli 2006, bersama adik saya Tilla, kami berkunjung ke SMPK Kartini. Karena kami datang saat liburan, kami hanya bertemu Bapak Sunar dan beberapa pegawai TU yang sedang sibuk melayani pendaftaran murid baru. Ada rasa rindu yang mendalam ketika menginjakkan kaki di kompleks susteran SSpS Mataloko. Setelah bertemu Pak Sunar (masih awet lho), saya berkeliling mengambil gambar di tempat yang sudah sangat berbeda dengan masa saya 20 tahun yang silam. Taman tengah yang menjadi tempat kami bermain kini sudah menjadi ruangan kelas bertingkat, ruangan komputer dan kolam mungil. Kamar tidur entah sudah menjadi apa karena saya tak sempat menengok ke dalam. Sedangkan yang dulu gudang kini sudah menjadi kamar tidur dan kamar mandi yang bagus. Tempat tidur besi bercat hijau mengisi ruangan itu dengan rapi. Rak sepatu berjejer di depannya. Saya jadi iri dengan keadaan yang sekarang, tapi tetap merindukan suasana yang dulu. Saya berkunjung juga ke makam para suster di dekat gua Maria belakang asrama, dekat gudang kayu. Tidak ada lagi bau kotoran ayam dan babi karena semuanya sudah dibangun kamar. Yang masih kelihatan asli dan tua hanya kamar makan, kamar roti, dan kamar cuci. Di kamar roti saya bertemu dengan Suster Alfonsa. Masih ada Suster Antonilda yang saya kenal. Lainnya sudah pindah, bahkan ada yang sudah almarhumah. Akhir dari kunjungan saya berdoa di gua Maria, mengunjungi makam Suster Almira, makan roti dari Suster Alfonsa, lalu kembali ke Bajawa. Thanx Suster !

Liburan kali ini saya sempat bertemu dengan teman seangkatan saya OCE GO’O dalam perjalanan dari Nangaroro ke Mbay. Kami se-bis dan kembali cerita nostalgia masa-masa di asrama. Putri pertamanya akan dikirim sekolah di SMPK Kartini juga. Hidup Oce Junior ! Jangan nakal ya kayaknya Maknya !

Ucapan terima kasih kepada :

Tuhan YME, Putra-Nya, dan Bunda Maria

Kedua orang tua yang sudah menyekolahkan saya di SMPK Kartini sehingga sekarang saya bisa menceritakan semuanya.


Para Suster, Ibu, dan Bapak Guru di SMPK Kartini yang telah mengajar, mendidik, membimbing, dan mendampingi saya selama di SMPK Kartini.

Teman-teman seangkatan, kakak dan adik kelas yang sudah bersama-sama hidup dan bersahabat di asrama.

Kakak-kakak KRT dan Om-om tukang yang sudah membantu, menunjang kelancaran belajar dan kegiatan asrama.

Para tetangga dan kenalan di Mataloko (Kel.Bapak Rofinus Longa) yang turut membantu dalam bersosialisasi selama menjalani masa-masa di asrama dan SMP.

Uge-uge yang setiap pagi menjual alpukat di asrama sehingga kami menjadi anak yang sehat karena makan buah yang bergizi. Nasi campur alpukat, aneh banget…

Saudara-saudara di Seminari yang membantu perkembangan masa remaja saya dengan lirikan-lirikan dan surat-surat cinta monyetnya. Hahaha… Tonny Retu, di mana kau berada ? Pater Titus Puling, tulisannya bagus juga. Gombal !!!

Suamiku Abang Vitalis tercinta yang selalu mendorong saya untuk meneruskan bakat menulis dengan menghadiahkan seperangkat komputer dan memasang speedy.

Ibu Hilde Bhoko (kakak iparku) sekeluarga di Lekosoro Bajawa (penginapan gratis selama 3 malam)

Adik TILLa, Kak Dorty Mo’i (anggota DPRD Ngada) dan suami Kak Dorty yang sudah menemani saya berkunjung ke SMPK Kartini dengan mobilnya.

Bapak Sunar beserta staf di kantor SMP Kartini yang sudah bersedia diganggu oleh kedatangan saya dan Tilla.

Ibu Hesty Rodja (pegawai AJB Bajawa) yang rela mencuri waktu kerjanya untuk menemani saya makan siang di warung pojok lapangan Lebijaga. Ma’e naji pai !

Mama Bibi Dhongo yang saya ganggu waktu istirahatnya buat ngobrol sambil nunggu ayam bakar di warung makan.